LOGINKetika dihina secara terang-terangan Shiren yang tetap sabar selama pernikahan harus mengambil sebuah langkah terbaik dalam hidup saat suaminya ketahuan sering bermain dengan wanita malam, angkat kaki dari rumah yang dipenuhi liku liku rumah tangga dan menjadi wanita tangguh dan mandiri demi anak satu-satunya, Shiren yang sejak muda bercita menjadi makeup Artist terkenal akankah bisa menggapai segala keinginannya dan membuat sang mantan menyesal? Baca terus ceritanya ya!
View MoreShiren tersenyum setelah menutup isi bekal buat suaminya, pagi tadi Niko tak sempat menunggu istrinya masak karena harus secepatnya ke kantor sebuah Instansi pemerintahan dan sudah sebagai Pegawai Negeri Sipil.
"Pasti dia menyukai makanan kesukaannya." Lirih wanita yang tengah hamil besar itu. Kakinya terus mengayun menuju motornya, dia mengendarai dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan. Hanya butuh 20 menitan ia sampai di parkiran, sebenarnya Niko bisa saja pulang tiap istirahat untuk makan siang, tapi dia beralasan sayang bensinnya dan memilih bawa bekal jika lauk yang ada tampak enak. "Serius bro tadi istri lo?" Terdapat sekumpulan tiga orang pria duduk berbincang. "Iyalah, kenapa? Cantikkan!" Niko mengangguk perlahan. "Beruntung amat loh, secara anak kalian sudah dua orang. Tapi badan istri lo masih bagus dan terawat, apalagi dia juga bekerja. Beda banget sama yang di rumah!" keluh Niko membuat Shiren terpaku di belakang mereka. "Istri lo maksudnya?" "Siapa lagi, sudah tak ada penghasilan. Baru juga hamil anak pertama tapi badannya sudah pada bengkak. Kulitnya itu loh juga kusam, jadi males dekat-dekat." Shiren terkejut mendengarnya, seorang pria menyadari ada dia di belakang segera memberikan kode pada Niko. "Hustt..." "Apaan sih?" Matanya memberikan kode. Niko membalikkan badan, mulutnya tercekat. "Dek, ka-kamu sejak kapan di sini?" "Belum lama, ini bekalnya. Aku pergi dulu," Niko terdiam menerima kotak bekal itu, temannya menahan tawa melihat expresinya. "Wah bisa perang rumah tangga ini, siap-siap saja tidur di luar nanti," goda temannya, Niko menghela napas kasar. "Ya nggaklah, rumah rumah gue masa ya seenaknya disuruh tidur di luar." Remeh Niko. Pria itu bersandar santai, satu kaki diangkat ke atas meja. “Seriusan gak takut, Nik?” tanyanya sambil melempar senyum sinis. “Denger ya, dia itu bakal jadi apa tanpa aku?” suaranya penuh kemenangan. “Shiren kan yatim, ibunya udah lama punya keluarga sendiri, gak pernah peduli sama dia. Mau ngadu ke mana coba? Aku sakitin atau caci pun, dia gak bakal berani lawan. Apalagi sekarang hamil gede, skill aja gak ada.” Teman-temannya hanya mengangguk-angguk, seolah setuju dengan ocehan kasar itu. Di dalam sebuah kamar, Shiren terpaku di depan cermin, tatapannya kosong menatap bayangan sendiri. Air mata mulai menggenang di sudut mata, tapi dia cepat-cepat menahannya. “Sebegitu jeleknya aku di mata suamiku?” gumamnya lirih, suara bergetar. “Perutku besar, kulitku kusam... Dia udah tiga bulan gak mau sentuh aku di ranjang...” ucapannya tercekat ketika pintu terdengar diketuk. Shiren menarik napas dalam, mencoba merapikan hati yang hancur. Dengan pelan, ia membuka pintu. “Assalamu’alaikum...” suara di balik pintu rumahnya. “Walaikumsalam, eh Bu Ratna. Silahkan masuk!” Shiren membuka pintu dengan senyum kecil, hatinya berdebar menahan rasa penasaran. Kenapa ibu RT itu datang tiba-tiba ke rumahnya? Namun, ia berusaha tetap tenang. Wanita setengah baya itu melangkah masuk dan duduk dengan ramah, matanya penuh kehangatan. “Saya dengar kamu dulu sempat