Share

Bab 4. Cucu kesayangan

ISTRI KEDUA AYAHKU 4

Jleb. Kata kata itu menusuk hatiku demikian dalam, hingga tembus ke jantung rasanya. Sakit sekali. Jika aku saja sesakit ini, bagaimana dengan Bunda. Kugenggam tangan Bunda yang terasa dingin. Aku tahu betapa perih hatinya. Namun di depan semua orang, wajah Bunda yang cantik tetap setenang telaga.

Tiba-tiba kudengar Mama bertepuk tangan. Dia merasa menang dengan keputusan Eyang barusan.

"Nah. Tunggu apa lagi? Segera hubungi gadis itu, Elisa. Dan tawarkan dua ratus juta padanya? Cukup kan?"

Mama sumringah. Aku menatap Ayah. Akankah terjadi lagi untuk kesekian kalinya? Tidak. Aku telah bertekad bahwa ini adalah yang terakhir. Aku menoleh pada Eyang, hendak membantah kata-kata nya meski aku tahu akan berujung murka. Tapi sebelum itu, suara Ayah lebih dulu terdengar.

"Maaf Ibu. Sekali ini biar kujalankan fungsi ku sebagai seorang Ayah." Ayah lalu menatap Huda. "Besok bersiap siap, kita akan menemui keluarga Saksia."

"Apa?!" Huda bahkan berdiri dari kursinya. Dia membanting sendok ke atas piring hingga menimbulkan suara berisik. Eyang dan Mama yang selama ini memanjakan dan selalu menuruti apapun keinginannya menyulap Huda menjadi pribadi yang semaunya sendiri.

"Aku tidak mau menikah sekarang. Jangan paksa aku Ayah!" Dia bahkan berteriak pada Ayah.

"Huda! Jangan berani berteriak di depan Ayah!" Seruku.

Huda tampaknya tersadar. Dia duduk lagi dengan wajah keruh. Meja makan ini kerap menjadi saksi pertengkaran kami. Dan makanan tak berdosa yang tersaji di atasnya, yang terkadang menjadi dingin lalu tak lagi disentuh.

"Kalian selalu meributkan hal tak penting. Bukankah Ibu sudah memutuskan bahwa Huda tak akan menikahi Saskia." Suara Mama tajam.

"Aku Ayahnya. Dan aku yang akan memutuskan." Ujar Ayah tenang.

Namun tiba-tiba, Eyang memegangi dada. Aku mendesah. Ini sungguh bukan yang pertama kalinya terjadi. Drama itu akan terulang lagi. Mama berlari memburu ke arah Eyang dan berteriak.

"Berhentilah memaksa Huda! Kalian hanya membuat Eyang sakit!"

"Kalau begitu silahkan Mama dan Huda selesaikan sendiri masalah Saskia. Aku tak mau lagi ikut campur." Ujarku getas.

Suasana mendadak hening. Tentu saja, menghadapi wanita korban rudapaksa yang dilakukan Huda bukan hal menyenangkan. Karena itu, akulah yang selalu mereka sodorkan untuk menyelesaikan semua masalah ini.

"Kak Elisa…"

Aku menggeleng. Menatap Mama yang masih mengurut urut dada Eyang, lalu berpaling pada wajah Eyang, yang entah bagaimana masih terlihat cantik.

"Aku akan memanggil dokter lagi siang ini. Aku ingin tahu kenapa Eyang hanya sakit setiap kali Ayah menolak permintaan Huda yang tak masuk akal itu."

Aku tak peduli lagi akan rekasi Eyang. Dua puluh lima tahun lamanya aku dan Amira hidup dalam diskriminasi. Menjadi cucu kelas dua. Setelah mengangguk dan pamit pada Ayah dan Bunda, aku kembali ke kamar. Bersiap berangkat ke kantor. Biarlah mereka menyelesaikan sendiri masalah ini, Eyang, Mama dan Huda. Biar mereka tahu rasanya.

***

"Kau kelihatan lesu sekali. Seharusnya istirahatlah satu atau dua hari."

Aku menatap William, pemuda keturunan yang menjadi tunanganku selama setahun terakhir ini. Aku memang lelah sekali. Tapi pekerjaan menumpuk sementara Ayah tengah dipusingkan oleh masalah Huda. Anak itu sendiri tadi sudah kembali ke rumah bersama Mamanya. Rumah Mama cukup jauh dari rumah Bunda, sekitar satu jam perjalanan. Ayah sengaja memisahkan rumah kedua istrinya demi menghindari konflik. Tapi Huda dan Mama punya seribu cara menciptakan masalah.

