"I-ibu pengganti?"
Kaki kecil Harsha mundur selangkah dengan bola mata membeliak. Jantungnya seakan berhenti berdetak, ketika dengan lugasnya Bela melontarkan tawaran yang terdengar sangat serius. "Benar. Aku akan membiayai operasi ibumu dan biaya lain-lain selama beliau dirawat di rumah sakit. Tapi kau tahu kan kalau di dunia ini tidak ada yang gratis, Sha," tukas Bela memotong, ia membalas tatapan Harsha yang tertuju padanya dengan penuh kelicikan. "T-tapi saya masih perawan, Nyonya." Harsha mulai panik dan gelisah. "Mana mungkin saya bisa hamil kalo saya bahkan belum menikah." "Jangan khawatir, Sha. Sekarang tekhnologi semakin canggih. Kamu bisa tetap perawan meskipun sudah melahirkan anakku. Bukankah definisi perawan artinya belum pernah berhubungan badan dengan pria?" "T-tapi--" "Kamu ingin ibumu sembuh, kan?" tukas Bela cepat sembari menunjuk tas berisi uang ratusan juta di dalam tas koper kecil miliknya. "Pilihan ada di tanganmu. Silahkan kamu tandatangani surat perjanjian jika kamu setuju." Bagai buah simalakama, Harsha bingung apa yang harus ia putuskan. Di satu sisi, ia ingin ibunya sembuh dan hidup lebih lama lagi. Namun, disisi lain, ia tak rela jika harus menggadaikan kehormatannya. "Ingat, resikonya akan berkali lipat lebih buruk jika sampai kamu menolak tawaranku. Kamu sudah merusak bunga langka kesayanganku, kamu terancam dipecat dan ibumu bisa saja meninggal kapanpun. Bukankah aku sangat berbaik hati karena mau menolongmu sampai sejauh ini?" Bela mengangkat dagunya lebih tinggi untuk menegaskan kemurahan hati yang baru saja ia ucapkan. "Baik, Nyonya. Saya akan melakukan apapun syarat itu asalkan ibu saya bisa tetap hidup," janji Harsha bersungguh-sungguh. Sambil tersenyum samar, Bela lantas mengangsurkan selembar map yang sudah ia siapkan. "Bacalah dulu, lalu tandatangan." Bela memerintah setelah Harsha menerima map itu dengan tangan gemetaran. Dengan ragu, Harsha membuka map berwarna biru itu dan membaca judul dengan huruf besar yang bercetak tebal. Perjanjian Surrogate Mother. Netra indah Harsha mulai berkaca-kaca ketika ia membaca poin demi poin perjanjian yang harus ia sepakati, suka atau tidak suka. Sesekali, Harsha melirik Bela yang tetap tenang dengan gaya anggunnya. "Kamu masih muda, kamu juga sehat dan cantik. Kamu sangat pontensial dan berkualitas. Harusnya aku menawarkan ini sejak lama padamu." Bagai mendengar gemuruh petir di siang bolong, Harsha menganga tak percaya dengan penuturan wanita super kaya itu. Jadi, selama ini dia memang sudah menjadi target Bela untuk dijadikan ibu pengganti? Demi apapun itu, Harsha merasa semakin terpojok dan serba salah. Keadaan membuatnya tak punya pilihan lain selain meraih bolpoin di samping lembaran surat perjanjian itu dan membubuhkan tandatangannya di atas materai. Rasa takut kehilangan ibunya lebih besar daripada harga diri yang akan ia gadaikan pada keluarga Birnandi. "Bagus! Kamu sudah memilih keputusan yang tepat." Bela tersenyum puas sembari menutup lembaran map itu dan menyimpan berkas perjanjian mereka di dalam tas. "Apa saya boleh meminta satu hal, Nyonya?" ucap Harsha ragu. Bela mengangguk dan mempersilahkan Harsha melanjutkan perkataannya. "Tolong rahasiakan perjanjian ini dari siapapun, bahkan ibu saya sekalipun," pinta Harsha dengan mimik