Share

#4. Berubahnya Warna

Penulis: Kanaya Aruna
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-13 20:09:21

"Tak perduli berulang kali kita bertengkar, aku harap kamu tahu jika aku akan selalu mencintai kamu. Terlepas bagaimanapun luka yang kita rasa, aku ingin kamu tetap bersamaku. Aku ingin terluka dan bahagia hanya karena kamu, Nara."

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Dengan keadaan ruangan yang bersih putih, tanpa siapapun di dalamnya, aku seorang diri tergolek di atas ranjang. Tanpa alasan yang jelas, aku menemukan diriku dengan pakaian yang berbeda. Ruas ruangan yang cukup lega ini seperti ruang keluarga. Sebab desain meja dan telivisi berada nyata di depan mataku. Lalu rak-rak buku yang rapi di sisian sudut berwarna krem membuat aku termenung lebih hebat.

Seingat kepalaku, terakhir kali aku berjalan di sebuah malam yang panjang dengan hujan deras. Di sana, aku sedang mengendarai mobil dan mencegah truck melindas warga dengan mengorbankan diri ini. Bahkan sisa-sisa ingatan sebelum aku tertidur, kusadari tubuhku nyeri dan penuh darah. Tapi saat ini, kulihat tubuhku sudah bersih seperti semula dengan semua nyeri yang hilang.

Mungkin kusadari hari sudah berubah lebih jauh. Aku melihat langit yang biru dari celah kaca di sudut interior rumah. Yang semula kudengar kosong, kini suara kicauan burung dan jeritan anak-anak di luar terdengar. Tanpa alasan yang jelas, sudut mulutku terangkat rupawan. Lapas itu aku mulai menuruni ranjang dan berjalan kecil untuk mencari pintu keluar.

Sudah ku-bilang, aku tidak akan menyerah. Aku tidak semudah itu melepaskan Orick hanya karena duka di antara kami. Ketika aku berkata aku mencintainya, aku bersedia untuk terjatuh dan menyatu dalam jiwanya. Kata orang-orang, cinta itu membutakan. Ya, benar. Aku akui. Selain membutakan, mungkin menggilakan. Namun, apakah salah mencintai seseorang dengan amat sangat?

Memikirkan Orick memang tidak luput dari bitter and sweet. Tapi, tetap ku-nikmati apapun itu tentangnya. Kalau hanya Orick, mungkin aku akan bertaruh tak perduli sejauh apa takdirku dengan dirinya. Aku mencintainya dengan sangat. Aku ingin memperbaiki segalanya dan tak lagi untuk berpaling. Aku ingin memperbaikinya.

Segalanya. Bukan hanya tentang Orick. Melainkan dengan Ibu dan Erin. Aku ingin lebih paham bagaimana cara memahami ke-khawatiran Ibu, karena kerap kali kami berselisih salah paham. Dan adikku, aku ingin lebih dekat dengannya sebagaimana aku menyayangi Ratu.

Dalam sekejap dadaku mendadak sesak ketika tangan ini menyentuh tulip kuning yang berada di atas nakas samping telivisi. Ibu tidak suka bunga. Dia alergi serbuk sari serta takut ulat bulu. Yang dia suka hanya cara memasak. Tapi demiku, dia dan Erin kerap kali mengganti tanaman hias dan bahkan merawat bermacam bunga di halaman rumah.

Terbangun pagi, biasanya aku selalu rusuh menyiapkan materi yang akan dibawa ke kampus. Namun khusus hari ini, entah mengapa aku enggan pergi kesana. Dan tanpa kusadari, air mataku sudah menggenang menjadi santapan pagi ini.

"Ibu... maafkan Arin." aku tidak mengelak turunnya hujan pagi ini.

"Erin---"

"Kak, ini Erin. Ini Erin yang selama ini selalu pendam perasaan terhadap kakak. Maaf aku belum bisa memahami kakak selama ini. Tiap kali kakak merasa sulit, tiap kali kakak bertengkar dengan Ibu, Erin cuma bisa diem. Tapi sebenarnya, Erin pengen samperin kakak. Erin pengen peluk kakak..."

Aku harus menelan bulat-bulat kesenduan ini pada suara yang tiba-tiba berdengung dari arah lain. Praktis aku celingukan, mencari sumber suara tersebut. Dan jalan yang mengarahkanku pada pertigaan ruangan, di seberang kanan aku mendengar suara lain semakin nyaring.

"Nara, ini Orick. Ini aku, rumahmu. Aku menunggumu pulang."

"Orick?" gemuruh sendu yang semula merayap di dada seketika turun ketika ku-dengar suaranya yang lemah memanggilku. Seperti dia sedang bersedih.

"Nara..."

"Orick..."

Aku berjalan lurus melewati figura demi figura yang tertata di sepanjang lorong menuju pintu. Di depan sana aku mendengar suara Orick bersama debur ombak, yang membuatku semakin bersemangat. Dan sesampainya di depan pintu tanpa berbasa-basi aku menarik knop, membuncah cahaya yang silau namun kutabrak siluet seseorang yang berada di depanku.

"Orick, aku pulang!" saat aku merasa memeluknya, perasaanku hancur kembali dengan air mata.

》》》》》▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎《《《《《

"Nara!"

Suara itu lebih jelas lagi, lalu mataku kembali terbuka setelah cahaya besar tadi menyilaukan pandanganku. Perasaan-perasaan hancur itu masih kubawa walaupun kini aku tidak lagi berada dalam ruangan yang sama. Dengan linangan air mata serta keringat dalam pelipis, ku-remas kuat-kuat pundak yang nyata terasa.