Aku tersenyum, meneguk air dalam gelas dan mengelap bibir dengan tisu.

"Terima kasih sudah menemaniku makan siang. Aku harus kembali ke kantor sekarang." Ujarku tanpa menanggapi kata katanya tadi.

"El…" William memegang tanganku. "Aku masih menunggu kesediaanmu. Aku… hanya ingin berdua denganmu meski sehari saja."

Dia mengungkit hal itu lagi. William mengajakku liburan ke Bali meski hanya satu hari. Tapi aku selalu menolak. Aku takut, pergi berdua saja sementara kami sama sama tengah kasmaran, akan membuka celah bagi kami melakukan hal yang tak seharusnya.

"Maaf Will, kita harus menikah dulu sebelum bisa pergi berdua."

"Apa bedanya El? Toh enam bulan lagi kita akan menikah."

Aku tersenyum.

"Tentu saja berbeda. Saat itu akan menjadi saat yang tak akan kita lupakan. Sementara jika kita pergi sekarang, kita akan berusaha melupakan apa yang terjadi di sana. Will, aku tak yakin kita bisa menahan diri."

William mendesah. Dia bersandar di kursinya. Aku berdiri dan pamit. Kantorku, kantor utama Wijaya Group berada selemparan batu dari tempat kami makan siang. Jadi aku hanya berjalan kaki datang ke sini. Sementara William seorang arsitek lepas yang punya kantor sendiri.

Memasuki lobby kantor, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Anika sahabatku. Aku mendesah dan berusaha menghapus gambar yang baru saja dikirimkan Anika dari ingatan. Foto Will sedang berpelukan dengan seorang gadis cantik berbaju merah di lobby sebuah hotel.

(Semalam Will ke hotelku. Maaf baru kukirimkan sekarang. Aku berperang dengan diriku sendiri antara memberi tahu atau membiarkan kau tahu sendiri.)

Aku tersenyum getir. Dia sepertinya tak sabar mencicipi rasa seorang gadis. Tapi jelas itu bukan aku. Aku meneruskan langkah. Otakku sibuk berpikir, memilah lebih dulu masalah mana yang harus kuselesaikan. Tapi rupanya masalah itu telah menanti di sana.

"Mbak Elisa…"

Saskia telah menunggu di depan resepsionis. Dia langsung berdiri melihatku. Matanya sembab dan wajahnya makin pucat. Aku menelan ludah. Entah apa yang dilakukan Huda dan Mama padanya.

"Ikut aku."

Aku tak mungkin mengajaknya bicara disini. Saskia mengikuti masuk ke dalam ruangan pribadiku.

"Huda dan Mamanya datang. Mereka memaksaku menggugurkan kandungan." Ujarnya langsung.

Aku telah menduga hal itu. Eyang tetap berpegang teguh pada kemauannya menikahkan Huda dengan gadis pilihannya, entah siapa. Dan dokter yang kubawa memberi pesan bahwa Eyang tak boleh mendapat tekanan meski sedikitpun. Lagi lagi, kami terpaksa mengalah. Ayah membiarkan Mama dan Huda datang ke rumah Saskia karena aku menolak menjadi juru damai. Kami hanya bisa berharap, setelah dinikahkan, dia akan berubah.

"Maafkan aku Saskia. Aku tidak punya kekuatan lebih untuk membantumu."

"Mereka memberiku ini." Dia menyorongkan tas yang aku yakin berisi uang. "Tapi aku tidak butuh. Yang aku inginkan, Huda bertanggung jawab."

Aku terdiam. Sebagai seorang perempuan tentu aku mengerti perasaannya.

"Pulangkan dulu, dan bawa uang ini. Aku akan tetap membujuk adikku."

Saskia berdiri, mengusap air matanya keras keras.

"Tolong jangan kecewakan saya. Mbak tahu apa yang bisa dilakukan seorang wanita yang sedang sedih dan sakit hati."

Saskia lalu meninggalkan ruanganku. Aku memijat kepala yang terasa pusing. Masalah yang bertumpuk, dan tubuh lelah setelah perjalanan jauh, membuatku jatuh tertidur dengan kepala berada di atas meja. Dering ponsel-lah yang kemudian membangunkanku.

"Bunda?"

"Elisa? Pulanglah sekarang Nak. Keluarga Saskia datang. Mereka menuntut Huda menikahi Saskia sekarang juga."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status