“Kamu siapa? Ada apa nyari saya?” Gavin mengulangi lagi pertanyaannya.
“Maaf, apa benar dengan Pak Gavin? Saya salah satu peserta sayembara terpilih kemarin, tetapi kemarin betul-betul berhalangan. Apakah bisa diberikan kesempatan kedua?” Sasha menatap Gavin sambil memasang wajah memelas. Gavin tertawa miring. Ditiliknya wajah Sasha sambil menyipitkan mata lalu bicara, “Ameera atau Hazana?” tanyanya. “Saya Sasha, Pak!” Reflek Sasha menyebut namanya sendiri. “Sasha? Tak ada peserta dengan nama itu. Jika hanya mengaku-ngaku, silakan keluar!” tegas Gavin sambil hendak memutar tubuh. “M—Maksud saya, Ameera! Saya Ameera!” Sasha meralat ucapannya. Sudah tanggung kepalang dia tiba di sana, percuma kalau tak bisa bertemu dengan Tuan Rivaldo yang selama ini hanya dia lihat wajahnya di televisi itu. “Ameera atau Sasha?” Gavin menekankan sekali lagi. “Ameera, Pak!” Sasha menjawab cepat. “Apa bukti kalau kamu memang kami undang?” Tanya Gavin lagi. Sasha terdiam sejenak. Otaknya berputar cepat. Hingga akhirnya dia ingat undangan yang dikirimkan Gavin dalam email. Sasha lekas mengeluarkan ponselnya dan membuka email. “Duh kalau grogi gini, ngedadak gak ketemu coba! Duh mana, sih?” batin Sasha sambil mencari email panggilan dari Gavin. Hanya saja, Gavin yang sudah kadung curiga langsung bicara pada panitia. “Tolong panitia! Jika ada orang tak jelas lagi seperti dia, usir saja!” tandas Gavin sambil memutar tubuh. “Hey, tunggu! Ini buktinya ada kok, Mas!” Suara Sasha menghentikan langkah Gavin. Panggilan Bapak pun reflek berubah jadi Mas. Gavin menoleh dan menatap ke arah Sasha yang tengah menyodorkan ponsel ke arahnya. Gavin berbalik dan mendekat. Jantung Sasha berdebar cepat ketika aroma maskulin menguar, lalu tangan kokoh Gavin tersodor ke arahnya. Reflek Sasha memberikan ponselnya pada Gavin. Mereka saling terdiam. Gavin menunduk mengecheck undangan itu dengan seksama. "Duh, Mas Gavin kok ganteng banget, sih? Meleleh hati aku, Mas!" batin Sasha. Sementara Gavin memeriksa ponselnya, Sasha sibuk memandangi seraut wajah tampan di hadapannya. Gavin melihat-lihat ponsel Sasha tak lama. Dia pun menyodorkannya kembali dan hanya mengeluarkan satu kalimat, setelah itu beranjak pergi. “Tunggu di sini!” "Nunggu di KUA pun aku bersedia kok, Mas!" tutur Sasha dalam batinnya. Hanya sebatas dalam dada. Pada kenyataannya, Sasha berusaha bersikap cuek dan tak menunjukkan rasa tertariknya. “Ganteng banget ya si Pak Gavin. Eh, gak pantes dipanggil Bapak. Mas Gavin maksudnya. Wong dia masih muda dan keren kayak gitu,” batin Sasha lagi bicara sendirian. Sasha duduk lagi, tetapi Gavin tak kunjung kembali. Sekitar satu jam sudah, Sasha masih menunggu. Sudah duduk, berdiri dan kadang jalan ke toilet. Satu per satu orang-orang dengan dress code yang sama, berjalan keluar dari ruangan. Sepertinya para peserta sayembara yang hari ini dipanggil. Barulah pada jam kedua, panitia dari pihak hotel mengarahkannya untuk masuk. Sasha membaca segenap doa yang dia bisa. Ada dua hal yang kini benar-benar membuatnya gugup. Gavin dan juga dirinya yang tengah mengaku sebagai Ameera. “Duh, aku jujur saja ngaku Sasha atau tetap ngaku Ameera, ya?” batin Sasha mulai bimbang. “Jika aku ngaku Ameera, aku takut keceplosan, terus kalau benar Ameera anaknya Tuan Rivaldo, nanti gimana, ya? Kalau ngaku Sasha, nanti diusir Mas Gavin, duh!” “Silakan masuk!” Tanpa Sasha sadar, dia sudah berada di ambang sebuah ruangan. Di depan sana duduk seorang lelaki di atas kursi roda yang tak lain adalah Tuan Rivaldo dan di sampingnya ada Gavin. Panitia dari hotel yang mengantarnya menutup pintu setelah Sasha masuk. Langkah Sasha mengayun ragu. Hatinya masih galau dan bimbang. Jarak kian terkikis. Kini dia sudah berdiri di depan Tuan Rivaldo dan Gavin yang menatapnya dengan pandangan menilai. “Silakan duduk!” Suara bariton Tuan Rivaldo membuat Sasha langsung duduk. “Mana KTP kamu!” Suara Gavin yang tegas membuat Sasha terperangah. Sialnya, dia tak kepikiran untuk meminjam KTP Ameera. “M—Maaf, Mas! Maaf saya lupa gak bawa. Tadi buru-buru!” tutur Sasha setelah berpikir beberapa saat. Tak mungkin ‘kan dia menyerahkan KTP-nya. Bisa-bisa langsung diusir Gavin saat ini juga. “Ck! Bagaimana saya bisa memastikan kalau kamu benar-benar Ameera?” tatapan Gavin menyelidik. “Ahmm …n—nanti saya susulkan, Mas.” Sasha merem*s jemarinya sendiri di bawah kolong meja. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Hari ini benar-benar lebih tegang dari pada ketika interview kerja. “Tanggal lahir kamu?” Tanya Gavin lagi setelah Sasha tak bisa menunjukkan KTP asli. "S--sebutkan, Mas?" Reflek sekali Sasha bertanya. Namun bukannya menjawab, Gavin hanya memandang ketus ke arahnya. Seolah hendak bilang, gitu saja kok nanya. Sasha yang sadar, segera menimpali lagi kalimatnya yang tadi. “Ahmm, apa seperlu itu tanggal lahir, Mas? Karena saya sendiri gak tahu pastinya kapan saya dilahirkan! Orang tua saya membuang saya ke panti asuhan. Jadi tanggal lahir saya itu, hari ketika saya ditemukan di panti!” Sasha mulai menikmati perannya sebagai Ameera. Lidahnya sudah mulai bisa merangkai kata. Lagian, dia pernah mendengar itu dari Ameera ketika dia membahas ulang tahunnya. Tuan Rivaldo mengangguk-angguk. Gavin membuang napas kasar. Lalu pertanyaan demi pertanyaan berlanjut dan Sasha akhirnya bisa memainkan peran Ameera dengan baik di depan Gavin dan Tuan Rivaldo. Sasha yang cukup tahu masa kecil Ameera karena sering ikut mamanya berkunjung ka panti asuhan itu, cukup lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan Gavin padanya. “Bu Uti bilang, saya ditemukan dalam keranjang sampah di depan panti asuhan! Gak ada tanda-tanda apapun yang tersisa selain sebuah handuk yang membungkus saya. Jadi, saya bisa saja anaknya Tuan, tetapi bisa jadi juga anak orang lain.” Sasha menjelaskan dengan tegar. “Saya hanya berharap, saya memiliki kesempatan untuk test DNA. Karena itu, jauh-jauh saya datang ke sini! Mau hasilnya apapun, saya terima. Karena saya hanya mencari kebenaran dan ingin tahu jati diri saya saja,” tutur Sasha di akhir sesi perbincangan dengan Gavin dan Tuan Rivaldo. Tuan Rivaldo melihat Sasha berbeda dengan kandidat-kandidat sebelumnya yang cukup ngeyel. Bahkan mereka seperti kecewa ketika dikatakan akan test DNA. Keinginan dari Sasha untuk melakukan test DNA pun menjadi salah satu poin. Menurut Tuan Rivaldo, niatan Sasha tulus dan bukan hanya ingin beralih status menjadi putri konglomerat dan bisa hidup mewah. Karena itu, dia meminta Gavin untuk memasukkan Sasha ke dalam daftar para kandidat yang akan ditest DNA setelah selesai sesi pertemuan hari ini. “Ikutlah dengan saya! Kita ke rumah sakit Medika Sentosa!” tutur Gavin setelah Sasha diminta menunggu di ruangan lain bersama tiga orang kandidat yang terpilih hari ini. Mendengar nama rumah sakit itu, seketika tenggorokkan Sasha tercekat. “Ya ampuuun, gimana ini? Itu ‘kan rumah sakit tempat Bang Harsa dan Bang Aksa kerja. Duh, gimana kalau ketemu mereka? Kacau bisa-bisa semuanya!” Sasha mulai panik. Otaknya mulai mencari –cari solusi. Kenapa dari sekian banyak rumah sakit, Gavin dan Tuan Rivaldo malah memilih rumah sakit Medika sentosa. Di sanalah kedua Kakak Sasha yang berstatus sebagai dokter, kini bekerja. “Mari kita pergi sekarang!” Suara Gavin kembali membuyarkan pikiran Sasha yang diliputi kecemasan.“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.