"Orick..." Aku bergumam lirih, lelah yang ku-rasa seperti telah berlari mengelilingi pulau.

"Iya, ini Orick, sayang."

Baru detik ini, entah mengapa kata sayang yang dia lontar menghidupkan detak jantungku menjadi brutal. Jika orang-orang menganggap aku salah tingkah, mungkin mereka harus lebih peka lagi. Karena di sini, aku justru merasakan pilu yang begitu hebat--walau ku-tahu kehangatan tubuh Orick dapat ku-peluk lama-lama dimari.

Bayangan ketika diri ini meringis di atas aspal yang banjir bersama cairan merah, membuatku merasa takut. Lengkingan-lengkingan suara benda yang saling terbentur, lalu panggilan yang terhubung malam itu, aku memejamkan mata. Pelataran hujan yang mungkin aku benci mulai detik ini, aku tidak mau lagi berada di bawah guyuran dengan lampu yang mati.

"Sayang..."

Suara itu, lagi-lagi mengingatkanku akan dua hal yang tengah ku-alami. Kebohongan-kah, atau kejujuran? Tetapi tak sadarkah Orick, bahwa kelembutannya ini yang justru membuat aku menangis lebih kencang. Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau meninggalkan dia. Aku ingin bahagia. Aku ingin hidup bahagia. Aku tidak ingin sendiri.

"Jangan pergi..." gumamku begitu lemah. Dua mataku yang terus memejam, akhirnya perlahan ku-buka dan mendapati seisi ruangan yang berputar hebat.

"Kamu yang gaboleh pergi, sayang."

"Aku nggak pergi! Aku gamau pergi! Kalaupun aku pergi, aku ingin sama kamu!" kekeuh-ku. Sepertinya kedengaran seperti anak kecil, namun masa-bodo lah.

"Kakak..." lantas ada suara lain yang ikut menyahut. Begitu pula mataku yang berembun kini berangsur-angsur menjelas sendiri. Saat itu, aku dapati Ibu dan Bapak yang memandangku dengan senyum getir. Membuatku semakin terpukul.

Kami hanya saling memandang dengan cekatan pelukanku masih bertengger pada Orick. Tidak selang lama, Orick yang lebih mengerti akan suasana mendorong dekapan kami. Ketika dia mundur untuk mempersilahkan orang tuaku maju, aku melihatnya diam-diam mengusap sudut mata. Wajahnya yang putih itu terlihat becek, seperti ada hujan sebelum aku memeluknya.

"Pasti sakit banget ya kak?"

Erin. Dia adikku. Dia suara yang memanggilku dari arah berlawanan. Kupandangi wajahnya lama-lama. Terpatri nyata di balik netranya ada bayanganku. Kerennya, dia tersenyum, namun air matanya bagai keran rusak yang sulit dibenarkan. Aku ingin menjangkaunya dan mengatakan sejuta maaf. Akan tetapi, dia yang lebih dulu memeluk-ku. Memeluk tubuhku yang terlentang lemas dengan selang infus yang berbelit.

"Tapi, lebih sakit aku yang dengar kabar kakak kecelakaan begini. Aku yang lebih sakit lihat kakak terbaring di sini." bisiknya di samping telingaku. Aku nyaris mengumpat seandainya tak ku-gigit bibir ini kuat-kuat, guna menyalurkan perih yang datang menampar.

"Erin---"

"Mulai sekarang, aku nggak akan diam lagi. Aku nggak mau kehilangan kakak. Aku ingin bareng kakak, kemanapun kakak pergi dan bahagia. Aku ingin jadi adik yang bisa kakak andalkan. Aku ingin jadi adik yang paling dekat dengan kakaknya. Erin nggak mau diam lagi. Erin pengen peluk kakak lama-lama seperti ini."

"Maafin kakak yang belum bisa jadi sandaran saat kamu lelah. Maafin kakak yang terlalu sibuk dan egois dengan dunia kakak sendiri. Mulai sekarang, kakak juga nggak mau tinggalkan Erin. Kakak pasti sama kamu, kemanapun kakak pergi dan bahagia. Kakak akan jadi orang yang bisa kamu andalkan. Kakak bakal jadi kakak yang paling dekat dengan adiknya. Kakak nggak bakal diam lagi. Kakak juga ingin peluk Erin lama-lama..."

Tak perduli apakah atmosfer akan hancur lebur hari ini, aku hanya ingin menangis puas-puas dengan harapan aku bisa menggenggam mereka lebih lama. Aku tahu dunia ini begitu fana. Tidak satupun yang hidup kekal dan bahagia. Pertemuan dan perpisahan yang mungkin akan jadi kejutan. Entah siapa yang akan pergi lebih dulu di kemudian hari. Aku-kah? Atau mereka? Itu tidak pasti.

Tapi yang tertera jelas hari ini, aku ingin bangkit alih-alih menyerah seperti kemarin. Aku ingin melukiskan kenang yang lebih elok dan ceria, alih-alih dua warna yang kusam seperti kemarin.

Hitam dan Putih.

Berubah menjadi,

Biru, Ungu, Jingga, dan Merah Muda

To be continued...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #87. Pertanda Hujan

    Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #86. Biru Langit Menyakitkan

    "ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #85. Lembayung Terakhir

    Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #84. Blank Compass

    "Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #83. Mayoritas Selalu Benar

    Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #82. Ceo Menyebalkan

    "Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #81. Kolase Duka

    "Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #80. Ada Begitu Banyak Pilihan Dalam Hidup

    Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #79. Cause I'm Your Home

    Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status