Airin dari tadi berusaha menghubungi Bella, tapi tak diangkat. Tidak biasanya Bella tak menjawab teleponnya. Ke mana perginya Bella?Dari depan terdengar suara teriakan tukang sayur langganannya. Airin mengambil maskernya, lalu bersiap berbelanja. Tapi tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella."Bella, kamu di mana?" tanya Airin saat dia mengangkat teleponnya. "Kenapa susah sekali dihubungi?""Aku sedang ada di kota B, Rin," jawab Bella dari seberang telepon."Kenapa tiba-tiba kamu pergi ke luar kota, Bell?" tanya Airin lagi."Aku menemukan sesuatu yang mengejutkan, Rin. Aku tidak akan bisa tidur sebelum tahu."Airin membuang napas. Sifat Bella memang seperti itu. Begitu tahu sesuatu, dia akan langsung bertindak cepat tanpa berpikir macam-macam. Karena itulah dia selalu bisa mengandalkan wanita berpenampilan tomboy itu."Aku juga menemukan sesuatu, Bell," ucap Airin lagi."Kita bicarakan saat aku pulang. Ini penting, karena ada hubungannya dengan Amel," ucap Bella lagi.A
"Kamu bercanda kan, Bell? Itu tidak mungkin," ucap Airin, masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Aku serius, Airin. Kalau tidak, mana mungkin aku sampai memastikannya ke luar kota?""Tapi, ini tidak masuk akal, Bell."Bella terdengar membuang napas kesal."Bagaimana kalau Jumat besok kita ikuti dia? Biar kau lihat dengan mata kepalamu sendiri."Airin terdiam. Wanita seperti Amel bisa nekad menikah dengan suami orang, padahal dia sendiri masih bersuami! Ini benar-benar gila!"Baiklah, aku akan mengawasi dia, dan menelponmu begitu dia keluar rumah besok," jawab Airin sebelum menutup telepon.Airin membuang napas. Pikirannya berkecamuk. Kenapa kehidupan rumah tangganya yang dia harapkan bisa bahagia jadi begini rumit? Lamunannya buyar seketika ketika Irfan masuk ke dalam kamar."Bagaimana keadaan wanita itu, Mas?" tanya Airin dengan hati yang masih dongkol."Dia masih shock. Lain kali jangan seperti itu lagi, Dek," jawab Irfan sambil menatap kesal padanya."Kok Mas ja
Bella dan Airin berlari sekencang mungkin untuk menghentikan Rifki. Rifki tampak sangat kaget melihat kedatangan dua wanita asing itu."Kalian siapa?" tanyanya.Bella dan Airin tak menjawab. Keduanya berusaha menarik kursi roda Rifki keluar dari rel kereta, tapi tak berhasil. Benar, saat kereta mendekat besi baja itu akan berubah menjadi Medan elektromagnetik yang bisa menghentikan kendaraan apapun. Mungkin karena itu kursi rodanya terasa begitu berat.Tidak ada waktu lagi, saat kereta mulai mendekat ke arah mereka, tanpa pikir panjang lagi Bella dan Airin menarik tangan Rifki dari kursi rodanya, hingga membuat mereka bertiga jatuh terbetguling di tanah miring di samping rel.BRAAAKKK!Kursi roda Rifki terpental sejauh beberapa meter, dan ringsek tak berbentuk. Kereta melesat cepat melewati mereka bertiga yang masih terbaring di sisi rel sambil menutup muka mereka dari angin kencang dan debu yang dibawa oleh badan kereta.Cukup lama mereka menunggu hingga badan kereta habis melintas.
Airin dan Bella turun dari mobil begitu mereka sampai di rumah sakit. Para petugas ambulans menurunkan Rifki dengan memakai tandu, lalu mendorongnya menuju ruang IGD.Bella dan Airin menunggu di kursi ruang tunggu."Oh, iya, bukannya kemarin kau bilang ingin memberitahu sesuatu padaku?" tanya Bella.Airin mengambil gawainya dari dalam tas, lalu menunjukkan foto berkas yang dia dapat kemarin dari ruang kerja Irfan. Mata Bella membulat ketika melihatnya."Kalau profit perusahaan begitu kecil dan terus menurun, dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu selama ini?" tanya Bella sambil mengerutkan kening."Itu yang mengganggu pikiranku, Bell. Tidak mungkin Amel yang membiayai semua itu, kan?" Airin balik bertanya.Bella diam dan sambil berpikir. Mereka berdua mencoba "Sepertinya aku harus lebih berusaha lagi untuk mencari semua data keuangan mendiang Papamu, Rin," ucap Bella kemudian. "Semua data pribadi mereka lenyap dalam kebakaran waktu itu, dan anehnya tak satupun data yang tersisa d
"Apa kau pernah menandatangani sesuatu yang Irfan berikan padamu?" Bella mengulang pertanyaannya.Airin masih diam, mencoba mengingat-ingat. Akhirnya dia hanya mengingat satu hal saja."Satu-satunya yang pernah kutanda tangani adalah surat persyaratan pernikahan kami, Bell," jawab Airin kemudian."Licik! Benar-benar licik!" Bella terdengar mengumpat dari seberang telepon."Bell?""Suamimu itu tidak bisa dimaafkan, Rin! Dia itu licik! Mamanya juga! Rupanya semua sudah mereka rencanakan dari jauh-jauh hari sebelumnya."Airin menelan ludah, bersiap dengan apa yang akan Bella katakan."Dengar, Airin. Uang asuransi jiwa kedua orang tuamu, juga rumah beserta isinya yang terbakar itu, sudah dicairkan atas nama Irfan Setiawan, dan atas surat persetujuan darimu."Tubuh Airin seketika bergetar hebat. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kapan Irfan mendapatkan tanda tangannya?"Mulai sekarang kamu harus bertindak! Kamu harus mengawasi langsung perusahaan Papamu yang saat ini dipegang oleh Irfan.
