“Besok malam aku tidak akan menundanya lagi,” ucap Aksa sebelum pergi meninggalkanku.Aku beringsut mundur dengan tubuh gemetar, takut itu yang kurasakan saat ini, sebenarnya memberikan keturununan untuk Diamond Group bukanlah perkara buruk, tetapi aku tidak ingin melakukan hal itu dengan orang yang seperti Aksa. Aku ingin melayani orang yang aku cintai. Tangisku pecah begitu saja.Kurapikan kembali baju yang sudah berserakan, mengenakan dengan cepat takut jika pemuda itu kembali masuk dan berubah pikiran. Aku harus mencari cara agar bisa menolak Aksa, atau mungkin aku bisa kabur dari sini. Aku berlari cepat menuju pintu, sialnya pintu terkunci dari luar, aku benar-benar seperti tawanan di sini. Tubuhku luruh ke lantai, bagaimana aku akan membawa mama pergi jika aku keluar dari sini saja aku tidak bisa.Kutatap jendela kaca. Mungkin aku bisa keluar dari sana. Namun, saat memandang tingginya jendela nyaliku menciut, itu terlalu tinggi. Jika aku jatuh bukannya bisa membawa mama keluar
Seperti malam sebelumnya Aksa kembali dalam keadaan mabuk, dua orang yang mengantarkannya gegas keluar setelah membaringkan tubuh Aksa di atas dipan. Aku menghela nafas berat, kenapa dia harus melakukan ini setiap malam? Apa bebannya lebih berat dariku? Rasanya tidak mungkin karena dia memiliki apapun yang dia punya dan dia bisa melakukan apapun yang dia mau.“Cassandra, aku sangat merindukanmu,” lirihnya. Aku tak menghiraukan ucapan Aksa dan terus membuka satu persatu atribut lengkapnya, ya atribut ngantor maksudnya.“Casandra, kenapa kamu ninggalin aku,” ucapnya lagi.Ah, itu rupanya alasan dia mabuk karena kekasihnya meninggalkannya, kasihan sekali tetapi aku justru ingin tertawa.“Cassandra apa kamu lupa apa yang telah kita janjikan.” Kali ini Aksa menarik kuat tanganku hingga aku terjatuh dalam pelukannya.“Lepaskan Tuan,” lirihku sembari mengalihkan tangannya yang melingkar di pinggangku.Aksa membuka mata perlahan mungkin dia masih sedikit sadar. “Kamu rupanya.” Dia mendorong
“Kenapa aku harus meninggalkan papamu? Dia memberikan segalanya untukku,” ucap Tante Mayang tanpa rasa bersalah sedikitpun, dengan berani ia menatap mataku.Aku tersenyum tipis, menyandarkan tubuh di sofa dan melipat tangan di dada. Sepertinya menghadapi wanita ini tidak bisa berbicara dari hati kehati, atau istilahnya menggunakan kata ‘sama-sama wanita’. Baiklah akan aku gunakan dengan cara sedikit lebih menyakiti hatinya.Kuedarkan pandangan menelisik setiap inci rumah berwarna putih tersebut. Tumbuhan hias sebagai pemanis di setiap sudut, di depan jendela dengan lebar kisaran dua meter terdapat piano berwarna coklat keemasan, cukup elegan dengan gaya minimalis. Rupanya Tante Mayang sangat menikmati perannya sebagai simpanan papa. Terlihat dari semua yang ia dapatkan dari papa, ia rela menjadi simpanan apa hanya demi ini semua? Lalu, apa dia tak memikirkan mama selaku sahabat karibnya.“Ah, aku lupa kalau ular itu memang selalu menggigit siapa saja yang menolongnya.” Aku beranjak d
Kutarik paksa pintu mobil, baru saja hendak masuk ucapan Citra menghentikanku“Aduh… duh kasihannya, sakit, ya?" ucap Citra sambil tertawa dan memegangi pipinya.“Jangan panggil gue Elshanum Cakrawinata jika gue kalah sama Lo. Seneng-seneng aja sebentar, nikmati saja dulu hasil nyokap Lo yang mencuri dari gue dan mama. Tapi ingat, semuanya akan kalian bayar dengan sangat menyedihkan.” Kutepuk pelan pipi Citra.Aku segera masuk mobil membiarkan Citra termagu memandangku. Kubuka kaca mobil. “Ah ya, gue lupa, kembalikan seluruh barang branded yang Lo pinjam. Kalau enggak… gue bakalan sebarin ke seluruh kampus kebusukan Lo, termasuk itu.” Kutunjuk kacamata yang bertengger di kepala Citra, kacamata merk Christian Dior yang tak main harganya.“Sialan Lo, jangan Lo kira gue gak bisa ngalahin Lo!” hardiknya, aku tak menghiraukanya.Kulajukan mobil tak ingin berlama berdebat dengan manusia muka tembok di depanku. Kutatap foto bersama papa dan mama yang tergantung di kaca. Bagaimana papa bisa
