Share

DIA MELECEHKANKU

Author: Ova Bakri
last update Last Updated: 2023-07-21 23:33:28

"Apa kamu siap mencintai bajingan seperti Abang?" Bang Habib bertanya dengan suara berat dan serak.

Aku tidak sempat menghindar saat bibir penuh Bang Habib menempel di atas bibirku yang belum pernah terjamah. Awalnya hanya menempel, lalu dia mulai melumat kasar hingga aku sulit bernapas.

Bukan. Bukan ini yang aku mau. Aku ingin kamu saling menerima tanpa ada paksaan. Namun, kenapa dia jadi seperti ini? Aku tidak mengenal sosok laki-laki yang tengah menggigit bibir ini dengan kasar tanpa perasaan.

Aku memberontak saat Bang Habib menindih tubuhku. Ingin sekali mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi sekali lagi tenagaku terkuras karena air mata yang merebak deras.

Napasku terengah-engah saat bibirnya berpindah ke batang leherku dan menghisapnya dengan kuat. Aku merutuki diri karena mendesah di sela isak tangis. Pasti nanti leherku akan dipenuhi bercak merah yang memalukan.

"Kamu menikmati, Ra. Munafik!" Bang Habib kembali merendahkanku, tapi tangannya menyelinap masuk ke dalam baju kaos yang aku kenakan. Menyentuh bagian sensitif tubuhku.

"Tolong jangan perlakukan Ra seperti ini, Bang." Aku terus memohon. Namun, Bang Habib tidak peduli sedikitpun.

Aku terisak-isak. Untuk bernapas pun terasa sulit karena dia kembali membungkam bibirku dengan ciuman kasar. Dia memperlakukanku layaknya jalang di luar sana.

Bang Habib mengehnrikan kegiatannya. Pandangan mata kami bersirobok, walaupun pandangku saat ini buram karena air mata, aku tahu sorot mata itu terpancar penyesalan.

Tangannya terulur hendak menghapus air mataku. Tetapi, aku membuang wajah ke samping. Enggan menatap laki-laki bergelar suami itu. Rasa kecewa saat ini lebih mendominasi. Ya, dia telah menabur luka di malam pertama kami.

"Ini balasan karena kamu berani menaruh rasa padaku," sengit Bang Habib sebelum bangkit dari atas tubuhku.

Dia menggerutu sambil mengusap wajah kasar. Aku segera membalikkan badan dan meringkuk meratapi nasib. Bantingan pintu kamar mandi membuat aku terlonjak kaget, lalu setelah itu gemercik air terdengar samar. Mungkin dia tengah mendingankan kepalanya yang terbakar birahi.

Setengah jam kemudian, dia keluar dari kamar mandi dan menuju walk in closet. Aku tidak melihat, tapi aku dapat mendengar setiap pergerakannya dari bunyi yang dihasilkan.

Aku tidak dapat memejamkan mata hingga adzan Subuh berkumandang dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Bang Habib duduk di depan jendela yang terbuka. Asap rokok memenuhi kamar ini, tapi dia tidak peduli, meskipun aku terbatuk-batuk.

Aku beringsut dan turun dari ranjang menuju kamar mandi. Lebih baik salat dan mengadu pada pemilik kehidupan. Aku tahu bahwa Bang Habib sengaja melecehkan agar aku menyerah dan memilih pergi.

Akan tetapi, apakah aku salah jika tetap bertahan. Bukan hanya karena rasa cinta yang sepihak, tapi pantang bagiku menyerah tanpa harus berjuang terlebih dahulu. Entah seperti apa nantinya dan harus berapa banyak lagi luka yang dia berikan.

Lewat pantulan cermin di atas wastafel. Aku dapat melihat bercak merah memenuhi leher hingga di atas dada. Bibirku bengkak seperti disengat lebah pada puncaknya. Merah dan mengkilat. Menandakan bahwa dia begitu bernafsu pada bibir ini.

Ironi memang. Dia suami, tapi berprilaku seperti pencuri. Jika dia meminta hak secara baik-baik, pasti aku akan memberi dengan suka rela. Namun, untuk menyesal pun rasanya percuma. Aku telah jauh berjalan seperti ini.

"Mbak Naya ...! Apa yang harus aku lakukan pada suami kita? Dia tidak memandangku sedikit pun. Di matanya cuma ada Mbak, begitu juga di hatinya. Tidak ada tempat untukku, walau hanya sedikit." Aku bergumam pada diri sendiri. Berharap angin akan mengantar suaraku pada perempuan bermata bulat itu.

Semua memang salahku. Andai waktu itu aku tidak ceroboh dan meninggalkan buku diary di atas ranjang. Mungkin sampai saat ini aku menyimpan rasa cinta ini hanya untukku sendiri. Melihatnya dari kejauhan saja sudah membuatku bahagia.

