Home / Urban / ISTRI KEDUA AYAHKU / Bab 3. Cinta segitiga

Share

Bab 3. Cinta segitiga

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2022-08-16 09:04:39

ISTRI KEDUA AYAHKU 3

"Kak Elisa?" Suaranya tergagap. Mulutnya menguarkan bau alkohol yang pekat, membuatku mual.

"Pulang. Ayah menunggumu."

Dia mendesah, terhuyung huyung dan nyaris jatuh jika kerah bajunya tak kutahan.

"Aku nggak mau. Lepaskan aku Kak." Ujarnya sambil menepis tanganku.

"Aku tak akan segan-segan menghajarmu disini Huda. Jadi sebaiknya kau ikut aku baik-baik."

Dia malah meraih botol minuman di atas meja dan meneguknya banyak-banyak, lalu di acungkannya botol laknat itu di depan wajahku.

"Belum habis." Dia tertawa tawa seperti orang sinting.

Aku mengulurkan tangan, hendak meraih botol itu, namun dia malah menuangkan isinya tepat di depanku. Sepercik air menciprati wajahku.

"Jangan munafik Kak. Di Amerika Kakak tentu sering minum seperti ini."

Kesabaranku habis. Tanpa aba-aba, kulayangkan telapak tanganku ke wajahnya. Keras sekali sehingga bibirnya pecah dan meneteskan darah. Aku ingin dia merasakan sakit disana sehingga sadar apa yang baru saja dia katakan.

Plak!

Dan sebelum dia sempat protes, aku menarik tangannya dan menguncinya ke belakang. Kupanggil petugas jaga di depan yang sudah kusuap dengan uang, dan sedikit ancaman.

"Tolong ikat adikku dan seret dia ke mobil." Ujarku sambil menyerahkan tali tambang ke tangan si petugas. Lelaki itu mengangguk patuh. Aku baru saja menunjukkan gelang berlogo keluarga Sastra Wijaya dan dia tentu tahu apa artinya jika berani menentang salah satu anggota keluarga itu.

Huda didudukkan di jok belakang. Mulutnya terus meracau, menyumpah nyumpah dengan kata-kata yang membuatku panas. Aku diam saja, berusaha menenangkan hati. Dalam keadaan sadar, dia tak akan berani berbicara seperti itu. Meski aku perempuan, Huda sedikit banyak punya rasa hormat dan takut padaku, Kakaknya.

Aku memacu mobil keluar pekarangan night club di iringi tatapan mata teman temannya. Sebagian mengejek Huda sebagai lelaki letoy yang kalah oleh perempuan. Beberapa saat tadi, aku sempat menatap mereka satu persatu. Merekam wajahnya dalam ingatan. Dan aku terkejut menyadari mereka semua adalah anak anak orang terpandang di kota ini. Anak anggota DPR, anak ketua yayasan pendidikan bahkan putra seorang perwira polisi. Ini benar-benar gila. Mereka semua telah kehilangan kontrol atas anak anak mereka.

Persis seperti Ayah dan Mama.

Aku melirik Huda dari kaca spion. Lelah meronta dan mengacau, dia tertidur. Atau mungkin pingsan? Aku menghela nafas, teringat masa kecil kami. Kami bertiga tumbuh bersama dengan jarak usia yang tak jauh berbeda. Kami kerap menghabiskan waktu bersama di rumahku karena Mama sering kali meninggalkannya untuk plesiran ke luar negeri. Dia anak yang baik sebenarnya, asalkan saja Mama tak terus menerus meracuninya agar membenci kami. Menjelang dewasa, Mama mulai menarik Huda agar menjauh dan terus membisikkan bahwa dialah penerus keluarga ini dan sudah seharusnya orang lain, termasuk Bunda, aku dan Amira patuh padanya.

Seperti dugaanku, Mama langsung berteriak histeris melihat anaknya pulang dalam keadaan pingsan dan tangan terikat. Aku menyuruh satpam untuk membopong Huda dan meletakkannya di atas sofa ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan pada anakku?!" Bentak Mama.

"Aku hanya menamparnya sekali, supaya dia sadar dari mabuk. Tapi rupanya dia minum terlalu banyak hingga pingsan." Ujarku kalem.

