Share

#4. Berubahnya Warna

"Tak perduli berulang kali kita bertengkar, aku harap kamu tahu jika aku akan selalu mencintai kamu. Terlepas bagaimanapun luka yang kita rasa, aku ingin kamu tetap bersamaku. Aku ingin terluka dan bahagia hanya karena kamu, Nara."

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Dengan keadaan ruangan yang bersih putih, tanpa siapapun di dalamnya, aku seorang diri tergolek di atas ranjang. Tanpa alasan yang jelas, aku menemukan diriku dengan pakaian yang berbeda. Ruas ruangan yang cukup lega ini seperti ruang keluarga. Sebab desain meja dan telivisi berada nyata di depan mataku. Lalu rak-rak buku yang rapi di sisian sudut berwarna krem membuat aku termenung lebih hebat.

Seingat kepalaku, terakhir kali aku berjalan di sebuah malam yang panjang dengan hujan deras. Di sana, aku sedang mengendarai mobil dan mencegah truck melindas warga dengan mengorbankan diri ini. Bahkan sisa-sisa ingatan sebelum aku tertidur, kusadari tubuhku nyeri dan penuh darah. Tapi saat ini, kulihat tubuhku sudah bersih seperti semula dengan semua nyeri yang hilang.

Mungkin kusadari hari sudah berubah lebih jauh. Aku melihat langit yang biru dari celah kaca di sudut interior rumah. Yang semula kudengar kosong, kini suara kicauan burung dan jeritan anak-anak di luar terdengar. Tanpa alasan yang jelas, sudut mulutku terangkat rupawan. Lapas itu aku mulai menuruni ranjang dan berjalan kecil untuk mencari pintu keluar.

Sudah ku-bilang, aku tidak akan menyerah. Aku tidak semudah itu melepaskan Orick hanya karena duka di antara kami. Ketika aku berkata aku mencintainya, aku bersedia untuk terjatuh dan menyatu dalam jiwanya. Kata orang-orang, cinta itu membutakan. Ya, benar. Aku akui. Selain membutakan, mungkin menggilakan. Namun, apakah salah mencintai seseorang dengan amat sangat?

Memikirkan Orick memang tidak luput dari bitter and sweet. Tapi, tetap ku-nikmati apapun itu tentangnya. Kalau hanya Orick, mungkin aku akan bertaruh tak perduli sejauh apa takdirku dengan dirinya. Aku mencintainya dengan sangat. Aku ingin memperbaiki segalanya dan tak lagi untuk berpaling. Aku ingin memperbaikinya.

Segalanya. Bukan hanya tentang Orick. Melainkan dengan Ibu dan Erin. Aku ingin lebih paham bagaimana cara memahami ke-khawatiran Ibu, karena kerap kali kami berselisih salah paham. Dan adikku, aku ingin lebih dekat dengannya sebagaimana aku menyayangi Ratu.

Dalam sekejap dadaku mendadak sesak ketika tangan ini menyentuh tulip kuning yang berada di atas nakas samping telivisi. Ibu tidak suka bunga. Dia alergi serbuk sari serta takut ulat bulu. Yang dia suka hanya cara memasak. Tapi demiku, dia dan Erin kerap kali mengganti tanaman hias dan bahkan merawat bermacam bunga di halaman rumah.

Terbangun pagi, biasanya aku selalu rusuh menyiapkan materi yang akan dibawa ke kampus. Namun khusus hari ini, entah mengapa aku enggan pergi kesana. Dan tanpa kusadari, air mataku sudah menggenang menjadi santapan pagi ini.

"Ibu... maafkan Arin." aku tidak mengelak turunnya hujan pagi ini.

"Erin---"

"Kak, ini Erin. Ini Erin yang selama ini selalu pendam perasaan terhadap kakak. Maaf aku belum bisa memahami kakak selama ini. Tiap kali kakak merasa sulit, tiap kali kakak bertengkar dengan Ibu, Erin cuma bisa diem. Tapi sebenarnya, Erin pengen samperin kakak. Erin pengen peluk kakak..."

Aku harus menelan bulat-bulat kesenduan ini pada suara yang tiba-tiba berdengung dari arah lain. Praktis aku celingukan, mencari sumber suara tersebut. Dan jalan yang mengarahkanku pada pertigaan ruangan, di seberang kanan aku mendengar suara lain semakin nyaring.

"Nara, ini Orick. Ini aku, rumahmu. Aku menunggumu pulang."

"Orick?" gemuruh sendu yang semula merayap di dada seketika turun ketika ku-dengar suaranya yang lemah memanggilku. Seperti dia sedang bersedih.

"Nara..."

"Orick..."

Aku berjalan lurus melewati figura demi figura yang tertata di sepanjang lorong menuju pintu. Di depan sana aku mendengar suara Orick bersama debur ombak, yang membuatku semakin bersemangat. Dan sesampainya di depan pintu tanpa berbasa-basi aku menarik knop, membuncah cahaya yang silau namun kutabrak siluet seseorang yang berada di depanku.

"Orick, aku pulang!" saat aku merasa memeluknya, perasaanku hancur kembali dengan air mata.

》》》》》▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎《《《《《

"Nara!"

