"Jangan merengut! Tidak baik pagi-pagi memasang wajah masam di ruang makan!" tutur Alexander saat mereka sudah berada di ruang makan dan siap sarapan. Aira memutar bola mata malas. Tentu sambil menunduk agar sang boss tidak melihat. 'Tidak baik pagi-pagi memasang wajah masam.' Aira menirukan kalimat Alexander. Tentu hanya dalam hati juga. Dia bilang apa? Tidak baik? Helow, dia sendiri selalu memasang wajah dingin. Bukan hanya pagi-pagi, tetapi setiap saat. Bukan hanya di ruang makan, tetapi di semua tempat dan situasi. "Habiskan makananmu, lalu siapkan perlengkapan Alister!" lanjut lelaki itu lagi, setelah meneguk segelas air dan mengelap mulutnya dengan tisu. Kemudian berdiri dan meninggalkan ruang makan dibuntuti pria bernama Jo. Aira hanya menatap punggung yang selalu terbalut kemeja hitam itu dengan kesal sambil memiringkan salah satu ujung bibirnya. Wanita itu kesal. Masa pergi keluar sebentar saja harus membawa dua bayi. Bagaimana bisa ia leluasa menyelesaikan masalahnya?
16"Jadi, kau keluar rumah membawa dua bayi hanya untuk menemui laki-laki bajingan seperti itu?" Alexander menatap tajam Aira yang menunduk sejak tadi. Wajah lelaki itu terlihat merah menahan marah. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Aira hanya bisa menunduk. Tak ada sedikit pun keberanian untuk sekadar mengangkat wajah. Ia sangat tahu dirinya salah. "Aku mengizinkan kau keluar, bahkan dengan membawa Alister, karena kau bilang akan ke pengadilan agama. Bukan untuk menemui bajingan seperti itu!" Alexander masih terus mengomel dengan emosi, seolah dia seorang ayah atau suami. Sementara Aira masih diam. Tak berniat membantah sama sekali, walaupun yang dituduhkan Alexander tidak semua benar. Ia memang berencana ke pengadilan agama, tetapi setelah menemui Randi dulu. Awalnya ia ingin menyelesaikan semua urusan dengan lelaki itu. Aira ingin agar Randi tak lagi mengganggunya dan Raka. Namun, siapa sangka berakhir seperti ini. "Apa kau pernah membayangkan bagaimana nasibmu bila pengaw
17Penunjuk waktu di dinding sudah menunjukkan lebih dari tengah malam. Bahkan suasana sudah terasa sunyi di mana-mana. Namun, badan Baby Al masih juga demam. Padahal dokter Rumi sudah memeriksa dan memberinya obat tadi sore. Menurut dokter keluarga itu, Baby Al hanya masuk angin. Ya, ini memang pertama kali Alister dibawa keluar rumah sejak lahir. Ia belum akrab dengan udara dan cuaca di luar rumah. Mungkin karena itu tubuhnya kaget. Hingga akhirnya demam. Padahal Aira dan Nina sudah sangat safety terhadap Baby Al sebelum membawa bayi itu keluar tadi. Saking bahagia memiliki anak, terlebih ditinggal ibu kandungnya, membuat Alexander overprotective terhadap Alister, segala sesuatu selalu dilarang, ini itu tidak boleh. Hingga membuat bayi itu daya tahan tubuhnya lemah. Berbeda dengan Raka yang sejak lahir diajarkan hidup prihatin dan mandiri karena keterbatasan materi, juga karena Aira hanya mengurusnya seorang diri. Alexander terus memperhatikan Aira yang sejak sore harus menggendo
18Aira terbangun kaget karena rengekan Alister. Dengan tak mempedulikan rasa pegal di sekujur tubuhnya, terutama di bagian leher dan pinggang, wanita itu segera berdiri dari duduknya, kemudian kembali mengayun bayi itu. Diedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Terlihat Nina tertidur di kursi lain di sebelahnya dengan wajah menelungkup di atas meja. Sementara boss mereka tidur terlentang di sofa dengan kakinya yang panjang menjuntai ke bawah dan kepalanya berbantalkan pembatas sofa. Kening Aira berkerut. Mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum tertidur di kursi, lalu memperhatikan kain pernel yang terjatuh dari dadanya karena gerakkan berdiri mendadak. Seingat dirinya, tidak membawa kain itu bersama tubuh Alister. Mungkin ia lupa. Pikir Aira. Atau mungkin Nina yang membalutkan kain itu untuk menutup payudaranya yang terbuka, karena ketiduran tak sempat menutupnya. Dengan terpaksa Aira membangunkan Nina karena ingin ke kamar mandi. Tidak mungkin membawa bayi ke sana. Untungl
19Alexander turun dari mobil, lalu berjalan gagah menuju pintu sebuah kantor di mana di dinding depannya terpasang papan besar bertuliskan Sultan Hariwijaya SH. Lelaki itu langsung mendorong pintu kaca sebagai akses masuk ke kantor tersebut. Karena sudah biasa datang ke sana, ia sudah tidak canggung lagi. Beberapa orang karyawan yang berpapasan mengangguk hormat dan menyapanya. Alexander langsung menuju ruang utama kantor yang letaknya paling pojok dari bangunan itu. Lelaki itu mengetuk pintu, lalu masuk saat seseorang di dalam mengizinkan. "Hei, apa kau tahu anak muda, penampilanmu sangat membosankan!" sambut suara sinis di dalam, saat Alexander mulai memasuki ruangan. "Apa sudah tidak ada baju warna lain di lemarimu? Kalau iya, sepertinya kau harus segera ke luar negeri untuk belanja baju." Kalimat sinis itu terlontar dari pria botak berumur hampir setengah abad dengan gaya perlente khas pengacara. Alexander hanya mendengkus sebelum duduk di sofa tanpa menunggu dipersilahkan.