jadi asisten MUA nenekmu, ya, dek Shiren? Jadi kamu bisa make up, dong?” tanya Bu Ratna sambil menatap Shiren penuh harap. Shiren menunduk sedikit, menyunggingkan senyum malu-malu. “Alhamdulillah, sedikit-sedikit sih, Bu. Memang sudah lama nggak merias, tapi mudah-mudahan ingat dan masih lancar.” Bu Ratna menghela napas lega, lalu suaranya terdengar lebih lembut, hampir memohon. “Nah, makanya saya ke sini minta tolong, dek. Besok anak saya mau wisuda di TK-nya, tapi kami belum dapat jasa make up. Kamu mau bantu, nggak? Gak perlu menor, yang penting enak dipandang saja.” Harap di matanya seperti menanti keajaiban. Shiren merasakan getar di dadanya, ingin menolak tapi juga tak tega melihat wajah Bu Ratna yang penuh harap itu. Shiren sedikit terkejut, ia menggaruk tengkuk tak gatal dengan rasa gugup. "Aduh gimana ya bu, saya sebenarnya mau. Tapi peralatan make up saya tak lengkap, hanya ada beberapa saja, kayak lipstik, poundation, sama bedaknya kosong. Maklum," Shiren merasa tak enak mengatakan itu semua, karena apa yang dikatakan kebutuhan sehari-hari dan ia sama sekali tak punya semenjak menikah dengan Niko, ada lip cream tapi yang murah dan bedak baby saja. Niko tak cukup banyak kasih uang belanja dan Shiren harus pintar-pintar mengatur pemberian suaminya. "Kalau itu tenang saja, saya punya kok dek Shiren. Tapi yang lain ada kan? Kayak blush on, eye eye apa nama tuh saya tak tahu,." Ratna menggaruk kepala bingung. "Kayaknya masih ada bu, biar saya cek apakah masih bagus barangnya, takutnya expired." Ratna mengangguk cepat. Langkah Shiren tampak semangat, memang dahulu ia sering membantu neneknya ketika masih hidup yang berprofesi sebagai make up pengantin. "Berdebu sekali, aku bersihkan dulu." Gumamnya segera meraih handuk kecil. Barang tersebut adalah seserahan saat menikah dengan Niko satu tahun belakangan. "Bu, alhamdulillah masih bisa pakai." Ucapnya saat kembali duduk di ruang tamu. Wajah wanita di hadapannya seketika senang. "Syukurlah, besok pagi-pagi datang ke rumah ya! nanti kamu bisa make up tiga anak termasuk anak saya, tapi anak saya duluan. masalah bayaran tenang saja, berapa harus kami persiapkan?" Shiren mendadak terdiam bingung, merasa tak enak juga mematok harga. "Seiklhas saja bu, saya tak masalah. Apalagi peralatannya pakai punya ibu juga," Wanita itu mengangguk pelan lalu pamit pulang. *** Saat makan malam tiba, Shiren terdiam membisu berhadapan dengan suaminya, hanya suara tegukan air dan suara jangkrik di belakang rumah terdengar, masalah tadi siang membuat Shiren sakit hati. "Habis makan bikinin kopi!" titah Niko. "Ya." Jawab Shiren singkat. Shiren menyerahkan cangkir berisi minuman hangat ke hadapan Niko, bibirnya bergetar kecil saat membuka suara, "Boleh nggak minta uang buat beli bedak sama perlengkapan lainnya?" Matanya mencari-cari reaksi pria itu. Niko menatapnya dengan dingin, alisnya berkerut dalam, suaranya ketus, "Buat apa? Kamu kan cuma di rumah, nggak perlu-perlu amat." Hati Shiren mendadak berat, tapi ia berusaha menyembunyikan keraguan. "Bukan buat aku, Bang. Besok pagi Bu Ratna suruh aku ke rumah dia buat make up anaknya yang mau wisuda TK," jawabnya pelan, menunduk. Niko menatapnya lebih tajam, senyum sinis mengembang, "Kalau nggak punya peralatan, ngapain sok-sok an terima jasa make up? Emang bayarannya berapa sih? Belum tentu juga kamu bisa. Pernah jadi asisten make up kampung aja sudah bangga banget, ya?" Jantung Shiren berdegup kencang, ucapan itu menusuk lebih dalam dari yang dia sangka. "Bang, jangan ngomong kayak gitu," balasnya terbata, berusaha mempertahankan harga dirinya. "Meski nenekku dulu jasa make up kampung, tapi dia sudah banyak berjasa bantuin orang-orang..." Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan air mata agar tak jatuh di depan Niko. Suara Niko tiba-tiba meninggi, nadanya penuh sindiran yang sulit disembunyikan. "Riasan nenekmu kan jadul, masa dulu sama sekarang beda! Jangan bikin malu, Shiren. Nanti kamu rias anak Bu RT kayak ondel-ondel, kena hujat gimana? Aku juga yang malu." Matanya melotot, seakan mempertanyakan kemampuan istrinya di depan hadapan. Shiren menghela napas panjang, pandangannya menatap ke lantai. "Ya bedalah, Bang. Aku juga tahu zaman sekarang trennya gimana. Tapi maaf, aku sudah terlanjur terima tawaran Bu RT, aku mohon kamu kasih uangnya." Niko menepuk-nepuk isi dompetnya dengan malas, lalu melemparkan satu lembar uang. "Boleh saja, seratus ribu. Tapi cuma aku pinjami, ya. Nanti kalau sudah ada uang, harus dikembalikan." Shiren terdiam, dada sesak menahan rasa kecewa. Tak hanya soal uang, tapi sikap suaminya yang perhitungan begitu menusuk hatinya. "Tapi selama ini kamu juga nggak pernah kasih uang buat kebutuhan aku, Bang." Niko menyeringai tajam, bibirnya melengkung penuh ejekan. "Dasar wanita tak tahu bersyukur. Makan kamu dan tempat tinggal siapa yang nyediain? Aku. Kamu? Mana bisa cari uang, minta-minta terus." Matanya menyipit, menambahkan tekanan pada setiap katanya. Shiren hanya menggigit bibir, berusaha meredam rasa malu dan sakit hati yang menggerogoti. "Itu semua sudah kewajiban kamu sebagai seorang suami bang, kalau kamu keberatan menafkahi aku. Buat apa menikah?!" Seketika Niko tampak emosi, hampir saja ia melayangkan tamparan. "Untung kamu sedang hamil Shiren, kalau nggak habis kamu. Dasar tak berguna." Niko pergi keluar rumah, Shiren terpaku. Ia menatap uang di atas meja dengan rasa sedih, uang itu dia timpa dengan sebuah pot kecil. "Uang ini haram aku ambil!" lirihnya merasa sedih. Ia masuk ke dalam kamar membaringkan tubuh dengan tangis terasa sesak.Mentari telah bersinar terang, dalam keadaan gelisah semalam akhirnya Shiren bisa memejamkan mata meski waktu pajar telah dekat. Pikiran entah melayang kemana karena suaminya tak kunjung pulang. Juga anaknya sering terbangun dan meminum Asi telah membuat matanya enggan terpejam. Tepat saat pukul 07 pagi, ketukan pintu terdengar, Shiren membukanya penuh semangat dan tanda tanya."Bang Niko! semalam kemana?" Niko masuk dan duduk ke atas sofa."Semalam motorku mogok, cari bengkel dan semuanya hampir tertutup. Aku terus mencarinya hingga aku memutuskan untuk menginap saja di tempat teman yang tak jauh saat itu, handpone ku juga lowbat!" ucapnya lancar, Shiren masih belum puas jawaban suaminya."Lalu apa motormu sudah bagus? Semalam aku khawatir sekali, sampai hubungi bang Dika, katanya kamu tak ke rumah sakit!" Niko menggaruk kepala tak gatal."Maafkan aku sayang, aku tak sempat ke sana. Ini saja untung ketemu bengkel buka cepat, jadi aku bisa langsung pulang setelahnya," Shiren diam, Nik
Dua minggu berlalu sejak kelahiran anak Shiren dan Niko, usia bayi mereka kini baru sekitar dua minggu lebih tiga hari. Pagi-pagi sekali, Niko sudah tiba di rumah ibunya, mengemudikan mobil milik Dika. Lastri yang sedang sibuk memasak, menghentikan gerakannya, matanya mengerjap penuh tanda tanya."Loh, Niko? Kupikir itu Dika," gumam Lastri pelan sambil meninggalkan sendok di atas kompor. Ia melangkah menghampiri, raut wajahnya penuh keheranan."Niko, ada apa? Tumben kamu bawa mobil kakakmu." Di sudut kamar, Shiren terlihat masih terlelap. Wajahnya kusut, kantung mata tampak berat setelah semalam harus menghadapi bayi yang rewel.Niko menarik napas santai, tanpa terburu-buru menjawab, "Aku mau ajak istri dan anakku pulang, Bu. Rumah di sana berantakan, dan tak ada yang ngurus." Lastri terkejut, matanya membelalak, mulutnya tak bisa menyembunyikan rasa terkejut."Niko, kamu keterlaluan! Istrimu baru saja melahirkan, belum sebulan. Kamu sudah suruh dia ini itu? Aku nggak izinkan," suaran
