Share

Bab 3. Cinta segitiga

ISTRI KEDUA AYAHKU 3

"Kak Elisa?" Suaranya tergagap. Mulutnya menguarkan bau alkohol yang pekat, membuatku mual.

"Pulang. Ayah menunggumu."

Dia mendesah, terhuyung huyung dan nyaris jatuh jika kerah bajunya tak kutahan.

"Aku nggak mau. Lepaskan aku Kak." Ujarnya sambil menepis tanganku.

"Aku tak akan segan-segan menghajarmu disini Huda. Jadi sebaiknya kau ikut aku baik-baik."

Dia malah meraih botol minuman di atas meja dan meneguknya banyak-banyak, lalu di acungkannya botol laknat itu di depan wajahku.

"Belum habis." Dia tertawa tawa seperti orang sinting.

Aku mengulurkan tangan, hendak meraih botol itu, namun dia malah menuangkan isinya tepat di depanku. Sepercik air menciprati wajahku.

"Jangan munafik Kak. Di Amerika Kakak tentu sering minum seperti ini."

Kesabaranku habis. Tanpa aba-aba, kulayangkan telapak tanganku ke wajahnya. Keras sekali sehingga bibirnya pecah dan meneteskan darah. Aku ingin dia merasakan sakit disana sehingga sadar apa yang baru saja dia katakan.

Plak!

Dan sebelum dia sempat protes, aku menarik tangannya dan menguncinya ke belakang. Kupanggil petugas jaga di depan yang sudah kusuap dengan uang, dan sedikit ancaman.

"Tolong ikat adikku dan seret dia ke mobil." Ujarku sambil menyerahkan tali tambang ke tangan si petugas. Lelaki itu mengangguk patuh. Aku baru saja menunjukkan gelang berlogo keluarga Sastra Wijaya dan dia tentu tahu apa artinya jika berani menentang salah satu anggota keluarga itu.

Huda didudukkan di jok belakang. Mulutnya terus meracau, menyumpah nyumpah dengan kata-kata yang membuatku panas. Aku diam saja, berusaha menenangkan hati. Dalam keadaan sadar, dia tak akan berani berbicara seperti itu. Meski aku perempuan, Huda sedikit banyak punya rasa hormat dan takut padaku, Kakaknya.

Aku memacu mobil keluar pekarangan night club di iringi tatapan mata teman temannya. Sebagian mengejek Huda sebagai lelaki letoy yang kalah oleh perempuan. Beberapa saat tadi, aku sempat menatap mereka satu persatu. Merekam wajahnya dalam ingatan. Dan aku terkejut menyadari mereka semua adalah anak anak orang terpandang di kota ini. Anak anggota DPR, anak ketua yayasan pendidikan bahkan putra seorang perwira polisi. Ini benar-benar gila. Mereka semua telah kehilangan kontrol atas anak anak mereka.

Persis seperti Ayah dan Mama.

Aku melirik Huda dari kaca spion. Lelah meronta dan mengacau, dia tertidur. Atau mungkin pingsan? Aku menghela nafas, teringat masa kecil kami. Kami bertiga tumbuh bersama dengan jarak usia yang tak jauh berbeda. Kami kerap menghabiskan waktu bersama di rumahku karena Mama sering kali meninggalkannya untuk plesiran ke luar negeri. Dia anak yang baik sebenarnya, asalkan saja Mama tak terus menerus meracuninya agar membenci kami. Menjelang dewasa, Mama mulai menarik Huda agar menjauh dan terus membisikkan bahwa dialah penerus keluarga ini dan sudah seharusnya orang lain, termasuk Bunda, aku dan Amira patuh padanya.

Seperti dugaanku, Mama langsung berteriak histeris melihat anaknya pulang dalam keadaan pingsan dan tangan terikat. Aku menyuruh satpam untuk membopong Huda dan meletakkannya di atas sofa ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan pada anakku?!" Bentak Mama.

"Aku hanya menamparnya sekali, supaya dia sadar dari mabuk. Tapi rupanya dia minum terlalu banyak hingga pingsan." Ujarku kalem.

"Bohong! Lihat bibirnya berdarah."

Aku berdecak. "Itu biasa Ma. Huda memang harus sedikit merasakan sakit sesekali supaya dia tahu bahwa hidup itu bukan hanya tentang bersenang-senang."

"Kau gila Elisa!"

"Berhenti Laksmi!" Seru Bunda.

