Meskipun akhirnya Alea setuju mengenai pernikahannya, tapi sebenarnya mereka semua tidak ada yang tahu mengenai apa yang sudah dibahas Alea bersama tuan Anmar ketika mereka bertemu di kantornya kemarin. Bahkan Alea juga tidak berani memberi tahu ibunya jika dirinya sudah menerima lamaran dari seorang duda berumur empat puluh tahun.
Malam ini kedua paman Alea berkumpul di rumah paman Kamir untuk menyambut kedatangan tuan Anmar yang akan bertamu ke rumah mereka. Dari sore bibi Rosita dan bibi Mala sudah sibuk merapikan rumah dan mengganti taplak meja agar rumah mereka terlihat rapi. Akan kedatangan tamu seperti tuan Anmar ternyata membuat mereka semua panik.
Belum apa-apa Alea juga seperti ikut gugup dan takut. Alea tahu dirinya sudah tidak bisa mundur lagi karena akan membuat malu keluarganya. Sebentar lagi Tuan Anmar akan datang untuk membicarakan perihal pernikahan mereka, sesuatu yang sama sekali belum berani Alea bayangkan.
"Kak Alea mau menikah?" tanya salah seorang sepupu kembarnya yang ikut menyimak pembicaraan para orang tua sepanjang hari tadi.
Alea cuma mengangguk kemudian beranjak pergi ke kamar ibunya. Alea benar-benar tidak mau diingatkan jika dirinya yanga akan menikah.
Ibu Alea sudah dipindahkan dari kursi roda dan akan berbaring seperti itu sampai pagai. Ibu Alea memang sudah tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain. Karena itu Alea tidak mungkin terus-terusan merepotkan keluarga paman dan bibinya.
Alea menarik selimut ibunya agar lekas tidur. Ibu Alea memang menempati kamar paling belakang dekat dapur dan kamar mandi agar lebih mudah untuk mengurusnya. Jadi nanti ibunya juga tidak perlu tahu apa yang sedang dibahas di ruang tamu keluarga mereka.
Bibi Rosita tiba-tiba menyusul Alea ke kamar.
"Alea cepat ganti pakaianmu dengan yang lebih pantas, jangan seperti itu."
Alea memang hanya memakai baju rumahan yang menurut bibinya tidak pantas untuk menyambut tuan Anmar.
Layaknya anak yang patuh Alea menuruti perintah bibinya untuk sedikit berdandan walaupun cuma mengurai rambutnya. Padahal Alea masih tidak tahu apa nanti dirinya harus ikut bicara bersama paman-pamannya.
Sekitar jam delapan malam akhirnya tuan Anmar yang sudah mereka tunggu-tunggu benar-benar datang. Hanya seorang diri tanpa ditemani siapapun.
Masih sama persis seperti yang terakhir Alea ingat, pria tinggi tegap itu kali ini memakai kemeja warna biru gelap yang juga terlihat sangat pas dan elegan melekat di tubuhnya. Rasanya tuan Anmar memang tidak pantas untuk berada di dalam rumah paman dan bibinya yang terlalu sederhana.
Walaupun tidak menyapa Alea tapi tuan Anmar langsung tersenyum padanya dan Alea membalas dengan anggukan pelan karen pita suaranya tiba-tiba juga jadi kaku.
Sebenarnya Alea lebih suka berada di kamar, tapi bibi Rosita memaksanya ikut duduk bersama mereka untuk sekedar mendengarkan.
Tuan Anmar duduk tepat menghadap ke arah Alea. Meskipun mereka saling berjauhan tapi pria itu tetap bisa melihat Alea sewaktu-waktu kapanpun dia ingin tanpa perlu di sadari lawan bicaranya.
Alea tidak berani berpaling meskipun telapak tangannya berkeringat dingin dan dadanya terus bergelepar hanya dengan sesekali sengaja diawasi seperti itu.
Sebenarnya kemarin paman-paman Alea sudah saling bicara melalui telepon, jadi kedatangan tuan Anmar malam ini sebenarnya hanya untuk formalitas. Pria itu datang dengan membawa sebuah koper yang tadinya Alea juga tidak tahu apa isinya, tapi tuan Anmar menyebutkannya sebagai mahar untuk Alea.
"Aku tidak keberatan menunggu dua bulan lagi sampai usia Alea genap dua puluh tahun dan tidak apa-apa jika Alea ingin pernikahannya dilakukan diam-diam," kata tuan Anmar sambil melihat sebentar pada gadis muda yang sedang duduk di samping bibinya.
Alea cantik dengan rambut agak kecoklatan yang tergerai lembut menyentuh punggung. Gadis muda yang tidak terlalu banyak gaya tapi cantik dan sopan, siapapun pasti senang melihatnya.
"Kami setuju kapanpun tuan Anmar menginginkan pernikahannya," kata paman Kamir.
Tidak tahu kenapa Alea merasa paman-pamannya juga ikut gugup, padahal tuan Anmar justru hanya sendirian datang kemari.
"Apa ibu Alea juga tinggal di sini?" tiba-tiba tuan Anmar malah menanyakan ibu Alea.
Sang paman mengangguk dan bibi-bibinya tersenyum.
"Alea, apa boleh aku melihat ibumu?" kali ini tuan Anmar bertanya langsung pada Alea.
Alea sendiri masih bengong tapi bibi Rosita yang segera menimpali.
"Ya, tentu Tuan silahkan."
Bibi Rosita langsung menyikut Alea agar segera berdiri untuk menemani tuan Anmar menemui ibunya.
"Mari ... " Alea sempat tergagap sebentar "Mari Tuan Anmar saya antar."
Alea baru sadar setinggi apa pria itu ketika berdiri tepat di sampingnya. Tuan Anmar berjalan mengikuti Alea ke kamar ibunya yang terletak di belakang dekat dapur.
"Ibu sudah tidur." Alea membukakan pintu mengijinkan tuan Anmar untuk melihat.
Siapapun pasti akan prihatin melihat kondisi ibu Alea.
"Mungkin lain kali saja aku tidak ingin mengganggu istirahatnya."
Tuan Anmar beralih memperhatikan Alea yang masih sama-sama berdiri di samping ranjang ibunya.
"Terima kasih kau sudah setuju." kata tuan Anmar tiba-tiba.
Alea sangat gugup karena mereka hanya berdua dan Alea ternyata cuma bisa mengangguk.
Tuan Anmar juga membelai helaian rambut Alea dan menyisipkannya ke belakang telinga. Pria itu tidak bicara apa-apa lagi kecuali tersenyum dan mengajak Alea kembali ke depan dengan menggandeng tangannya.
Alea tidak berani protes saat digenggam seperti itu, tapi untung kemudian tuan Anmar melepaskannya sebelum mereka berdua kembali muncul di depan paman serta bibinya.
Tuan Anmar juga langsung berpamitan dan tidak lupa berpesan kepada paman Kamir untuk menjagakan Alea, seolah gadis itu memang sudah menjadi miliknya.
Baru kemudian Alea sadar jika mahar yang ditinggalkan di atas meja itu sudah ibarat tebusan untuk dirinya. Alea memang akan segera menjadi milik pria itu dan Alea yakin dirinya tidak akan bisa tidur lagi malam ini karena memikirkannya.
Bahkan Alea sudah tidak perduli sama sekali ketika paman dan bibinya terkejut melihat isi koper yang baru mereka buka.
"Lihatlah Alea bertapa murah hati tuan Anmar kepada kita."
Bibi Rosita menunjukkan satu koper penuh yang berisi uang dan tidak tahu kenapa tiba-tiba Alea merasa dirinya seperti anak gadis yang baru dijual meskipun mereka semua menyebutnya sebagai mahar.
Alea sedang membatu kedua sepupu kembarnya untuk mengerjakan tugas sekolah ketika bibi Rosita ikut menengok ke dalam kamar untuk memangilnya. "Alea, ada temanmu." "Siapa Bibi?" tanya Alea yang baru mendongak dari lembar buku paket yang sedang dia baca. "Anak laki-laki tuan Anmar." Seketika Alea langsung menutup buku di pangkuannya dan bergegas berdiri untuk keluar mengikuti bibinya. "Kak Troy," sapa Alea ketika melihat Troy masih berdiri di ambang pintu dan Alea tetap saja terkejut dengan kedatangan tiba-tibanya. "Maaf aku tidak memberitahu jika akan ke mari." "Tidak, apa-ap
"Alea kau jangan ke mana-mana, hari ini tuan Anmar akan ke mari."Bibi Rosita baru kembali dari arisan keluarga ketika membawa berita itu untuk Alea."Tuan Anmar ingin mengajakmu ke luar," lanjut bibi Rosita.Alea belum selesai dari keterkejutannya yang pertama dan sekarang sudah terkejut lagi karena akan di bawa keluar oleh tuan Anmar."Mau ke mana, Bibi?" tidak tahu kenapa tiba-tiba Alea panik meskipun tidak berani menunjukkan kecemasannya."Aku juga tidak tahu, pamanmu juga cuma berpesan seperti itu."Bibi Rosita sudah kembali pergi dan masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.