Suara itu lebih jelas lagi, lalu mataku kembali terbuka setelah cahaya besar tadi menyilaukan pandanganku. Perasaan-perasaan hancur itu masih kubawa walaupun kini aku tidak lagi berada dalam ruangan yang sama. Dengan linangan air mata serta keringat dalam pelipis, ku-remas kuat-kuat pundak yang nyata terasa.

"Orick..." Aku bergumam lirih, lelah yang ku-rasa seperti telah berlari mengelilingi pulau.

"Iya, ini Orick, sayang."

Baru detik ini, entah mengapa kata sayang yang dia lontar menghidupkan detak jantungku menjadi brutal. Jika orang-orang menganggap aku salah tingkah, mungkin mereka harus lebih peka lagi. Karena di sini, aku justru merasakan pilu yang begitu hebat--walau ku-tahu kehangatan tubuh Orick dapat ku-peluk lama-lama dimari.

Bayangan ketika diri ini meringis di atas aspal yang banjir bersama cairan merah, membuatku merasa takut. Lengkingan-lengkingan suara benda yang saling terbentur, lalu panggilan yang terhubung malam itu, aku memejamkan mata. Pelataran hujan yang mungkin aku benci mulai detik ini, aku tidak mau lagi berada di bawah guyuran dengan lampu yang mati.

"Sayang..."

Suara itu, lagi-lagi mengingatkanku akan dua hal yang tengah ku-alami. Kebohongan-kah, atau kejujuran? Tetapi tak sadarkah Orick, bahwa kelembutannya ini yang justru membuat aku menangis lebih kencang. Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau meninggalkan dia. Aku ingin bahagia. Aku ingin hidup bahagia. Aku tidak ingin sendiri.

"Jangan pergi..." gumamku begitu lemah. Dua mataku yang terus memejam, akhirnya perlahan ku-buka dan mendapati seisi ruangan yang berputar hebat.

"Kamu yang gaboleh pergi, sayang."

"Aku nggak pergi! Aku gamau pergi! Kalaupun aku pergi, aku ingin sama kamu!" kekeuh-ku. Sepertinya kedengaran seperti anak kecil, namun masa-bodo lah.

"Kakak..." lantas ada suara lain yang ikut menyahut. Begitu pula mataku yang berembun kini berangsur-angsur menjelas sendiri. Saat itu, aku dapati Ibu dan Bapak yang memandangku dengan senyum getir. Membuatku semakin terpukul.

Kami hanya saling memandang dengan cekatan pelukanku masih bertengger pada Orick. Tidak selang lama, Orick yang lebih mengerti akan suasana mendorong dekapan kami. Ketika dia mundur untuk mempersilahkan orang tuaku maju, aku melihatnya diam-diam mengusap sudut mata. Wajahnya yang putih itu terlihat becek, seperti ada hujan sebelum aku memeluknya.

"Pasti sakit banget ya kak?"

Erin. Dia adikku. Dia suara yang memanggilku dari arah berlawanan. Kupandangi wajahnya lama-lama. Terpatri nyata di balik netranya ada bayanganku. Kerennya, dia tersenyum, namun air matanya bagai keran rusak yang sulit dibenarkan. Aku ingin menjangkaunya dan mengatakan sejuta maaf. Akan tetapi, dia yang lebih dulu memeluk-ku. Memeluk tubuhku yang terlentang lemas dengan selang infus yang berbelit.

"Tapi, lebih sakit aku yang dengar kabar kakak kecelakaan begini. Aku yang lebih sakit lihat kakak terbaring di sini." bisiknya di samping telingaku. Aku nyaris mengumpat seandainya tak ku-gigit bibir ini kuat-kuat, guna menyalurkan perih yang datang menampar.

"Erin---"

"Mulai sekarang, aku nggak akan diam lagi. Aku nggak mau kehilangan kakak. Aku ingin bareng kakak, kemanapun kakak pergi dan bahagia. Aku ingin jadi adik yang bisa kakak andalkan. Aku ingin jadi adik yang paling dekat dengan kakaknya. Erin nggak mau diam lagi. Erin pengen peluk kakak lama-lama seperti ini."

"Maafin kakak yang belum bisa jadi sandaran saat kamu lelah. Maafin kakak yang terlalu sibuk dan egois dengan dunia kakak sendiri. Mulai sekarang, kakak juga nggak mau tinggalkan Erin. Kakak pasti sama kamu, kemanapun kakak pergi dan bahagia. Kakak akan jadi orang yang bisa kamu andalkan. Kakak bakal jadi kakak yang paling dekat dengan adiknya. Kakak nggak bakal diam lagi. Kakak juga ingin peluk Erin lama-lama..."

Tak perduli apakah atmosfer akan hancur lebur hari ini, aku hanya ingin menangis puas-puas dengan harapan aku bisa menggenggam mereka lebih lama. Aku tahu dunia ini begitu fana. Tidak satupun yang hidup kekal dan bahagia. Pertemuan dan perpisahan yang mungkin akan jadi kejutan. Entah siapa yang akan pergi lebih dulu di kemudian hari. Aku-kah? Atau mereka? Itu tidak pasti.

Tapi yang tertera jelas hari ini, aku ingin bangkit alih-alih menyerah seperti kemarin. Aku ingin melukiskan kenang yang lebih elok dan ceria, alih-alih dua warna yang kusam seperti kemarin.

Hitam dan Putih.

Berubah menjadi,

Biru, Ungu, Jingga, dan Merah Muda

To be continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status