“Ma,” panggilku lirih.Melihatku masuk, mama kembali tersenyum membuang wajah sendunya.“Mama kenapa?”Mama menggeleng. “Mama tidak apa-apa, Mama hanya sedih.” Mama mengusap wajah yang meninggalkan bekas luka bakar hampir separuhnya. “Tapi Mama tetap bersyukur bisa kembali melihatmu Sayang.”“El akan selalu sama Mama.” Kusambut pelukan hangat mama. “Papamu, apa dia menjagamu dengan baik?”“Apa yang mama khawatirkan? Tentu saja Papa menjagaku dengan baik.”Aku mengalihkan pandangan dari tatapan mama, jika terus menatapnya aku tidak akan bisa berbohong. Mana mungkin aku berkata jujur dengan mama jika selama mama dalam keadaan koma papa menjodohkanku dengan anak seorang yang membantu menyokong dana di perusahaan papa. Di saat mama koma perusahaan papa nyaris bangkrut, keadaan yang sedang dilanda pandemi membuat bisnis properti papa mengalami tekanan, para investor menghentikan pemasukan dana sepihak sementara papa butuh banyak biaya untuk kebersihan dan juga perawatan.Bayangan satu bu
Aku kembali ke rumah sakit, duduk di samping mama yang terlelap dengan banyak alat kesehatan di tubuhnya. Wajahnya sebagian terluka oleh luka bakar yang mulai mengering, mungkinkah karena itu papa memilih menikah dengan Tante Mayang dan menduakan mama?“Mama cepatlah bangun,” ucapku lirih. Aku menangis di samping mama, kenapa keluarga kami jadi seperti ini? Seharusnya saat ini papa berada di samping mama dan memberikan ia semangat. Nyatanya ia memilih bersenang-senang dengan orang lain.…Sejak aku mengetahui hubungan papa dan Tante Mayang, aku tak lagi bertegur sapa dengan papa. Aku lebih memilih mengacuhkanya jika ia datang menjenguk mama atau aku pulang untuk mengambil sesuatu. Saat ini aku tak lagi percaya kepada papa, aku tak pernah membiarkan papa seorang diri menemui mama, takut jika nanti papa akan menyakitinya. Hingga malam itu papa datang kembali, aku terjaga ketika mendengar suara pintu kamar rawat mama di buka. Ruang rawat mama ada ranjang untuk penunggu tempat aku tidur s
“Papa ingin aku nikah sama laki-laki cacat itu? Papa mau menjualku? Heh, ayah macam apa Papa ini? Tega menjual anaknya demi uang!” seruku takpercaya.“El, Papa gak punya pilihan, Papa pun berat melakukan ini, tetapi kita butuh biaya besar untuk pengobatan mama, biaya kuliah adikmu di Paris. Papa tidak menjualmu Sayang, setidaknya kamu tetap tidak akan kekurangan jika menjadi menantu utama Diamond Group,” kilahnya. Pemikiran macam apa yang ia tanamkan dibenakku. “Cukup! Papa habiskan uang Papa untuk anak tiri dan istri simpanan Papa, kenapa tidak Papa nikahkan saja dengannya!” Aku menyambar jaket tebal yang ada di ranjang, melangkah meninggalkan Papa yang terlihat semakin frustasi. Kutatap mama sejenak dan berbalik melihat Papa. “Aku tidak ingin Papa menghentikan pengobatan mama, jika masalah kuliahku aku akan mengalah, tetapi untuk mama aku tak terima,” ucapku mempertegas, kuharap papa masih memakai otaknya.Taman rumah sakit yang sunyi menjadi tempatku untuk menyendiri, menenangkan
“El, kenapa diam saja?” mama mengguncang bahuku membuatku sedikit tersentak dan kembali tersadar dari lamunanku mengingat kejadian satu bulan lalu.“Tidak apa-apa, Ma. Kita akan pulang sekarang?”Mama mengangguk dan merapikan bajunya. Aku membawa barang mama yang tidak terlalu banyak, mama memakai cadar untuk menutup wajahnya. Aku akan mengatakan semuanya nanti, menunggu waktu yang pas, mengingat keadaan mama belum pulih sepenuhnya.“Apa Daren masih di Paris? Mama rindu, sepertinya Mama udah tidur lama sekali.”“Kita akan mengunjunginya kalau Mama udah baikan.”Ah, aku sampai lupa memberitahu bocah tengil itu jika mama sudah sadar, dia pasti akan melonjak girang. Masih kuingat dia menangis seperti bayi saat datang tiga bulan lalu melihat mama terbaring dengan luka bakar di sebagian wajahnya. Berhari-hari Daren tak ingin makan dan hanya duduk di samping mama, padahal saat SMA dia merupakan bocah tengil yang membuat papa dan mama kewalahan dengan segala tingkah nakalnya. Namun, aku tahu