Share

Bab 5

ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (5)

Kepalaku makin berdenyut mendengar kata kata gadis di depanku ini. Meski dia mengatakannya sambil tersenyum, aku yakin ada maksud tersembunyi di balik sikap manisnya. Apalagi kata katanya barusan. Apa? Gegar otak. Coba tanya Mas Nabil, kepala Vivi itu batu.

"Meisya?"

Mama berdiri di ambang pintu, sudah mengenakan pakaian rapi. Sepertinya Mama mau pergi. Aku menghela nafas dalam dalam, merasa terselamatkan oleh situasi yang menyebalkan ini.

"Iya Ma. Maaf aku gak langsung nemuin Mama. Ini lagi nengokin Mbak Vivian, katanya semalam jatuh."

"Oh iya. Kebetulan kalau begitu. Mama mau keluar sebentar, ada janji sama teman Mama. Bisa gak Mama titip Vivian?"

Astaga Mama. Ngapain sih pake dititipin segala.

"Gak. Gak usah Ma. Aku gak apa apa kok." Seruku cepat. 

Mama melotot.

"Gak apa apa gimana? Kamu dari tadi megangin kepala terus. Mama takut kamu pingsan lagi Vi."

Aku sontak menurunkan tangan dari kepala. Uh, sesungguhnya aku terharu mendengar perhatian Mama. Tapi di rumah bersama Meisya itu bukan pilihan yang menyenangkan.

"Dengan senang hati Ma. Kebetulan aku bawa bahan masakan tadi. Kalau boleh, aku mau masak untuk makan malam." Ujar Meisya sambil berdiri dan tersenyum pada Mama.

"Wah, selain pintar bikin kue, apa kamu pintar masak juga Mei?"

Aih, apa apaan sih Mama? Gak biasanya antusias begitu. Memang sih, aku selama ini gak pernah masak. Ya gimana, aku kan sibuk kerja. Mau makan enak tinggal pesan aja di resto. Selain itu, masakan Mama sudah yang paling the best.

"Gak juga Ma. Cuma belajar aja kok. Kata Mas Nabil, dia gak suka makanan dapat beli. Dia sukanya makanan rumahan, jadi aku belajar masak."

Sekilas kulihat wajah Mama berbinar. Lalu seperti tersadar, Mama memasang wajah datar dan segera berpaling padaku.

"Ya udah Mama tinggal sebentar ya. Gak lama kok. Paling sebelum ashar sudah pulang."

Ya ampun itu sih lama Ma, keluhku dalam hati. Sedikit menyesal kenapa aku izin kerja tadi sehingga harus serumah dengan perempuan ini. Ya walaupun setengah hari, aku yakin rasanya akan sama kayak setahun.

Meisya lalu pamit padaku untuk mengantar Mama keluar sekaligus langsung ke dapur. Aih caper banget. Ini baru jam satu siang. Sudah mau masak makan malam. Atau jangan jangan kamu mau nyontek resep dulu ya.

Aku kemudian memejamkan mata. Rasa lapar karena belum makan siang langsung lenyap mengingat rivalku kini menguasai dapur. Biasanya jam segini, Tiara juga sedang sibuk di kamarnya usai makan siang. Mengerjakan pe er, menggambar, lalu tidur siang sampai menjelang asar nanti. Biasanya, kalau sedang tak sibuk, Mas Nabil akan datang sebelum Maghrib, beberapa kali dalam seminggu untuk menengok Mama dan Tiara.

Anganku melayang pada Mas Nabil, orang yang selama ini membuatku bertahan di rumah ini meski menuai banyak hujatan. Bukan hanya dari keluarga Mama, tapi juga dari tetangga sekitar. Aku tak peduli, karena selama ini Mama yang menjadi tameng untukku. Bukan salahku kalau Mama sayang padaku. Iya kan?

"Vivi itu sudah saya anggap anak sendiri. Jangan ungkit ungkit dan tanya tanya lagi kenapa dia masih tinggal di rumah ini." Jelas Mama pada siapa saja yang bertanya.

"Tapi aku risih Ma setiap kali menengok Mama dan Tiara, harus bertemu dengannya." Keluh Mas Nabil suatu hari.

"Nabil, kesalahan Vivian tidaklah terlalu fatal, kenapa kamu tidak memaafkan dan rujuk saja? Mama tidak bisa melihatnya pergi, dia… mirip sekali dengan almarhum adikmu."