20Hari-hari sebagai ibu susu, Aira jalani dengan penuh keikhlasan dan totalitas. Bahkan hingga kini, setelah empat bulan berjalan. Aira tak pernah mengeluh walaupun hati tetap menjerit tatkala lebih banyak waktu ia habiskan dengan Bayi Alister daripada dengan Raka. Semua ia lakukan juga demi masa depan sang anak. Bukankah tidak akan selamanya ia di sana? Nanti pada saatnya, ia dan Raka akan keluar dari sana dan memulai hidup baru. Tabungannya dari empat bulan bekerja sudah lumayan banyak. Hanya terpakai untuk kebutuhan pribadi yang tidak ditanggung sang boss. Seperti membeli ponsel, baju-baju dirinya dan Raka yang ia inginkan, atau barang-barang lain yang tidak disediakan Alexander. Biasanya Aira akan membeli di toko online agar tidak harus keluar rumah. Untuk meminimalisir masalah yang mungkin timbul. Rencananya, setelah keluar dari sana, ia ingin membuka usaha untuk bekal hidup dan pendidikan Raka. Modalnya tentu dari tabungan selama bekerja menjadi ibu susu. Sejauh ini, semua
21"Apa kau lupa kalau aku tidak suka anakmu dibawa ke kamar Alister?" tanya Alexander begitu mereka berhadapan di sebuah ruangan tak jauh dari kamar Baby Al. Wajah Alexander merah padam, menandakan lelaki itu sangat marah. "Iya, Tuan," jawab Aira dengan wajah tertunduk. "Lalu kenapa kau masih melakukannya? Enak-enakan tidur berdua di kasur pula, sedangkan anakku tidur sendiri di box-nya? Apa karena aku sudah memprioritaskanmu dalam segala hal, membuatmu jadi besar kepala, dan merasa bebas melakukan apa pun di sini?" Suara Alexander meninggi. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Aira yang awalnya menunduk, refleks mendongak, menatap sang boss. Untuk memastikan kalau kalimat barusan benar terlontar dari mulut lelaki es yang akhir-akhir ini terlihat mencair. Terlebih setelah sebulan lalu menyerahkan akta cerai Aira yang selesai diurus pengacaranya. Namun, sekarang? "Apa fasilitas yang kuberikan untuk anakmu kurang, hingga kau masih membawanya ke kamar anakku? Padahal aku sudah memb
22Dengan napas tersengal menahan amarah, Alexander yang tangannya mencengkeram besi pegangan tangga dengan kuat, menunggu beberapa saat, berharap Aira berubah pikiran. Membatalkan keputusannya untuk pergi. Namun, hingga beberapa saat menunggu, wanita yang menggendong bayi itu tak muncul lagi di hadapannya. Hanya Dita yang kembali dengan wajah menunduk takut. Alexander meninju dinding dengan keras, sebelum berjalan cepat menuju kamarnya. Langsung menuju kamar mandi dan mengguyur kepalanya dengan air dari keran wastafel. Kepalanya terasa panas, bahkan seperti ingin meledak. Wanita itu berani sekali melawan dirinya. Bahkan dengan tanpa keraguan sama sekali meninggalkan rumahnya. Padahal selama ini begitu banyak hal ia berikan kepada Aira, juga anaknya. Hanya satu yang tidak ia suka. Aira membawa anaknya ke kamar Baby Al. Raka sakit? Menurutnya bukan alasan membawa anak itu masuk ke sana. Bagaimana kalau Raka mengidap penyakit menular, dan Alister tertular karenanya? Bukankah itu san