Test DNA baru saja selesai. Berbekal masker, topi dan jaket yang mendadak dibeli Sasha, akhirnya dia memiliki keberanian untuk masuk ke dalam rumah sakit itu. Meskipun Sasha tak terlalu paham jadwal praktek dua kakak lelakinya. Namun, dia cukup khawatir jikalau tiba-tiba kepergok dan semua akan menjadi kacau.
“Untuk hasilnya, akan saya emailkan! Bagi yang memang hasil test DNA-nya akurat, akan kami hubungi segera. Pastikan nomor ponsel kalian aktif, juga alamat yang kalian cantumkan dalam formulir, benar!” Sasha dan ketiga orang perempuan sebayanya yang baru saja selesai test DNA, mengangguk. Lalu, setelah itu mereka semua diperbolehkan pulang. Sasha menghembuskan napas lega. Akhirnya dia bisa segera keluar. Semoga saja memang bukan jadwal praktek kakaknya sekarang. Jadi, dia akan merasa aman. Beruntungnya, kemarin pun dia mengirimkan foto berdua dengan Ameera dalam lampiran, karena hanya itu yang ada. Jadi, wajahnya tak dipertanyakan. Gavin sudah beranjak terlebih dulu. Dia berjalan tergesa menuju ke arah luar. Sasha memandangnya dengan perasaan enggan berpisah. Sepertinya Gavin sudah membuatnya betah. Sasha pun lekas meninggalkan rumah sakit itu. Hanya saja, ketika dia tengah berjalan menuju arah luar, tiba-tiba suara seseorang terdengar memanggilnya. “Micin!” Sasha menoleh. Tak salah lagi, suara itu dan panggilan itu. Bahu Sasha melorot dan dia menoleh dengan malas. Terlihat seorang lelaki dengan jas warna putih tengah berjalan ke arahnya. Aksa---kakak tengahnya yang memanggil. Rupanya Aksa tetap mengenali postur dan cara jalan Sasha, meskipun wajahnya ditutup dengan masker. “Hay, Bang!” Sasha melambaikan tangan sambil nyengir. Meskipun tak terlihat karena tertutup oleh masker yang dia pakai. “Kamu ngapain di rumah sakit? Ngobatin sakit hati lagi?” seloroh Aksa. Lelaki berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu menatap adiknya. Sasha terlihat sehat. Karena itu dia melontarkan pertanyaan seperti itu padanya. “Ish, pertanyaan yang gak berbobot! Jangan mentang-mentang jadi dokter, Bang! Sekate-kate sama orang!” Sasha mendelik. Aksa tergelak. “Mama sama Papa sudah uring-uringan, kamu gak balik-balik! Masih seneng jadi gelandangan?” Aksa menaikkan alisnya ke atas. Sasha memutar bola mata. Dia pun memberengut dan meninju bahu kakaknya itu. “Males dih, dokter sombong! Pantes gak laku-laku! Dah ah, mau balik! Bilang sama papa sama mama! Gak usah cemasin Sasha! Sasha baik-baik aja!” Sasha pun melengos pergi meninggalkan kakak keduanya. Malas sekali kalau di rumah dan harus berurusan dengan empat dokter menyebalkan. Kedua orang tua Sasha adalah dokter, karena itu mereka mendoktrin ketiga anaknya agar menjadi dokter juga. Hanya Sasha yang membangkang dan memilih berhenti hanya sampai pada jenjang SMA. Dia ingin berpetualang dan mencari pengalaman hidup yang berbeda. Karena itu, Sasha tak nyaman berada di rumah. Karena semua masih mengungkit-ungkit keputusannya yang dipandang nyeleneh. [Ini alamat kontrakan baruku, Sha!] Sasha baru saja tiba di parkiran ketika mendapatkan pesan singkat dari Ameera. [Oke, Beb! Kapan-kapan ke sana!] Sasha membalas cepat. [Ish, kamu lagi di mana sih, Sha? Dari tadi aku telepon gak diangkat-angkat?] protes Ameera. [Ngurusin masa depan kamu, Besti!] Ameera mencebik melihat pesan balasan Sasha. Lalu diletakkannya ponselnya dan bergegas Ameera merapikan barang-barang baru saja dimasukkan ke dalam kontrakan barunya. “Semoga di sini, aku bisa hidup tenang!” batin Ameera sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Dia pun melanjutkan menata barang-barang sambil merasakan rasa sakit yang masih tersisa pada badannya. [Take a rest, ya, Ra. Lekas sembuh!] Ameera melirik ponselnya yang berdenting sekali. Tanda pesan masuk. Tampak dari layar sederet tulisan dari nomor Ardi. Ameera hanya meliriknya, tak berniat membuka apalagi membalasnya. Dia harus melupakan Ardi. Bukan karena Ameera tak mau berjuang bersama, tetapi Ameera sadar diri. Sampai kapanpun, keluarga Ardi tak akan menerimanya. *** Ameera dan Sasha sudah menjalani hari-hari seperti biasa. Sakit yang dirasakan Ameera berangsur sembuh. Dia sudah bisa masuk kerja. Sasha tak pernah cerita juga jika dia sudah melakukan test DNA dengan menyerahkan sampel rambut Ameera. Hasilnya mungkin dua mingguan lagi keluar. Jika memang benar akurat, Sasha berharap itu akan menjadi sebuah kejutan untuk sahabatnya. Keduanya kompak seperti biasa. Pagi, membeli nasi kuning sambil menunggu jemputan datang. Siang hari, makan bersama kadang di loker, kadang di kantin karyawan, kadang di bawah pepohonan rindang di tepi green yang menjadi tempat latihan para caddy training. Mereka menghabiskan waktu bersama hembusan angin lapangan yang segar, dedaunan yang saling melambai, pasir-pasir pada bunker yang terhampar, juga kolam-kolam panjang buatan yang pengapit kanan kiri lapangan. Sorenya kalau tidak menggoda Mas Parjo. Maka, Sasha akan menggoda mas mas yang lainnya. Hal-hal remeh yang memberi warna lain pada kehidupan Ameera dan sensasi baru pada kehidupan Sasha. Mereka lekat dan bersahabat. Waktu merambat. Selama itu pula, Ameera berusaha menjaga jarak. Meski Ardi berulang kali menghubunginya, tetapi tak pernah terbersit sedikit pun untuk Ameera kembali membuka diri untuk hubungan itu. Hingga suatu hari, nomor yang tak Ameera beri nama mengirimkan sebuah undangan digital. Ameera membacanya dengan perasaan tak karuan. Ardi menyerah dan resmi bertunangan. Ada satu titik yang jatuh di pipi Ameera. Meski sudah tahu akan seperti apa pada akhirnya, tapi harapannya yang dulu terlampau besar membuatnya tetap merasa sesak dan merasa benar-benar kehilangan. “Semoga kamu bahagia, Mas … doakan aku agar aku bisa berdiri tanpamu,” lirih Ameera sambil terisak. Hanya saja gedoran pada daun pintu kontrakan membuatnya lekas menyeka sudut matanya dan muncullah Sasha dengan tampilan rapinya. “Ra, ayo siap-siap!” “Ke mana, Sha?” “Menuju masa depan! Ikut aja pokoknya! Dijamiiin gak bakal nyesel!” Ameera menautkan alis. Namun, tak sempat lama berpikir. Sasha sudah menarik lengannya dan memaksa untuk lekas ikut dengannya keluar. “Ish, mau ke mana, si?” “Masa depan!”“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.