Share

Bab 5. Keputusan Huda

ISTRI KEDUA AYAHKU 5

Saskia Kusuma Dewi. Dua puluh dua tahun. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya adalah lelaki yang masing-masing bekerja sebagai buruh di dua pabrik berbeda. Orang tuanya guru honorer di sebuah sekolah Dasar. Saskia bekerja demi membahagiakan orang tuanya yang miskin, namun terjebak rayuan gombal Huda. Di bawah ancaman, dia akhirnya menyertakan keperawanannya hingga akhirnya hamil.

Aku menyeka peluh yang mengembun di dahi. Jika korban Huda sebelumnya kebanyakan para gadis yang memang nakal dan haus harta, Saskia berbeda. Aku telah jatuh hati padanya saat pertama kali melihatnya tempo hari. Meski beban berat menggunung di dadanya, aku melihat betapa dia berusaha untuk tegar. Dapat kubayangkan bagaimana rasanya menjadi dia, harus mengecewakan keluarganya.

Aku mampir ke kantor Huda, sebuah anak cabang perusahaan Papa yang dia pimpin. Kukatakan pada Bunda agar menahan mereka sebentar. Aku yakin Saskia dan keluarganya orang yang baik. Aku harus membawa Huda saat ini juga menemui mereka.

Petugas resepsionis mengangguk begitu aku lewat menuju ruangan Huda. Bisik bisik menggema di meja meja karyawan begitu melihatku melintas.

Aku membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu, dan mendapati pemandangan menjijikkan itu di depan mataku. Seorang gadis dengan setelan blazer mini tengah duduk dipangkuan adikku, membiarkan dadanya yang terekspose menjadi santapan.

"Kak Elisa…" Huda bangkit, mendorong si gadis hingga dia terhuyung-huyung.

"Siapa dia?"

"Saya admin yang baru. Anda siapa? Seenaknya saja masuk kesini." Si gadis mendahului Huda menjawab pertanyaanku.

"Tutup mulutmu! Dia kakakku!" Sentak Huda pada gadis itu. Si gadis tampak terkejut dan kini menatapku dengan ekspresi takut.

"Aku kemari menjemputmu." Ujarku pada Huda, lalu menoleh pada gadis itu. "Temui personalia dan minta gajimu. Mulai besok kau tak perlu bekerja."

"A… apa? Saya dipecat?"

Aku mengangguk. "Ya. Aku tak butuh karyawan murahan yang suka mengobral tubuhnya. Huda adikku sebentar lagi akan menikah. Lupakan mimpimu menggaetnya."

Wajah gadis itu merah padam. Dia membenahi bajunya yang terbuka di bagian dada dan keluar ruangan sambil menghentak hentakan kaki. Huda diam saja. Dia tahu bahwa wajahku yang serius tak ingin dibantah. Aku memberinya isyarat untuk ikut.

"Tapi ada apa Kak?"

Aku berbalik dan menatapnya. "Kau akan tahu. Tolong jangan menolak. Aku lelah jika harus menghajarmu lagi."

Kami berjalan beriringan. Kutinggalkan pesan pada sekretaris di depan agar meng-handle semua pekerjaan. Sekretaris Huda adalah seorang wanita berusia empat puluhan dengan kinerja luar biasa. Dia sudah bergabung dengan Wijaya group lebih dari lima belas tahun lamanya. Dan yang jelas, Huda tak berminat menggodanya.

Huda naik ke mobilku, mengambil alih stir. Dalam keadaan normal, diluar kebiasaannya main perempuan, dia sebenarnya adik yang menyenangkan. Dulu kala remaja, Huda selalu pasang badan membela aku dan Amira yang kerap di bully sebagai anak orang kaya tanpa prestasi dan mengandalkan uang orang tua. Entah sejak kapan dia berubah menjauh. Kurasa peran Mama membentuk karakternya sangat kuat.

Di halaman rumah, hanya ada sebuah mobil kijang tua yang parkir. Huda mendesah melihatnya. Dia mungkin mengenali mobil itu.

"Kakak menjebakku." Desisnya.

Aku menoleh, menatap wajahnya yang tampan. Sungguh dia mewarisi garis garis wajah Ayah, sama sepertiku. Dulu semua orang heran bagaimana kami begitu mirip padahal lahir dari dua Ibu yang berbeda.

"Huda, kau sudah dewasa. Bisakah kita bicara secara orang dewasa tanpa memakai kekerasan lagi?"