Aku memeluk bahu Bunda. Aku tahu Bunda sangat tak terima jika ada orang lain memaki anaknya. Bunda membesarkan aku dan Amira dengan penuh kelembutan. Hanya saja, ketika aku sadar posisiku sebagai putri sulung keluarga ini, dimana beban berat akan disandangkan di bahuku, diam-diam aku belajar beberapa cabang ilmu bela diri. Tak ada yang tahu aku mahir melakukan itu semua kecuali Amira.

Mama terdiam sambil berlinang air mata. Dia mengambil tisu dan menyeka setetes darah yang sesungguhnya telah mengering. Ayah dan Eyang kembali ke kamarnya tanpa kata-kata. Tentu saja tak mungkin mengajak bicara orang yang sedang pingsan.

"Ayo tidur Bunda." Ajakku. Tanpa peduli pada Mama dan Huda, aku menggamit lengan Bunda, bermaksud mengantarnya ke kamar. Tapi Bunda menahan tanganku.

"Kau belum makan. Ayo Bunda temani." Bunda menarik tanganku ke ruang makan tanpa menunggu jawabanku. Aku tersenyum dan mengangguk, tiba-tiba saja merasa lapar.

***

Belum lama rasanya aku terlelap, ketika suara keributan dari lantai bawah terdengar. Aku bangun dan membuka pintu, bersamaan dengan Amira yang juga keluar dari kamarnya di sebelahku. Kami bersembunyi di balik tiang dan menatap ke bawah. Di sana Mama tengah mengetuk ngetuk pintu kamar Bunda dan Ayah dengan berisik.

"Ada apa?"

Kulihat Bunda keluar. Mama menunjuk Huda yang masih pingsan di sofa ruang tengah, cukup jauh dari pintu kamar Bunda.

"Anakku pingsan dan kalian semua enak enakan tidur."

Bunda menatap Huda sebentar.

"Dia hanya pingsan karena mabuk, bukan sakit. Dan itu semua karena ulahnya sendiri." Tukas Bunda.

"Suruh Mas Bagus keluar. Aku butuh ditemani, aku sedang sedih malam ini."

Bunda tersenyum. "Maaf Laksmi, malam ini giliranku."

"Kau keterlaluan Mbak!"

Bunda menghela nafas. Sungguh rasanya aku ingin sekali turun dan ikut marah melihatnya membentak Bunda. Tapi aku tahu Bunda tak suka melihatku ikut campur urusan cinta segitiga itu.

Bunda lalu masuk dan keluar lagi sesaat kemudian.

"Kau dengar sendiri. Mas Bagus tak mau diganggu. Kita bicara besok pagi ketika Huda sadar. Ingat Laksmi, Huda sedang dalam masalah besar. Sebaiknya kau berdoa supaya dia baik baik saja."

Bunda tersenyum lalu masuk dan menutup pintu. Aku dan Amira sama sama menarik nafas lega. Kami tersenyum, dan tanpa peduli reaksi Mama kembali ke kamar. Mama, seharusnya Mama tidak meminta terlalu banyak. Meski Mama punya dukungan dari Eyang, tapi yang punya hati untuk mencinta adalah Ayah. Bukankah lebih baik jika Mama mencoba bersikap lembut untuk mengambil hati Ayah?

Malam itu, nyaris sepanjang malam aku terjaga, berjaga jaga seandainya Huda bangun dan membuat keributan. Tapi hingga subuh menjelang, suasana sepi. Mama rupanya menyerah dan kembali ke kamarnya, sementara Huda terlalu mabuk untuk bisa segera bangun.

***

"Aahh, dia itu perempuan murahan Ayah. Sudahlah tak usah khawatir. Aku akan menyuruhnya menggugurkan kandungannya saat ini juga." Ujar Huda.

Pagi telah dikotori oleh suasana tegang yang tak juga hilang. Bahkan sepasang burung gereja yang tengah mematuk matuk rumput di halaman belakang kami yang asri tak mampu membuatku mengalihkan pandangan. Kali ini kami sarapan dan bicara di meja makan yang diletakkan di ruang terbuka di halaman belakang. Tempat kami biasa sarapan di hari cerah seperti ini.

"Tidak untuk kali ini!" Tegas Ayah. "Kau harus menikahi Saskia."

"Tidak!"

Tiga buah suara menentang. Huda, Mama dan… Eyang.

"Huda akan Ibu jodohkan dengan seseorang."

Ayah menatap Ibu, "Kalau begitu kenapa selama ini Ibu membiarkan saja cucu Ibu bertualang?"

"Jangan mempertanyakan keputusan Ibu Bagus. Kau lupa bahwa kau dan Anindya masih bisa bersama karena siapa? Aku. Padahal bagiku, cukup satu menantu yang bisa memberi cucu lelaki."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status