"Bohong! Lihat bibirnya berdarah."

Aku berdecak. "Itu biasa Ma. Huda memang harus sedikit merasakan sakit sesekali supaya dia tahu bahwa hidup itu bukan hanya tentang bersenang-senang."

"Kau gila Elisa!"

"Berhenti Laksmi!" Seru Bunda.

Aku memeluk bahu Bunda. Aku tahu Bunda sangat tak terima jika ada orang lain memaki anaknya. Bunda membesarkan aku dan Amira dengan penuh kelembutan. Hanya saja, ketika aku sadar posisiku sebagai putri sulung keluarga ini, dimana beban berat akan disandangkan di bahuku, diam-diam aku belajar beberapa cabang ilmu bela diri. Tak ada yang tahu aku mahir melakukan itu semua kecuali Amira.

Mama terdiam sambil berlinang air mata. Dia mengambil tisu dan menyeka setetes darah yang sesungguhnya telah mengering. Ayah dan Eyang kembali ke kamarnya tanpa kata-kata. Tentu saja tak mungkin mengajak bicara orang yang sedang pingsan.

"Ayo tidur Bunda." Ajakku. Tanpa peduli pada Mama dan Huda, aku menggamit lengan Bunda, bermaksud mengantarnya ke kamar. Tapi Bunda menahan tanganku.

"Kau belum makan. Ayo Bunda temani." Bunda menarik tanganku ke ruang makan tanpa menunggu jawabanku. Aku tersenyum dan mengangguk, tiba-tiba saja merasa lapar.

***

Belum lama rasanya aku terlelap, ketika suara keributan dari lantai bawah terdengar. Aku bangun dan membuka pintu, bersamaan dengan Amira yang juga keluar dari kamarnya di sebelahku. Kami bersembunyi di balik tiang dan menatap ke bawah. Di sana Mama tengah mengetuk ngetuk pintu kamar Bunda dan Ayah dengan berisik.

"Ada apa?"

Kulihat Bunda keluar. Mama menunjuk Huda yang masih pingsan di sofa ruang tengah, cukup jauh dari pintu kamar Bunda.

"Anakku pingsan dan kalian semua enak enakan tidur."

Bunda menatap Huda sebentar.

"Dia hanya pingsan karena mabuk, bukan sakit. Dan itu semua karena ulahnya sendiri." Tukas Bunda.

"Suruh Mas Bagus keluar. Aku butuh ditemani, aku sedang sedih malam ini."

Bunda tersenyum. "Maaf Laksmi, malam ini giliranku."

"Kau keterlaluan Mbak!"

Bunda menghela nafas. Sungguh rasanya aku ingin sekali turun dan ikut marah melihatnya membentak Bunda. Tapi aku tahu Bunda tak suka melihatku ikut campur urusan cinta segitiga itu.

Bunda lalu masuk dan keluar lagi sesaat kemudian.

"Kau dengar sendiri. Mas Bagus tak mau diganggu. Kita bicara besok pagi ketika Huda sadar. Ingat Laksmi, Huda sedang dalam masalah besar. Sebaiknya kau berdoa supaya dia baik baik saja."

Bunda tersenyum lalu masuk dan menutup pintu. Aku dan Amira sama sama menarik nafas lega. Kami tersenyum, dan tanpa peduli reaksi Mama kembali ke kamar. Mama, seharusnya Mama tidak meminta terlalu banyak. Meski Mama punya dukungan dari Eyang, tapi yang punya hati untuk mencinta adalah Ayah. Bukankah lebih baik jika Mama mencoba bersikap lembut untuk mengambil hati Ayah?

Malam itu, nyaris sepanjang malam aku terjaga, berjaga jaga seandainya Huda bangun dan membuat keributan. Tapi hingga subuh menjelang, suasana sepi. Mama rupanya menyerah dan kembali ke kamarnya, sementara Huda terlalu mabuk untuk bisa segera bangun.

***

"Aahh, dia itu perempuan murahan Ayah. Sudahlah tak usah khawatir. Aku akan menyuruhnya menggugurkan kandungannya saat ini juga." Ujar Huda.