wajah resah. "Saya tidak mau nantinya ibu saya jadi malu karena keputusan yang saya ambil. Tolong rahasiakan ini dari siapapun." "Tidak masalah!" Bela melipat kedua tangannya di dada dan mengangguk setuju. "Lagian setelah melahirkan anak kami, kamu tidak seharusnya berada di lingkungan kami lagi. Kamu harus pergi sejauh mungkin dan jangan pernah lagi kembali ke kota ini." Gerimis kecil di sore yang sendu itu pada akhirnya membuat hati Harsha semakin mendung. Ia sempat membaca beberapa poin perjanjian yang tertulis di lembaran kertas tadi, hanya saja Harsha tak terlalu menyimak dengan teliti. "Kembalilah bekerja. Aku akan menghubungimu lagi setelah aku berdiskusi dengan suamiku," usir Bela sembari menunjuk ke arah tamannya. Di antara hujan yang turun semakin deras, air mata Harsha luruh dan membaur bersama air hujan. Ia tak tahu mana yang lebih perih, apakah membohongi ibunya atau menjual dirinya pada keluarga Birnandi? Sejak kecil, Harsha dididik untuk menjadi gadis yang cerdas dan kuat. Hanya memiliki ibunya di dunia ini, tentu saja membuat Harsha memusatkan segalanya pada wanita yang telah melahirkannya itu. "Nggak apapa, Sha. Kamu sudah memutuskan yang terbaik," bisik Harsha untuk menguatkan dirinya sendiri. "Semua demi ibu." Keesokan hari, dengan membawa sejumlah uang untuk biaya operasi ibunya, Harsha datang ke rumah sakit. Ia menyerahkan uang itu dengan perasaan campur aduk. Lega, bahagia, tapi juga sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. "Sha, dari mana kamu dapat duit buat biaya operasi Ibu?" Ranti membelai rambut putrinya, sesaat sebelum ia masuk ke ruang operasi. Keduanya kini berada di ruang tunggu karena ruangan operasi masih dipersiapkan. "Harsha punya tabungan, Bu. Sisanya dapat dari pinjam ke temen." "Devan?" tebak Ranti dengan lugu dan Harsha mengangguk lemah tanpa berani beradu tatap dengan sang ibu. "Syukurlah. Nanti setelah Ibu sembuh, Ibu akan kembali bekerja di Mansion biar kita bisa sama-sama mencicil uang Devan, ya?" "Nggak usah! Ibu jangan kerja lagi. Biar Harsha aja yang kerja. Ibu harus fokus jaga kesehatan," tolak Harsha tak setuju. "Lagian, setelah aku lulus kuliah, aku bisa kerja di dua tempat. Jadi Ibu nggak udah khawatirin soal duit lagi, ya?" Dengan berat hati, Ranti mengangguk dan tersenyum hangat pada sang putri. Ia bersyukur memiliki Harsha yang sangat menyayanginya. "Terimakasih ya, Nak. Terimakasih karena kamu sudah banyak berjuang untuk Ibu. Ibu banyak nyusahin kamu setahun belakangan ini." "Ibu, jangan ngomong begitu. Aku jadi sedih, nih!" protes Harsha tak suka, ia memeluk tubuh ringkih sang bunda dengan hati terluka. "Ibu pokoknya harus sembuh. Aku nggak mau tahu gimanapun caranya, Ibu harus sembuh dan harus tetap temenin aku sampai aku nikah, sampai aku punya anak dan..." Air mata yang tiba-tiba menetes ketika Harsha menyebut kata 'anak' membuatnya seketika menangis tersedu-sedu. Ia jadi teringat pada perjanjian yang ia lakukan bersama Bela. Ranti tak tahu jika tangisan Harsha luruh karena merasa bersalah padanya. Wanita berusia 50 tahunan itu hanya tahu jika putrinya adalah gadis baik-baik yang akan selalu menjaga kehormatannya sampai kapanpun. "Ibu Ranti sudah siap? Kita akan mulai operasinya sekarang.""Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b