Sebelum Kecelakaan, Bandung, Malam BarbequeMenyenangkan sekali menghabiskan waktu dengan teman. Melakukan banyak game sampai hanya berbicara santai dan berseloroh bodoh. Sesekali, mereka juga membicarakan masa depan dan setelahnya --yang semula ceria-- atmosfer berubah menjadi muram karena mereka semua juga masih bingung hendak menjadi apa, menjalani hidup bagaimana. Walau tentu saja, itu tak lama. Karena detik berikutnya, Edo dan Sesil akan mencairkan kembali suasana.Kyra menikmati waktu liburannya. Karena berkat pergi dengan mereka semua, Kyra jadi lupa akan perasaannya yang membingungkan beberapa waktu lalu. Soal ia yang merasa dongkol sekali hanya karena sebaris percakapan Nona dan Ditto."Kayaknya kurang lengkap deh kalau acara liburan kita tanpa dilengkapi dengan permainan yang satu ini." Tiba-tiba sekali, di tengah acara barbeque itu, Edo yang nampak malas dan tiduran di paha Sesil, menyuarakan sesuatu.Teman-teman yang lain mulai sibuk beradu pandang. Mereka curiga dengan ka
Kata pepatah, sebaik-baiknya menyimpan bangkai, lama kelamaan pasti akan tercium juga. Sebaik-baiknya ia menyimpan sesuatu, pasti akan datang hari di mana --mau tidak mau-- itu terungkap juga.Hari ini --hari yang tidak pernah disangka-sangka oleh Kyra-- datang tanpa pemberitahuan. Hari di mana satu rahasia besar miliknya diketahui orang lain. Sial sekali. Yang tahu justru orang yang paling ia harapkan untuk selamanya tidak tahu.Laki-laki itu, tiba-tiba sekali, tanpa mengabari sebelumnya, sudah berdiri di ambang pagar. Melihat semua yang terjadi di sana --antara dirinya dan Ditto-- dengan kedua matanya sendiri. Dan Kyra tahu, laki-laki itu sedang kecewa sekarang."Ikri." Kyra setengah bergumam, menyebut nama itu. Tapi tubuhnya --yang terkejut-- justru menjadi kaku. Sulit bergerak apalagi mendekat. Ia masih memapah Ditto meski pandangannya sudah sepenuhnya bertumpu pada Ikri."Apa-apaan ini?" Ikri menatap Kyra dan Ditto bergantian. Terlebih pada lengan Kyra yang memapah lengan Ditto.
CHAPTER 23 Enam Bulan Sebelum Kejadian, Kelulusan SMP Laki-laki paruh baya dengan tubuh tambun itu berjalan cepat. Ia mengejar, napasnya bahkan sampai ngos-ngosan. Ia sudah memanggil, lebih dari tiga kali. Sayangnya, telinga laki-laki muda dengan kemeja flanel cokelat itu tertutupi headphone. Sepertinya suara si laki-laki paruh baya akhirnya hanya hilang dibawa angin dan tidak sempat sampai. "Nak Ditto, tunggu." Barulah saat tepukan itu berhasil mendarat di bahunya, si laki-laki muda berkemaja flanel berhenti. Berbalik. Menatap dengan kernyit heran, karena tetangga depan rumahnya, setengah menunduk, mengatur napas yang terengah-engah. "Pak Wahid?" Ditto membantu laki-laki paruh baya itu untuk berdiri tegap. "Ada apa?" "Saya ... dari tadi manggilin kamu." Pak Wahid --tetangga depan rumah Ditto-- berbicara dengan napas yang masih belum teratur. "Mau minta tolong. Penting sekali." Ditto mengangguk. Ia lantas mengajak tetangganya itu untuk duduk di taman komplek. Membicarakan hal p
"Aku nggak apa-apa, Ra. Aku masih hidup." Sebaris kalimat yang terasa ringan itu keluar dari mulut laki-laki yang ada di hadapannya. Padahal, mata sembab Kyra saja bisa melihat. Tidak ada yang baik-baik saja di diri laki-laki itu. Luka-luka, ruang operasi, juga kaki dengan gips. Sisi mana yang bisa disebut sebagai nggak apa-apa? Kyra seharusnya berhenti menangis, saat laki-laki itu jelas sudah tersadar dan melihat semuanya. Wajah jeleknya. Air matanya. Sedu sedannya juga. Tapi kenyataannya, saat laki-laki itu mengatakan bahwa ia baik-baik saja seraya mengusap puncak kepalanya, justru semakin banyak air mata yang berjejalan meminta keluar. Aneh. Memang aneh. Tapi Kyra tidak tahu mengapa semuanya terasa aneh. "Jangan nangis, Ra." Bagaimana bisa Kyra tidak semakin menangis kalau laki-laki itu mengatakan jangan menangis dengan suaranya yang parau dan matanya yang sendu? "Makanya kalau bawa mobil itu hati-hati." Omelan. Kyra mengalihkan geletar aneh yang merongrongnya. Memperli
Waktu berjalan seperti kukang. Lambat sekali dan menyebalkan. Ia sudah melihat jam yang berada di atas pintu itu berulang kali, namun masih segitu-segitu saja sejak tadi. Padahal tangisannya sudah banyak. Padahal debar-debar jantungnya sudah menggila. Ia memejamkan matanya lagi. Kali ini, karena terlalu banyak menangis, pening merambat cepat di kepalanya. Mungkin juga karena sejak semalam, ia tidak tidur sama sekali Oh ayolah, siapa yang dapat tidur disituasi semacam ini? Ia menunggu laki-laki itu datang, dengan gelisah, dengan mata yang masih terus mengawasi jendela --yang mengarah ke pintu masuk. Ia tidak bisa tidur sekalipun jarak yang diperlukan dari Jakarta menuju Bandung hampir 3 jam lamanya. Lalu saat-saat menunggu yang seharusnya berakhir dan ia tenang karena dibawa kembali pulang ke rumah oleh laki-laki yang ia tunggu, kenyataan menampar dengan keras. Laki-laki itu tidak datang. Tapi bukan karena ia ingkar janji. Tapi karena ia harus berjibaku antara hidup dan mati.
Sebelum Pernikahan, 2023 Akhir Rasa khawatir orang tua terhadap anak memang tidak memiliki batas waktu. Pada yang kecil, pada yang sudah remaja, maupun pada mereka yang telah beranjak dewasa. Rasanya, usia anak yang terus bertambah tidak menjadi penghalang bagi orang tua untuk merasa tidak khawatir. Apakah si anak sudah makan? Apakah si anak memiliki lingkungan yang menyenangkan? Apakah si anak baik-baik saja? Bahagia? Lumrah. Semua orang tua begitu. Termasuk Mama Mona juga. "Mas, maaf kalau ucapan Mama nanti akan terasa menyebalkan, ya. Maaf sekali." Ditto menoleh, melihat pada mamanya yang nampak salah tingkah. Cangkir teh keramik berwarna biru laut yang ada di tangan mamanya bahkan nampak digenggam dengan kuat. Lalu Ditto menghentikan pekerjaannya di laptop. Fokus kepada sang mama. "Nggak apa-apa. Kenapa Ma?" Mama Mona meletakkan cangkir itu di meja. Ia lantas meraih jari-jemari sang anak untuk digenggamnya kuat. Ia lalu tersenyum namun kikuk. "Tahun ini, Mas Ditto akan m