Kala itu, jantungku langsung berdetak kencang mendengar kata kata Mama. Jadi itu alasan Mama selama ini menahanku untuk tetap tinggal di rumahnya selain karena Tiara. Perlahan, rasa sayang tumbuh di hatiku. Padahal tadinya aku hanya bermaksud memanfaatkan Mama untuk bisa kembali pada Mas Nabil.

"Apa Mama fikir dia pernah minta Maaf? Tidak Ma. Vivian itu angkuh sekali. Meski langit runtuh di atas kepalanya, dia tidak akan minta maaf." Ujar mas Nabil kesal.

Itu memang benar. Aku tak pernah meminta maaf padanya karena kupikir Mas Nabil terlalu berlebihan dalam bereaksi. 

"Mas, kamu sungguh sungguh akan menceraikan aku?" Tanyaku saat melihat dia membereskan pakaiannya ke dalam koper, malam hari usai mengucap talak.

"Iya tentu saja aku sungguh sungguh. Aku tak bisa hidup dengan perempuan yang tak bisa menghargai suaminya."

"Ya ampun Mas, cuma omongan gitu doang. Kamu berlebihan sekali Mas."

Mas Nabil menghentikan gerakan tangannya, menatapku tajam hingga aku salah tingkah.

"Mungkin bagimu aku berlebihan, tapi menyamakan suami dengan sampah, apa menurutmu itu tidak keterlaluan? Ah, tentu saja tidak. Bagimu yang terbiasa merendahkan orang lain, itu hal sepele saja."

"Aku kan cuma berusaha membuka matamu Mas. Kalau pekerjaanmu itu gak punya prospek yang bagus. Ini demi kebaikanmu loh Mas."

Mas Nabil mendengus. Dia mengangkat kopernya yang sudah penuh.

"Kamu boleh tinggal di sini. Aku akan kembali ke rumah Mama."

"Mas, udah deh jangan gitu. Ayo duduk lagi."

"VIVIAN!"

Aku berjengit mendengar Mas Nabil membentakku.

"Ini peringatan bagimu agar bisa menghargai orang lain. Dan aku ingatkan, jangan coba coba memungut sampah yang sudah kau buang."

Aku menahan nafas mendengar kata katanya. Hatiku luruh seketika, menyadari kesempatanku untuk mendapatkannya kembali telah musnah. Berbulan bulan kemudian aku masih menyesali diri atas kebodohan yang kubuat. Aku lupa, bahwa harga diri lelaki itu dijunjung di atas kepalanya.

Kesempatan akhirnya datang ketika Mama memintaku tinggal di rumahnya. Meski Mas Nabil menolak dengan keras, Mama bergeming. Dengan alasan tak mau jauh dari Tiara, akhirnya aku pindah ke rumah Mama. Mas Nabil terpaksa mengalah dan mengontrak rumah lain karena tak mungkin lagi kami tinggal satu atap. Meski tidak terang terangan, aku tahu Mama mendukungku untuk rujuk dengan Mas Nabil. Tapi sayang, lelaki itu telah menutup hatinya rapat rapat.

Lalu dia datang membawa Intan, mencoba memperkenalkannya pada Mama sebagai calon istri. Tak lama kudengar hubungan mereka putus. Lalu Mas Nabil kembali memperkenalkan Annisa. Tapi hasilnya sama saja. Kedua perempuan itu mundur teratur begitu tahu aku masih tinggal dengan Mama. Sampai akhirnya si pengacau itu datang.

Meisya.

Yang kini dapat kudengar suaranya sedang masak di dapur sambil mengobrol.

Ngobrol?

Dengan siapa? Mama kan lagi pergi.

Menahan denyutan di kepala, aku berjingkat ke dapur, dengan langkah tanpa suara. Lalu berdiri di balik tirai pembatas. Hatiku mencelos melihat siapa yang tengah berbincang bincang dengan Meisya, sementara tangannya sibuk merajang sayur dan bumbu.

Dia, gadis kecilku. Kulihat Tiara ikut mengupas bawang sambil bertanya ini dan itu. Sesekali mereka tertawa. Oh, sejak kapan Tiara akrab dengan Meisya?

Dan bagaimana bisa Meisya mengambil hati anakku secepat itu?

Tiba tiba saja, aku merasa sebatang kara.

***

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
sukurin ,emang enak vivian,jdi cwek jgn terlalu murahan
goodnovel comment avatar
De Ellow
Menarik untuk ....
goodnovel comment avatar
Mubasiroh Aly
vivian harus mengubah sikap dan perilaku untuk menjadikan segalanya baik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status