Airin masih mendengarkan pembicaraan Irfan dan Handoko."Baiklah, pastikan surat-surat ini aman sampai pelantikan bulan depan," ucap Handoko. "Ada satu tikus kecil yang harus kusingkirkan terlebih dahulu.""Tikus?" Irfan tidak mengerti apa yang mertuanya itu katakan.Handoko tertawa melihat wajah kebingungan Irfan."Bukan apa-apa," ucapnya sambil menepuk pundak Irfan.Handoko berdiri, lalu bersiap meninggalkan tempat itu. Airin cepat-cepat menyingkir dari tempat persembunyiannya. Dia beringsut mundur, bersembunyi di samping tembok pagar rumah itu.Handoko memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Irfan sesaat masih berdiri di teras rumah sampai Papa mertuanya itu pergi, lalu masuk kembali ke dalam rumah."Bagaimana, Mas? Semua sudah beres?" tanya Amel begitu Irfan duduk di sampingnya."Semua beres, Sayang. Papamu sudah resmi membeli perusahaan itu," jawab Irfan."Baguslah, Mas, kamu bisa mengambil hati Papa," Amel merangkul lengan Irfan mesra. "Tadinya aku harus bersusah payah mey
Airin masih mengikuti Amel masuk ke ruang tengah. Amel duduk di sofa empuk yang ada di ruangan itu."Duduklah, aku akan mendengarkan apa yang akan kau katakan," ucapnya.Irfan duduk di kursi sisi lain dari sofa itu, sedangkan Airin masih berdiri di tempatnya."Maaf, ya, Mel. Istriku tidak bermaksud berbuat seperti itu," ucap Irfan sambil tersenyum manis pada Amel."Gak papa kok, Mas. Aku paham kok, kenapa Mbak Airin bersikap seperti itu. Dia pasti tidak suka kalau ada wanita cantik dekat dengan kalian," ucap Amel dengan angkuhnya. "Dia pasti cemburu, aku paham itu kok, Mas.Irfan hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu menatap Airin yang masih berdiri."Duduklah, Dek!" pinta Irfan sambil menarik tangan Airin.Airin mengibaskan tangan Irfan, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada."Aku berubah pikiran, Mas!" ucap Airin sambil menatap mereka dingin."Apa maksudmu, Dek? Bukannya kamu tadi bilang mau minta maaf?" tanya Irfan kemudian."Tadinya begitu, Mas. Tapi sepertinya kami berdua s
Mata Irfan membulat melihat map yang diberikan oleh Rifki padanya, tapi sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak."Hahaha, kamu salah alamat, Bung!" ucapnya sambil membeber map yang ternyata berisi foto pernikahan itu."Lihat ini! Wanita dalam foto ini jauh berbeda dari Amel! Wajah wanita ini jelek sekali, bagaimana bisa kau menganggap dia sebagai Amel? Mimpi kamu, Bung!" ucap Irfan sambil tertawa, seraya membandingkan foto itu dengan Amel.Rifki tersenyum miring dan tetap tenang, lalu melirik sesaat ke arah Amel yang masih bungkam."Kenapa tidak kau tanyakan padanya langsung?" tanyanya.Irfan berhenti tertawa. Dia menatap ke arah Amel dengan mata membulat. Jangan-jangan ...."Apa yang kau pikirkan itu benar, Irfan!" ucap Rifki lantang. "Wanita dalam foto itu adalah wajah asli Amel Angelina, istrimu! Dia menguras semua hartaku, memakai semua uangku untuk biaya bedah plastik agar dia cantik! Dan setelah aku bangkrut, dia dengan seenak hatinya mencampakkan aku!"Semua yang ada di situ