Home / Rumah Tangga / ISTRI BAYANGAN TUAN CEO / BUKAN PERNIKAHAN BIASA

Share

BUKAN PERNIKAHAN BIASA

Author: Ova Bakri
last update Last Updated: 2023-07-21 23:34:41

Waktu berganti begitu cepat, seiring musim kemarau yang akhirnya menyelimuti Kota Surabaya. Sembilan bulan lamanya usia pernikahanku dan Bang Habib. Namun, hingga kini kami tidak seperti pasangan pada umumnya. Tidur di ranjang berbeda dan tentunya di kamar terpisah.

Seperti perkataan Bang Habib di malam pertama pernikahan kami kala itu. Kami akhirnya pindah di bulan kelima. Itu pun setelah melewati perdebatan panjang dengan Mama Hani.

"Rumah ini terlalu besar untuk Mama tempati sendiri, Le. Senadainya kalian ingin kembali, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Ucapan Mama Hani kembali terngiang saat kami mengemas barang.

Rumah mewah dua lantai yang terletak di Jalan Citra Land menjadi pilihan Bang Habib. Sebagai seorang istri, aku hanya bisa mengikuti apa kata suami. Bukankah surga seorang istri ada pada suaminya? Walaupun sampai saat ini aku tidak tahu apa itu surga dalam pernikahan.

Mungkin, aku satu-satunya istri yang masih perawan. Jangankan menjalankan ibadah suami istri, bermesraan pun kami tidak pernah. Sejak malam itu, Bang Habib memasang jarak tak kasat mata pada hubungan kami. Untung saja, dia tidak pernah melayangkan talak untukku.

Bau gosong masakan tercium hingga membuat aku terbatuk-batuk. Memikirkan Bang Habib membuat akal sehatku menghilang entah ke mana.

Aku melirik jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah lewat pukul delapan pagi, tapi Bang Habib belum keluar dari kamarnya. Sementara itu, anak-anak telah berangkat sekolah diantar oleh supir kami.

Aku membuang masakan gosong itu ke tong sampah, lalu membuka rak di bawah kitchen set berwarna hitam metalik. Mengeluarkan talenan dan pisau untuk membuat isian roti bakar sebagai sarapan suamiku.

Aku menghidangkan roti dan kopi hitam di meja makan berbentuk oval beralas kaca tebal. Taplak meja bermotif bunga sakura menjadi objek pandanganku. Menunggu Bang Habib hingga pukul setengah sembilan, tapi batang hidungnya tidak kunjung terlihat.

Aku mengambil nampan. Mengisinya dengan segelas susu dan beberapa potong roti. Pasti karena pulang dalam keadaan mabuk membuat dia kesiangan seperti ini. Undakan demi undakan aku lewati hingga sampai di depan pintu kamar Bang Habib.

Beruntung, pintu kamar tidak terkunci dari dalam sehingga aku bisa masuk dengan mudah. Bang Habib tertidur pulas di atas ranjang. Ranjang yang hanya aku tempati jika ada keluarga yang menginap di rumah ini.

"Bang, bangun! Ini udah siang. Bukannya Abang ada pertemuan penting pagi ini?" Aku berusaha membangunkan Bang Habib dengan menepuk pelan pipinya.

Akan tetapi, tidak ada sahutan dari laki-laki yang tengah mendengkur halus ini. Aku menghela napas panjang, lalu memutuskan membuka gorden terlebih dahulu. Kemudian, kembali menuju sisi ranjang.

"Bang Al, bangun, dong! Ini udah mau jam sembilan."

Berulang kali aku menepuk pipinya, tapi dia masih bergeming dan terbuai dalam mimpi indah. Aku hendak menarik tangan dari pipi Bang Habib, tapi tanganku ditarik hingga aku terhempas di atas tubuhnya.

"Sebentar lagi, Baby. Temani Abang dulu. Abang sangat merindukan kamu, Nay." Bang Habib berguman menyebut nama Mbak Naya.

Bolehkah aku cemburu?

Pelukan di tubuhku semakin erat. Aku berusaha berontak agar terlepas dari situasi yang tidak mengenakan, tapi Bang Habib membalikkan tubuh hingga aku berada di bawah kukungan laki-laki bergelar suami ini.

Aroma alkohol dari mulut Bang Habib tercium pekat. Aku bersusah payah menahan mual karena posisi kami sangat dekat, seperti malam pernikahan kami waktu itu.

"Bang, please, lepaskan Rara!"

Percuma aku bicara karena dia tidak peduli. Aku hanya bisa pasrah saat hidung mancungnya menghidu leherku dengan rakus.

"Kamu mengganti parfum, Sayang? Abang suka aroma tubuh kamu."