Pagi telah dikotori oleh suasana tegang yang tak juga hilang. Bahkan sepasang burung gereja yang tengah mematuk matuk rumput di halaman belakang kami yang asri tak mampu membuatku mengalihkan pandangan. Kali ini kami sarapan dan bicara di meja makan yang diletakkan di ruang terbuka di halaman belakang. Tempat kami biasa sarapan di hari cerah seperti ini.

"Tidak untuk kali ini!" Tegas Ayah. "Kau harus menikahi Saskia."

"Tidak!"

Tiga buah suara menentang. Huda, Mama dan… Eyang.

"Huda akan Ibu jodohkan dengan seseorang."

Ayah menatap Ibu, "Kalau begitu kenapa selama ini Ibu membiarkan saja cucu Ibu bertualang?"

"Jangan mempertanyakan keputusan Ibu Bagus. Kau lupa bahwa kau dan Anindya masih bisa bersama karena siapa? Aku. Padahal bagiku, cukup satu menantu yang bisa memberi cucu lelaki."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 51 (ekstra part)

    ISTRI KEDUA AYAHKU (Ekstra part)PoV HUDASatu tahun kemudianRumah terasa demikian sepi setelah Kak Elisa menikah dan tinggal terpisah. Meski hanya Kak Elisa yang pergi, pengaruhnya ternyata begitu besar. Tak ada lagi yang sibuk membangunkanku dan Amira. Tak ada yang melotot memarahiku jika aku terlambat pulang hingga larut malam. Dan tak ada yang memeluk setiap kali aku murung karena rasa ingin tahu ku pada keluarga kandung yang tak terbendung.Aku kehilangan Kak Elisa, seperti aku kehilangan jejak pada orang tua kandung yang entah dimana. Sekian lama kucoba ikhlas dan melupakan, tetap saja, ada rasa tak nyaman di dalam hati. Seharusnya, aku bukan bagian dari keluarga terhormat ini. Bagaimana jika ternyata, aku adalah anak seorang pelacur? Seorang penjahat? Atau pembunuh?"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci Huda. Tak peduli siapa orang tua kandungmu, kau tetap anak Ayah, dan adikku."Kak Elisa telah benar-benar melupakan diriku yang dulu kerap membuat onar. Padahal aku tak pe

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 50

    ISTRI KEDUA AYAHKU 50 (ENDING)PoV ELISAAdakah hari yang lebih dinantikan setiap wanita selain hari ini? "Kamu cantik banget pakai jilbab El. Auramu makin bersinar."Bunda menangkup wajahku dengan lembut. Aku tersenyum ketika beliau menghela tubuhku ke depan cermin sementara sang make up artist yang baru saja selesai memoles wajahku menunggu dengan wajah sedikit tegang. Dia dulu pernah merias kami sekeluarga saat Huda wisuda dan protes dari Mama yang mau ini dan itu terus bertubi-tubi.Ah, Mama. Rasanya masa itu telah jauh tertinggal. Apapun kesalahanmu dimasa lalu, kami semua telah memaafkanmu dan berdamai dengan takdir. Semoga dirimu tenang setelah mendapat pengampunan dari orang-orang yang pernah kau sakiti.Dan aku tetap saja takjub melihat diriku sendiri. Make up flawless yang membuat wajahku tetap tampak seperti diriku. Dengan kebaya putih panjang hingga menyentuh lantai dan jilbab putih terbuat dari sutera, aku tak bisa memungkiri bahwa benar kata orang-orang bahwa aku cantik

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 49

    ISTRI KEDUA AYAHKU 49PoV HUDAAku melangkah dengan cepat keluar dari kamar super VIP, dimana mereka semua berkumpul. Sungguh, mendengar penjelasan Eyang tadi, meski gemetar dan tak menyangka, sebagai sisi hatiku tak menyangkalnya. Sejak dulu aku merasa begitu berbeda. Mungkin secara fisik, aku mirip mereka. Tapi banyak orang berkata, sedikitpun aku tak punya aura bangsawan. Tapi, bagaimana aku bisa mirip Ayah dan Akak Elisa? Tapi ah, Bukankah seorang anak angkat saja bisa menjadi mirip orang tua angkat yang mengasuhnya penuh cinta. Apa lagi aku, yang lebih banyak menghabiskan masa kecil di rumah Bunda.Di salah satu sudut halaman parkir, aku berhenti. Kakiku yang lelah membuatku tak mampu lagi melangkah. Aku duduk di salah satu bangku semen yang teduh oleh pohon akasia. Bangku ini tampaknya memang sengaja dibuat sebagai tempat istirahat.Selama ini, aku menghabiskan begitu banyak uang, menciptakan begitu banyak masalah di keluarga ini. Padahal aku sama sekali bukan bagian dari merek