Tuan Anmar sudah kembali memegang kemudi dan mulai menjalankan mobilnya. Mobil mahal berbodi kokoh itu mulai berjalan meninugalkan gang komplek menuju jalan utaman sehingga tidak terlalu terlihat mencolok lagi. Alea sempat menyibukkan otaknya dengan berpikir jika mobil tersebut mungkin dilapisi baja anti peluru karena bodinya sangat tidak biasa, gelap tapi tetap elegan dengan nuansa yang sulit untuk dijelaskan. Tak mengherankan jika Troy juga memiliki selera yang tinggi mengenai kendaraannya, ibarat buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Untuk sekian kalinya Alea menyimpulkan jika mereka mirip, bukan cuma secara fisik tapi juga gaya.Tiba-tiba ponsel tuan Anmar yang terletak di atas dashboard menyala dan Alea langsung memperhatikan tampilan wallpaper. Sepertinya itu foto tuan Anmar dan putranya beberapa tahun lalu ketika Troy mungkin masih berumur belasan tahun. Mereka sedang tersenyu
Karena semalam Alea tidak juga membuka pesannya, pagi harinya Troy kembali mengirim pesan ke pada Alea yang isinya masih sama saja. [Alea] cuma seperti itu lagi. Seolah Troy hanya sekedar ingin memanggil Alea agar gadis itu mau menoleh dan menghiraukan pesannya, tapi ternyata tidak sama sekali. Alea tetap tidak membuka pesan darinya meskipun Troy melihat jaringannya aktif. Kemarin bibi Rosita juga mengatakan kepada Troy jika Alea pergi dengan teman laki-laki, jadi mau tidak mau Troy mulai berpikir mungkin ia sedang mengganggu Alea. Troy kesal merasa seperti itu, Troy tidak pernah ingin mendekati seorang gadis seperti dirinya ingin mendekati Alea. Tapi jika benar Alea sudah memiliki seseorang, Troy juga tidak ingin menjadi pemuda brengsek yang tiba-tiba mengganggu hubungan mere
"Alea, maaf aku kemari." Alea masih kaget karena melihat Troy sudah berdiri di depan pintu. "Kuharap aku tidak mengganggumu." "Kenapa, Kak?" Alea bertanya pada Troy yang terlihat gugup dan risau. "Besok aku akan pergi dan aku hanya ingin melihatmu." Troy belum bicara lagi kecuali hanya menatap Alea yang juga jadi kelu menyaksikan kegugupannya. "Aku, menyukaimu Alea. " Akhirnya kata-kata itu terucap juga dari bibir Troy. Alea sudah hendak bicara ketika Troy lebih dulu mencegahnya. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa." Troy
Ini adalah kali pertama Alea mengunjungi ayahnya sejak penangkapannya sekitar dua bulan lalu. Bahkan Alea tidak pernah mau mengikuti pergelaran sidang ayahnya. Tapi sebenci apapun Alea dengan semua perbuatan ayahnya tapi pria itu tetap ayahnya dan Alea tetap harus memberitahunya mengenai rencana pernikahannya. Alea diijinkan bertemu dengan ayahnya di sebuah ruangan tiga kali tiga meter yang hanya memiliki pintu tanpa ventilasi dan jendela. Hanya ada satu meja dan dua kursi metal saling berhadapan yang kali ini mereka duduki masing-masing. Sebenarnya Alea juga tidak tega ketika menatap ayahnya yang sekarang terlihat lebih kurus, sayu dan seolah tanpa gairah hidup lagi. Wibawa yang dulu sering ikut Alea banggakan dari sosok ayahnya seolah telah ikut lenyap. "Maafkan aku Alea." Ayah Alea hendak meraih tangan putrinya tapi Alea menariknya
Ternyata tuan Anmar tidak membawa Alea pulang, tuan Anmar membawa Alea kesebuah hotel paling besar di pusat kota yang merupakan salah satu milik tuan Anmar sendiri. Alea tidak pernah membayangkan dirinya akan dibawa oleh seorang pria ke hotel seperti ini. Karena jika membandingkan penampilannya dan setelan rapi yang dipakai tuan Anmar, Alea jadi benar-benar terlihat seperti gadis tidak benar yang suka dibawa pria-pria mapan ke hotel.Sejak keluar dari mobil, tuan Anmar juga terus menggenggam tangan Alea tanpa pernah melepaskannya sedikit pun. Alea merasa benar-benar sangat canggung, bukan hanya karena penampilannya yang tidak cocok utuk berjalan di samping tuan Anmar, tapi karena semua orang yang kali ini juga sedang memperhatikannya.Beberapa karyawan hotel yang berpapasan dengan mereka ikut berhenti sebentar dan meny
Tubuh Alea terasa kebas dan masih malas bergerak, dia terbangun di antara gulungan selimut kusut yang cuma melilit tubuh sekenanya. Alea belum mau mengingat apapun karena rasanyeri di pangkal pahanya terasa lebih dominan sekarang. Alea coba berinsut sedikit untuk menggeser pinggulnya ketika menyaksikan layar ponselnya berkedip-kedip dan segera meraihnya dari atas nakas. Muncul beberapa notifikasi pesan baru yang beruntun. [Alea...] [Alea...] [Alea...] [Jika kau tetap tidak menoleh aku akan memanggilmu lagi] Alea masih sama sekali belum pulih dari apa yang dia alami tadi malam dan pagi-pagi ia sudah harus kembali melihat pesan dari Troy yang mendebarkan jantungnya. Pesan sederhan