Shiren terengah-engah saat didorong masuk ke ruang bidan yang remang-remang. Keringat membasahi dahinya, sementara tangan yang gemetar erat menggenggam kain perca yang diberikan oleh bidan. "Ibu, kontraksinya sudah sangat kuat, bayi akan segera lahir," kata bidan dengan suara tenang namun penuh urgensi. Mata Shiren melebar, campuran antara takut dan harap. Napasnya tersengal, sesekali terdengar erangan kesakitan yang tak bisa ia tahan. Suara detak jantung bayi di monitor kecil yang dipasang di perutnya seolah menjadi satu-satunya harapan di tengah kekacauan ini.Di luar, suara langkah cepat dan bisik-bisik panik terdengar samar, menambah ketegangan yang memenuhi ruangan kecil itu. Shiren menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan diri, walau jantungnya berdebar tak menentu. Bidan itu memegang tangannya dengan lembut, "Ibu, tenang. Kita akan lalui ini bersama." Namun dalam benak Shiren, beribu tanya berputar—apakah ia benar siap menyambut kehidupan baru yang sebentar lagi hadir ke d
Sehabis subuh Shiren keluar rumah hendak ke rumah bu RT, sarapan buat suaminya sudah ia persiapkan, dia juga sarapan sedikit untuk mengisi tenaga nanti. Kedatangannya tentu telah ditunggu dengan senyum sumringah penuh harapan oleh tuan rumah."Ayo masuk! anak saya sudah bangun,""Assalamu'alaikum!" Lirihnya."Walaikumsalam, di sini saja ya." Shiren mengangguk, dia membaca bismillah agar apa yang dikerjakannya berjalan dengan lancar. Tangannya sedikit kaku karena sudah lama tak merias. Dengan modal handpone ia terus mempelajari bagaimana make up kekinian agar tak ketinggalan zaman."Kapan dedeknya lahir dek Shiren!" ditengah merias, Ratna melayangkan pertanyaan agar suasana tak terasa canggung."Kalau kata bidan sih HPlnya semingguan lagi Bu, tapi bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat." Bu Ratna mengangguk-angguk."Pasti perlengkapan bayinya sudah lengkap ya! apalagi ini anak pertama, pasti Niko sangat senang menanti kehadirannya." Tukasnya lagi, senyum Shiren memudar. Ingin ia katak
Shiren tersenyum setelah menutup isi bekal buat suaminya, pagi tadi Niko tak sempat menunggu istrinya masak karena harus secepatnya ke kantor sebuah Instansi pemerintahan dan sudah sebagai Pegawai Negeri Sipil."Pasti dia menyukai makanan kesukaannya." Lirih wanita yang tengah hamil besar itu.Kakinya terus mengayun menuju motornya, dia mengendarai dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan.Hanya butuh 20 menitan ia sampai di parkiran, sebenarnya Niko bisa saja pulang tiap istirahat untuk makan siang, tapi dia beralasan sayang bensinnya dan memilih bawa bekal jika lauk yang ada tampak enak."Serius bro tadi istri lo?" Terdapat sekumpulan tiga orang pria duduk berbincang."Iyalah, kenapa? Cantikkan!" Niko mengangguk perlahan."Beruntung amat loh, secara anak kalian sudah dua orang. Tapi badan istri lo masih bagus dan terawat, apalagi dia juga bekerja. Beda banget sama yang di rumah!" keluh Niko membuat Shiren terpaku di belakang mereka."Istri lo maksudnya?""Siapa lagi, sudah tak ad












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments