Kara kembali ke depan ruang ICU dan tak mendapati Bagas, ia mencari-cari Bagas dimana-mana namun masih tak menemukannya. Dengan rasa penasaran Kara mengambil ponselnya dari dalam tas dan mencoba menghubungi Bagas, tak diangkat. Kemana Bagas? Jangan-jangan Bagas melihat Kara waktu Kara sedang mengobrol dengan Gavin di Coffee Shop? Jangan-jangan Bagas marah dengan Kara? Segala pikiran buruk melintas di kepala Kara. Entah mengapa ia merasa sangat takut jika Bagas marah dengannya. Saat ia sedang merasa cemas, Bagas muncul dari kejauhan, membuat Kara langsung berlari menghampirinya. "Kamu dari mana? Kamu gak marah kan?!" tanya Kara dengan agak terengah karena habis berlari. Bagas mengernyitkan dahi, "Marah kenapa? Saya dari toilet," jawab Bagas bingung karena wajah Kara terlihat panik. Kara menarik nafas lega, sepertinya Bagas tidak melihatnya mengobrol dengan Gavin. "Oh iya Itu kopi kamu disitu," tukas Kara sambil menunjuk ke arah kursi ruang tunggu yang berada di jarak beberapa mete
"Ya udah lo mau nginep di rumah gue dulu? Mumpung suami gue lagi dinas luar kota," usul Nadine saat Kara datang kepadanya setelah segala drama yang terjadi di rumah sakit. Kara mengaduk minumannya, berpikir. "Jangan deh Nyuk, gak wise aja gitu kayaknya kalo gue pergi ninggalin rumah waktu berantem gini, ya walaupun nikah-nikahan tapi tetep aja, kayaknya gak etis aja," tukas Kara sambil masih terus mengaduk Lychee Ice Tea yang es batunya mulai mencair. Nadine bertepuk tangan sambil tertawa, "Gilaaaaa lo udah berubah seratus persen deh Nyuk! Waaahh kalah sih gue sama lo!" ujar Nadine yang terkejut mendengar jawaban Kara yang bijak dan dewasa, seperti bukan Kara. Kara tertawa sambil melempar Nadine dengan tissue, "Sialan lo!" seru Kara malu. "Aneh banget sih Nyuk, bokapnya Bagas kok kayak gitu ya? Maksud gue, kan kasian Bagas, walaupun misalnya dia ngerasa bersalah sama Gavin, tapi kan harusnya gak ngorbanin perasaan Bagas," tukas Kara dengan tatapan menerawang. "Gak ngerti juga sih
Kara gelisah di atas tempat tidurnya, ia bolak-balik berganti posisi dari tidur menjadi duduk, ia menyesal kenapa tadi ia menjawab pertanyaan Bagas dengan begitu cepat tanpa berpikir, pasti sekarang Bagas sudah bisa membaca jika Kara mulai menyukainya! Kara merutuki kebodohannya. Kara berharap semoga Bagas tidak salah paham, entah kenapa Kara tidak mau jika Bagas mengiranya mengharapkan pernikahan ini akan berlanjut seperti pernikahan normal pada umumnya. Ia tidak mau terlihat seperti orang yang terlalu mengharapkan cinta Bagas, duh harga diri Kara mau di taruh dimana? Apalagi harus terang-terangan bersaing dengan Thalita, membayangkannya saja Kara tak mau. Karena tak bisa tidur, Kara mulai melakukan push up dan sit up agar tubuhnya segera merasa lelah dan mengantuk. Setelah perutnya keram akibat sit up sampai tiga ratus kali, Kara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sampai secara tak sadar ia sudah hanyut dalam mimpi panjang yang indah. *****Satu hari lagi resepsi pernikahan
Kara sedang duduk di ruang TV saat Bagas masuk ke dalam Penthouse dengan wajah muram, Bagas melirik Kara sekejap lalu melanjutkan langkahnya menuju ke dalam, sebelum Bagas sempat masuk ke dalam kamar, Kara berjalan cepat mengejarnya. "Tadi saya sama mama ketemu Thalita di salon!" seru Kara sambil memblokir langkah Bagas. Bagas terlihat terkejut, namun ia berusaha menyembunyikannya, "Terus kenapa?" sahut Bagas datar. "Terus kenapa? Thalita ngomong sesuatu seolah-olah dia mau ngebocorin rahasia kita! Ya saya sih gak rugi ya kalau sampe ini bocor, toh utang Papa saya udah kamu bayar, tapi kamu? Posisi CEO kamu? Ya good luck deh with that!" seru Kara kesal. Bagas bergeming, wajahnya tampak kaku. Sebelum masuk ke dalam kamar, Kara berbalik badan lagi, "Oh ya, kamu tadi di sana juga kan? We saw your car," tukas Kara lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat, entah mengapa ia merasa sangat amat kesal dengan Bagas. Bagas masih terdiam di tempatnya berdiri, ia tak menyangka b
Dua minggu sudah berlalu sejak resepsi pernikahan Kara dan Bagas digelar. Semenjak itu mereka tidak saling berbicara mengenai segala kejadian yang terjadi selama acara tersebut. Baik kejadian saat Thalita mengancam Bagas maupun kejadian saat Kara memutuskan untuk mencium bibir Bagas di depan seluruh tamu undangan. Segalanya berjalan seperti biasa, hanya saja Kara merasa Bagas mulai sangat menjaga jarak dengannya. Bagas lebih sering menghabiskan waktunya di kantor atau di kamar dan jarang duduk bersama dengan Kara. Kara mulai berasumsi jika sikap Bagas terjadi karena Thalita mengancamnya. Karena Kara dapat mendengar dengan jelas ancaman Thalita waktu itu. Atau bisa jadi Bagas menjauh karena Bagas merasa tidak nyaman dengan sikap Kara yang mulai terasa berbeda, maksudnya mungkin Bagas tidak suka jika Kara mulai jatuh hati padanya. Kara menanggapi semuanya dengan acuh ia berusaha memfokuskan diri dengan bisnis fashionnya yang akan segera ia mulai. Segala urusan legalisasi perijinan u
Kara menunggu jawaban Gavin dengan gelisah, apa yang kira-kira Gavin ketahui? Gavin menarik nafas dalam, lalu menatap Kara tepat di mata. "Saya tau semuanya," satu kalimat yang keluar dari mulut Gavin mampu membuat Kara lemas seketika. Kara membeku di tempatnya duduk, ia masih berharap dugaannya salah. Gavin menunduk sejenak, lalu mendongak menatap Kara lagi, "Saya tau tentang pernikahan kontrak kalian." DEG! Jantung Kara benar-benar seperti copot dari tempatnya, ia menatap Gavin dengan mata terbelalak, ponsel di tangannya sampai jatuh ke karpet saking terkejutnya Kara. Bahkan Kara tak menyahut dan mengatakan apa-apa, ia masih sulit untuk mencerna kenyataan ini. Gavin mengambil ponsel Kara yang jatuh, lalu meletakkannya di atas meja. Ia menarik nafas, sedikit merasa bersalah karena melihat reaksi Kara yang benar-benar shock. "Kamu baik-baik aja Kar?" tanya Gavin sambil menatap dengan tatapan khawatir. Kara merasa sangat ingin menangis sekarang, apakah sekarang semuanya benar-ben
Matahari mengintip dari jendela kamar Kara, Kara menyipitkan matanya karena merasa silau. Dengan malas Kara meregangkan tubuhnya, rasanya ia tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Tiba-tiba Kara teringat pesan Thalita kepada Bagas yang ia baca tadi malam. Astaga! Kalau Kara harus mengganti uang seratus milyar kepada keluarga Bagas, ia harus mencarinya kemana? Bagas pasti membayar hutang Papa Kara dengan uang keluarganya, mana mungkin Bagas memiliki uang seratus milyar sementara ia baru saja naik menjadi CEO. Kara merasa sangat frustasi, ia beranjak duduk, menatap kamarnya yang luas dengan segala fasilitas mewah yang sekarang seolah tak ada artinya lagi. Ia penasaran apa yang Bagas katakan pada Papa atau Mamanya sampai ia bisa mencairkan uang seratus milyar, alasan apa yang kira-kira ia gunakan? Kara mulai tak berminat melanjutkan bisnis fashionnya, kalau pernikahannya dengan Bagas berakhir, bisnis fashionnya juga akan berakhir, karena uang yang ia gunakan semua adalah uang Bagas.
"Kar, saya udah nemu tempat yang lebih tepat buat butik kamu," tukas Bagas tiba-tiba, saat itu Kara sedang sibuk menyedot debu di karpet dengan vacum cleaner. Kara mendongak terkejut, "Maksudnya? Kan interior butik saya udah hampir seratus persen jadi di gedung kantor kamu?" tanya Kara tak mengerti. Bagas menghampiri Kara, mematikan tombol vacum cleaner yang berdengung berisik, lalu berdiri tepat di depan Kara. "Kita harus pastikan kalo butik itu jadi sepenuhnya milik kamu, jadi kalau kontrak nikah kita selesai, butik itu gak akan ikut berakhir," tukas Bagas kali ini sambil menatap kedua mata Kara. Kara membeku di tempatnya berdiri, "Kamu bener-bener mikirin kata-kata Nadine?" tanya Kara terkejut. Bagas mengangkat bahu, "Ya emang gitu kan seharusnya," sahut Bagas seraya berlalu dari hadapan Kara, membuat Kara tersenyum sendiri. Kara langsung berhenti tersenyum ketika tiba-tiba saja Bagas menoleh lagi ke arahnya. "Abis ini kita survei ke sana, mandi gih!" seru Bagas sambil menahan