Tidak pernah terlintas sedikit pun untuk menjadi istri Bang Habib, walau rasa cinta sudah tertanam dan tumbuh subur sejak aku remaja. Namun, siapa yang menyangka? Diary yang tertoreh semua rasa, akhrinya diketahui oleh Mbak Naya.

Sejak saat itu, Mbak Naya selalu mendorongku agar mendekati suaminya. Aku kesal, aku marah tanpa tahu alasan Mbak Naya kala itu. Semua terkuak saat dia tidak lagi kuat menahan sakit karena penyakit mematikan yang menggerogoti tubuhnya.

Aku mengeglengkan kepala. Kemudian membersihkan tubuh dengan cepat. Waktu subuh tidak terlalu lama dan aku tidak mau menjadi orang yang merugi karena sengaja melalaikan kewajiban. Biarlah urusan hati aku serahkan pada Sang Maha Pengasih. Dia lebih tahu apa yang terbaik untuk kami.

"Abang nggak salat? Sebentar lagi matahari akan terbit. Salatlah, Bang! Mbak Naya pasti sedih jika Abang terus-terusan seperti ini." Aku berusaha membujuk Bang Habib yang masih terpekur di ambang jendela. Sejak kejadian tadi, tidak sedikit pun dia bersuara.

Bang Habib telah banyak berubah sejak kepergian Mbak Naya. Tiada lagi pernah terdengar suara merdu dari bibir penuh itu kala melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Pun dengan salat yang sering bolong-bolong. Kata Mama Hani, dia akan marah jika diingatkan.

Aku menarik napas panjang karena Bang Habib tidak merespon. Lebih baik aku salat sendiri tanpa berharap dia mau menjadi imam. Namun, gerakanku terhenti saat pemilik suara bariton itu menyapa indra pendengaran.

"Abang ambil wudhu dulu."

Aku tersenyum menanggapi. Semoga ini menjadi langkah baik untuk hubungan kami. Dia kembali dari kamar mandi dengan wajah lembab karena air wudhu. Di mataku dia makin tampan dan memiliki sejuta pesona.

Aku menikmati setiap gerakan salat yang diimami Bang Habib hingga akhir salam. Jika dikurung seperti ini membuat dia lebih baik, maka aku lebih memilih terus dikurung.

Dengan ragu aku mengulurkan tangan. Bang Habib menatap tanganku lamat-lamat sebelum meraihnya dengan lembut. Untuk yang kedua kalinya, aku mencium punggung tangan dia. Walaupun tanpa kecupan di dahi, sudah membuat diri ini senang.

"Ra ...!" Aku mendongak dan menatap matanya. Bang Habib tampak ragu meneruskan perkataan.

"Dalam waktu dekat, Abang mau mengajak kamu pindah dari rumah ini." Akhrinya Bang Habib kembali melanjutkan ucapannya setelah terdiam beberapa jenak.

Aku mengernyitkan dahi. Merasa bingung dengan alasan mengajakku pindah dari rumah Mama Hani.

"Kita butuh tempat yang tidak menyatu dari keluarga dan Abang nggak mau kalau mereka terlalu ikut campur dengan urusan kita."

"Tapi kenapa waktu Mbak Naya masih hidup, Abang nggak tinggal terpisah dari Mama?" sanggahku keberatan. Mama Hani tinggal sendiri di rumah sebesar ini. Sesekali, Mbak Vio atau Bang Ridwan akan menemani. Aku tidak mungkin tega meningkatkan Mama Hani.

Rahang Bang Habib mengatup keras dan kedua tangannya mengepal dengar erat hingga buku-buku jarinya memutih. Apakah dia marah karena aku membandingkan saat Mbak Naya masih hidup?

"Jangan pernah menyamakan dirimu dengan Naya, Ra. Harusnya kamu ingat siapa kamu untukku." Ucapan Bang Habib terdengar tajam. Belum lagi, dia menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya.

Ya, Tuhan .... Mengapa rasanya sangat sakit? Padahal aku tahu semua yang dia katakan benar adanya. Sampai kapan dia menganggapku sebagai istri bayangan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ova Bakri
sosor terus sampai bengek ......
goodnovel comment avatar
Fithriah Arrahman
Bang Habib katanya terpaksa, tapi main sosor aja, wkwk.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   MENEPI

    Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   PERTEMUAN TERAKHIR

    Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   MELIHATMU DARI KEJAUHAN

    Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   DIA BERTAHAN

    Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   SITUASI GENTING

    Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny

  • ISTRI BAYANGAN TUAN CEO   CAMPUR TANGAN ANAK MAFIA 2

    Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status