Dia diam saja, balas menatapku.

"Bisa kau bayangkan jika itu terjadi padaku atau Amira? Jika ada seorang lelaki menghamili lalu mencampakkan kami?"

"Kakak dan Amira wanita terhormat. Tak akan ada yang berani melakukan itu."

Aku tersenyum.

"Siapa bilang? Kau ingat berapa banyak gadis yang kau sakiti? Bagaimana jika salah satu dari mereka sakit hati dan melampiaskan pada kami? Aku mungkin bisa membela diriku sendiri. Tapi bagaimana dengan Amira? Dia gadis yang lembut. Belum lagi dosa yang harus kau tanggung karena membunuh bayi bayi tak berdosa itu. Huda, sebagai Kakakmu, aku minta hentikan petualanganmu. Jadilah lelaki bertanggung jawab."

Huda mendesah. Dia menunduk menatap stir mobil di hadapannya. Hatiku riuh melangitkan doa. Bagaimanapun Mama mencoba mempengaruhinya, aku yakin masih ada setitik kebaikan dalam diri adikku.

"Ayo turun."

Aku mendahului Huda turun. Beberapa mata memindai kami dari dalam rumah, aku yakin sekali itu. Meski jarak antara halaman tempat Huda memarkir mobil dengan ruang tamu utama rumah Bunda cukup jauh.

Begitu menjejakkan kaki di ruang tamu, seorang lelaki melompat dan langsung menarik kerah baju Huda. Dia nyaris saja menghajar adikku kalau aku tak menangkap kepalan tangannya dengan sigap.

"Tolong jangan buat keributan disini." Ujarku sambil menarik Huda sedikit menjauh.

"Suruh lelaki bajingan ini menikahi adikku!"

"Kita akan bicarakan baik-baik. Tapi jika ada yang main tangan, saya pastikan kalian akan berakhir di penjara."

Semua orang terkesima mendengar kata-kataku. Di sofa, duduk di sebelah Bunda adalah Saskia, yang memegang tangan Bunda sambil menangis. Lalu sepasang orang tua setengah baya yang kuyakini sebagai Ayah dan Ibunya. Seorang pemuda lain berdiri di sudut ruangan dengan tangan terlipat di dada. Dapat kubayangkan hati Bunda gelisah menghadapi mereka semua sendirian saja.

"Jadi bagaimana? Apakah adikmu mau menikahi adikku?"

Aku menatap Huda, yang berdiri diam. Dalam hati aku berharap apa yang kukatakan dalam mobil tadi merasuki benaknya.

Huda menatap Saskia sebentar, lalu menatapku.

"Baiklah, saya akan menikahi Saskia."

***

Lagi-lagi, aku harus menghadapi murka Mama dan Eyang. Kesediaan Huda menikahi Saskia ditentang habis-habisan.

"Kau akan menyesal karena telah ikut campur urusanku Mbak." Tukas Mama pada Bunda.

"Laksmi, yang mengambil keputusan ini Huda sendiri. Tanyalah padanya." Tutur Bunda dengan ketenangan yang mengagumkan.

"Ya. Tapi dibawah intimidasi Elisa. Aku tak percaya anakku lebih menurut pada Elisa daripada aku Ibunya."

"Mungkin Huda sudah menyadari kekeliruannya selama ini. Seharusnya Mama senang karena sebentar lagi akan punya cucu.' ujarku.

Mama melangkah mendekat, memangkas jarak di antara kami. Ruang tamu hanya ada kami bertiga. Eyang dibawa Ayah dan Huda ke ruang kerjanya. Kuharap Eyang melunak jika Huda sendiri yang meminta. Dan kini, mata tajam berwarna kecoklatan milik Mama menatapku tajam.

"Pernikahan ini tidak akan terjadi Elisa. Kita lihat saja nanti."

Aku tersenyum. "Kuharap Mama tidak berpikir untuk melakukan tindak kriminal. Ingat, Ayah akan menghapus nama Mama dari daftar ahli waris jika sampai melakukannya."

"Sialan! Dasar anak kurang ajar!"

"Astaga Mama. Aku heran bagaimana wanita keturunan bangsawan sepertimu bisa bicara seperti itu."

Mama mendelik.

"Tunggu saja Elisa. Mungkin sudah saatnya menyingkirkan duri dalam hidupku.'

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sutan
napa ceritanya terpotong GK ada akhir dari cerita.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status