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 48

    ISTRI KEDUA AYAHKU 48Elisa, begitu banyak dosa yang telah Eyang lakukan pada keluarga ini. Eyang takut, jika Eyang mati sebelum memberi tahumu semua yang sebenarnya terjadi. Satu dosa besar, yang kerap membuat Eyang gemetar setiap malam. Elisa, apakah benar Dia maha pengampun?Aku tercenung sambil memegang kertas berisi tulisan tangan Eyang yang rapi. Dalam sebuah buku novel cetakan lama, di samping kacamata bacanya, kertas ini kutemukan. Eyang sendiri telah berada di rumah sakit, koma tanpa diagnosa. Sungguh aneh. Dirinya seakan hanya tertidur. Tidur yang sangat lama karena hingga seminggu kemudian, Eyang tak juga bangun. Dokter yang heran karena tak menemukan penyebabnya, hanya memintaku menunggu.Apa yang sebenarnya Eyang sembunyikan? Apa yang membuat jiwamu berkelana hingga tak juga kembali? Aku bersandar di bangku ruang tunggu dengan perasaan lelah. Rumah sakit seakan menjadi tempat yang begitu akrab denganku. Orang-orang yang kucintai masuk dan keluar, silih berganti."Tita su

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 47

    ISTRI KEDUA AYAHKU 47Aku menatap Bunda dengan raut terkejut yang tak dapat kusembunyikan. Sakha bergerak cepat. Kemarin, ketika, lagi lagi aku luruh dalam genggaman tangannya, dia memang berkata akan segera melamarku apapun yang terjadi. Dia tak peduli jika harus ditolak atau bahkan dihina. Dia akan berjuang keras dengan satu keyakinan, bahwa cintaku cukup baginya mampu melakukan itu semua."Lalu, Ayah dan Bunda? Emm… maksudku, Ayah menerimanya?""Oh, apa kau ingin Ayahmu menolaknya saja?"Suara Bunda jelas menggoda. Aku tersipu. Bagaimana mungkin aku ingin Ayah menolak, jika hatiku begitu ingin bersamanya. Tiba-tiba saja, kemungkinan bahwa Eyang tidak menyukainya, atau Tita yang cemburu tak lagi kupikirkan. Jatuh cinta membuatku menjadi sedikit egois."Kau tahu apa yang dikatakan calon mertuamu?"Bunda bahkan langsung menyebut Ibunya dengan calon mertua."Sakha mencintai Elisa dengan tulus. Demi Allah, dendam itu telah lama hilang melihat anak gadis kalian yang begitu tulus dan baik

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 46

    ISTRI KEDUA AYAHKU 46"Tumor otak stadium dua."Satu kalimat itu nyatanya mampu membuat suasana dalam ruangan Dokter Annisa mencekam. Dapat ku rasakan jemari Tante Dayana mencengkram lenganku dengan kencang. Aku memegang lengannya, menepuknya perlahan agar dia bisa sedikit lebih tenang."Beruntung kita segera menemukannya. Peluang keberhasilan operasi pada jenis Tumor ini sangat besar. Ibu tidak perlu terlalu cemas." Ujar dokter Annisa sambil menatapku dan Tante Dayana bergantian."Saya minta rujukan tindakan apa yang terbaik untuk Tita dan rumah sakit mana yang paling banyak tingkat keberhasilannya dokter."Dokter Annisa mengangguk."Saya merekomendasikan Saint Mary Mayo Clinic. Rochester, Amerika Serikat."Aku menatap Tante Dayana, meminta persetujuannya. Sepertinya dia sendiri kebingungan. "Bagaimana baiknya menurutmu El." Ujarnya pasrah.Aku kembali menatap dokter Annisa."Tolong siapkan rujukannya dokter. Saya akan membawa Tita kesana."***"El… Tante takut. Takut sekali."Aku m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status