Aku menggigit bibir bawah agar tidak mendesah. Leherku kembali menjadi sasaran dari laki-laki bergelar suami ini. Matanya masih terpejam rapat, tapi tangannya bergerilya ke mana-mana.

Aku mendorong dada Bang Habib dengan kencang, tidak sudi rasanya dia menyentuh tubuh ini, dan menganggap aku sebagai Mbak Naya. Tetapi, tenagaku kalah dari dirinya.

Satu tamparan keras aku layangkan di pipi Bang Habib, saat dia mencoba mencium bibirku. Bukan ciumannya yang salah, tapi dia tetap memanggil nama Mbak Naya.

Bang Habib terlonjak kaget seraya membuka kelopak mata. Rahangnya mengeras saat menyadari aku di bawah tubuhnya.

"Apa yang kamu lakukan di kamarku, Ra?" bentaknya, lalu beranjak dari atas tubuhku, menuruni ranjang, dan berdiri tegak di depan jendela kaca lebar.

Miris memang. Bukannya tadi dia begitu buas menjamah tubuh ini, tapi sekarang dia justru menganggapku musuh.

"Jawab aku, Rara!" Dia kembali membentak dengan tatapan membunuh.

"Ra cuma membangunkan Abang. Tapi, seperti yang Abang lihat. Abang justru kembali melecehkan Ra." Dia berdecak kesal mendengar jawaban yang lolos dari bibirku.

"Jangan mimpi, Ra! Aku nggak mungkin melecehkan kamu, kalau bukan kamu yang menggoda," sengitnya tidak terima.

Pandangan mata kami bersirobok dan terkunci. Kemudian, aku menegakkan badan, lalu merapikan pakaian yang telah masai tanpa memutuskan pandangan.

Bang Habib memutuskan pandangan saat aku turun dari ranjang dingin ini. Aku melangkah penuh percaya diri dan berdiri tiga langkah di depannya. Dia bilang diri ini menggoda? Akan aku tunjukkan apa itu godaan.

"Ka-kamu mau ngapain, Ra?" Bang Habib tergagap saat aku menurunkan resleting dress rumahan ini hingga memperlihatkan bagian tubuhku yang tertutup.

Tanpa menjawab pertanyaannya, dress yang sebatas mata kakiku teronggok di atas ambal tebal berbulu lembut. Terlihat jelas Bang Habib menelan saliva dengan susah payah. Deru napasnya pun memburu. Mungkin menahan gairah yang telah lama tidak tersalurkan.

"Apa Abang sudah tergoda?" Dia hanya bergeming dengan tatapan tidak lepas dari tubuhku yang telanjang.

"Jawab Rara, Bang! Mau sampai kapan Abang mendiamkan Rara? Apa Rara terlalu hina sampai Abang nggak mau menyentuh Ra sebagai istri?" Aku menangis, mengiba agar dipandang suami sendiri. Ah ..., betapa rendahnya aku.

Tubuh polosku ternyata tidak mampu membuat Bang Habib luluh. Dia hanya memandang tanpa mendekat, apalagi menyentuh. Aku tertawa sumbang karena sudah melakukan hal yang bodoh dan berakhir sia-sia. Seharusnya aku tidak perlu berharap karena di hatinya hanya ada Mbak Naya.

"Terima kasih atas sikap Abang selama ini," ujarku seraya memungut dress di atas ambal.

Sembari menangis aku memasang dress dengan asal. Membelakangi Bang Habib. Namun, sepasang tangan melingkar di perutku. Mengunci pergerankanku.

"Maafkan Abang, Ra. Maaf ....!" Bang Habib berbisik dengan kepala tertunduk. Hawa napasnya menyapu hangat di daun telingaku.

"Abang nggak mau merusak kamu, Ra. Setidaknya, siapa pun laki-laki pilihan kamu nanti, dia nggak akan rugi mendapatkan gadis sebaik kamu. Jadi, Abang mohon, jangan rendahkan diri kamu. Abang takut khilaf, Ra." Penjelasan Bang Habib membuat hatiku tergelitik. Lucu.

Haruskah aku merasa tersanjung dengan penjagaannya? Aku ini istri, bukan adiknya.

Lantas, apa yang harus dia jaga?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Atina Sari
lanjut,masih mengikuti alur
goodnovel comment avatar
Samsuri Muhammad
sungguh menarik
goodnovel comment avatar
Ova Bakri
makasih say.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   MENEPI

    Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   PERTEMUAN TERAKHIR

    Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   MELIHATMU DARI KEJAUHAN

    Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   DIA BERTAHAN

    Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   SITUASI GENTING

    Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   CAMPUR TANGAN ANAK MAFIA 2

    Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status