"Ibu pengganti?"
"Iya, benar, Honey. Bukankah kamu ingin kita segera punya anak?" Bela membantu suaminya, Ron Kyle, melepas jas kerja yang menempel di tubuhnya yang atletis. "Aku maunya kamu yang hamil. Bukan ibu pengganti, Honey." Ron berbalik dan menangkap tubuh molek istrinya dengan gesit. "Keturunan Bernandi hanya akan dilahirkan oleh wanita sepertimu." "Oh, c'mon Ron! Kita sudah membahas hal ini ratusan kali." "But, why? Kenapa memangnya dengan perubahan hormon dan membesarnya bentuk tubuhmu? Aku mencintaimu apa adanya, Bela." Bela mendengus dan menepis pelukan suaminya dengan jengkel. "Kalo begitu suruh keluargamu berhenti membahas tentang anak dan keturunan! Aku bosan mendengarnya setiap kali mereka datang ke mansion ini!" "Oke, Honey. Jangan pikirkan hal itu. Aku minta maaf atas nama keluargaku." Ron mendekat dan kembali memeluk Bela dengan erat. Aroma rose dan peony yang menguar dari ceruk leher istrinya, membuat hasrat Ron mulai terpancing. Ia membubuhkan ciuman di area sensitif itu dengan gemas. "Wanna play?" bisik Ron ketika dilihatnya Bela memejamkan mata dari pantulan cermin di depan mereka berdua. "Tidak." Bela buru-buru membuka mata dan memasang wajah datar lagi. "Aku tidak akan tidur denganmu selama kamu belum setuju dengan rencanaku." "Oh Honey, C'mon! Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu." "So do I, Honey! Aku cuma mau kamu setuju dan kita akan melakukannya dengan cepat!" tukas Bela ngotot. "Di ulang tahunmu tahun depan, kamu sudah bisa menimang bayi kita." "Bayi kita hanya akan dikandung olehmu, Bela. Please, harus berapa kali aku tegaskan hal ini sama kamu!" "Aku tidak akan pernah mengandung bayi siapapun, Ron! Bahkan meskipun aku satu-satunya wanita yang punya rahim di dunia ini, aku tidak sudi untuk hamil." "Well, kalo seperti itu berarti kamu tidak benar-benar mencintaiku." "See, selalu begini kalimat pamungkasmu! Tidak bisakah kamu melihat dari sudut pandangku, Ron?" Bela mulai lelah dengan pertengkaran mereka yang tak pernah menemukan jalan tengah. "Aku juga berhak atas tubuhku. Aku sudah menepikan egoku untuk child free demi kamu dan keluargamu. Dan --" "Oke, baiklah! Mari kita lakukan proses itu. Aku akan memberikan spermaku padamu nanti malam, apa kamu puas!?" "No, Ron! Bukan begitu prosedurnya." Bela menarik lengan suaminya yang hendak pergi dan menghindar darinya. "Kita akan menemui dokter Hendry besok. Jadi sekarang simpan dulu spermamu baik-baik, oke?" Ron tak menyahut, napasnya kadung memburu menahan emosi yang meletup-letup. Ia benci pembahasan tentang anak dan inseminasi. Sembilan tahun menikah, Ron pikir bisa meluluhkan keteguhan Bela untuk punya anak dari rahimnya sendiri. Nyatanya, sampai detik ini Bela tetap bersikukuh untuk menjaga bentuk tubuhnya alih-alih hamil dan melahirkan anak. "Aku sudah menemukan gadis yang tepat untuk menjadi media kita. Dia cantik, badannya sehat, kulitnya bercahaya, dia juga pintar, dan yang paling penting rahimnya masih bagus. Aku yakin keturunan kita akan menjadi anak berkualitas di rahimnya," jelas Bela dengan wajah berbinar bahagia. "Di mana kamu menemukannya? Dari khayangan?" sindir Ron jengkel, ia bersingsut membuka kemejanya dan melempar pakaian putih itu ke atas sofa. "Di rumah kita! Dia sedang terdesak dan butuh bantuan, jadi aku menawarkan bantuan dan sebagai gantinya dia bersedia membantu kita menjadi ibu pengganti." Bela menyusul suaminya yang sudah naik ke atas ranjang untuk beristirahat. "Siapa? Apa aku mengenalnya?" Ron mulai penasaran dengan gadis yang dipuja-puja oleh istrinya, ia sampai mengurungkan niatnya memejamkan mata. Tak biasanya Bela sangat antusias jika membahas betina lain selain dirinya. "Tentu kamu mengenalnya, Ron! Bahkan sangat mengenalnya dengan baik. Coba tebak siapa gadis itu?" Bela menyadarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Disuruh berpikir disaat otaknya sudah lelah usai seharian berkutat dengan pekerjaan, Ron hanya menghela napasnya dengan lesu. "Lupakan saja! Aku sedang malas berpikir." "Harsha Luvena." Ron merasa seluruh tubuhnya menegang dan membara ketika nama itu disebut. Tentu saja Ron mengenalnya! Bahkan perusahaan keluarga Ron ikut andil membiayai sekolah gadis itu sejak Harsha masih duduk di Sekolah Dasar! "Kamu benar-benar gila, Bel!" Ron bangkit dan mendorong istrinya dengan kasar. "Apa yang ada di otakmu itu? Gym? Obat pelangsing? Botox?" "Heiii, kenapa kamu malah marah-marah. Dia hanya gadis biasa, Ron! Dia bukan putri pejabat atau presiden. Dia gadis miskin yang butuh bantuan kita." "Harsha anak yang berbakti pada ibunya! Dia spesial buat bu Ranti. Beraninya kamu berpikir untuk menjerumuskan Harsha ke dalam permainan kotormu ini!" "Kotor katamu? Justru aku memikirkan masa depan keluargamu, Ron! Siapa yang akan mewarisi kekayaan keluargamu kalo kamu tidak punya anak?" "Persetan dengan anak!" Ron turun dari ranjang, langkah kakinya yang lebar lantas berhenti di sofa dan tangannya bergerak mengenakan kemejanya kembali. "Jangan pernah bahas ini lagi atau aku akan benar-benar membuatmu hamil!""Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b