Share

SURAT DARI ZAIN

Sarapan sudah aku siapkan juga bekal untuk Bang Adnan dan Zain. Bang Adnan dan Zain tengah melakukan olahraga kecil di halaman rumah.

Setelah membersihkan peralatan masak yang tadi aku gunakan, rumah juga sudah rapi aku putuskan untuk memandikan Zafran yang tengah asyik bermain dalam strollernya.

Zafran sudah rapi, aku panggil Bang Adnan dan Zain untuk bersiap, setelah itu baru sarapan, aku pun akan membersihkan diriku dulu.

"Abang, Zain, sudah siang. Ayo, bersiap?

Abang Adnan dan Zain berlari menghampiriku dan Zafran.

"Ganteng Abi, sudah wangi rupanya," ucap Bang Adnan.

"Iya dong, memang Abi masih asem."

Aku meninggalkanya dengan sedikit ledekan. Zain sudah berlalu untuk bersiap. Tak berapa lama Zain turun sudah mengenakan jaz dari pesantren.

"Zain, Umi titip Zafran, ya? Umi mau mandi sebentar."

"Iya, Umi."

Zain mengambil Zafran dari gendonganku. Aku meninggalkannya dan bergegas kekamar untuk mandi. 

Kulihat Bang Adnan tengah mematut dirinya, aku melewatinya begitu saja langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Mandi terburu-buru takut Zain akan kelamaan menungguku. Mematut diri di cermin dengan baju rumahan seperti ibu-ibu biasanya. Kulihat Bang Adnan tengah membaca buku. Melihatku yang sudah selesai, Bang Adnan menghampiriku. Seperti biasa dia memelukku dari belakang mengecup pucuk kepalaku.

"Dik, bagaimana kalau kita ikut mengantar Zain sampai Kairo besok?"

"Terserah Abang saja," jawabku singkat.

"Atau kamu ingin kita ke Negri Sakura? Seperti keinginanmu dulu?"

Aku terdiam, dulu aku memang bermimpi pergi bersamanya ke sana. Menghabiskan waktu berdua di bawah guguran bunga Sakura, tapi sayang impian yang seharusnya kau hadiahkan untukku lebih dulu akan kau berikan keorang lain.

"Tidak lah, Bang. Aku sudah tak menginginkan itu. Aku malu dengan anak-anak kita, tak patut lagi rasanya kita berbulan madu."

"Kita bersama anak-anak, Sayang."

Aku hanya terdiam membayangkan dirinya akan bersenang-senang dengan maduku yang ia rahasiakan.

"Ayo kita sarapan, Bang. Nanti kesiangan."

Bang Adnan mengikutiku turun untuk sarapan.

Kami sarapan bersama, Bang Adnan selalu menyuruhku makan terlebih dulu sedangkan ia bermain bersama Zafran, begitu juga saat Zain masih kecil.

"Zain harap keluarga kita akan tetap seperti ini,"

sontak ucapan Zain membuat aku tak lagi berselera makan. Bagaimana bisa kaca yang sudah pecah menyatu kembali? Maafkan Umi, Nak. Jika nanti Allah lebih menyetujui perpisahan kami.

"Tentu saja, Zain. Kita akan selalu seperti ini,"

Bang Adnan menjawab tanpa melihatku ataupun melihat Zain.

Setelah selesai sarapan aku menyiapkan segala keperluan Bang Adnan dan Zain, koper mereka sudah Bang Adnan masukan bagasi, aku menyerahkan bekal mereka.

"Umi, Zain tinggal, ya? Umi baik-baik di rumah jangan terlalu memikirkan apapun. Zafran ganteng abang titip umi, ya."

Aku mengulurkan tangan yang disambut Zain lalu ia menciumnya.

"Abang berangkat ya, Dik. Baik-baik di rumah, Abang upayakan pulang lebih cepat."

Aku mengangguk menanggapi ucapan Bang Adnan. Bang Adnan mengulurkan tangannya yang kemudian kusambut dan kucium. Ia memeluk dan mengecup pucuk kepalaku.

Aku melambaikan tangan kepada dua lelakiku, 

yang mulai menjauh dari halaman rumah.

Setelah semuanya pergi, aku tinggal seorang diri di rumah. Aku bergegas menidurkan Zafran dan merapikan meja makan bekas sarapan kami tadi. Setelah semuanya selesai aku kembali naik ke atas hendak merapikan tempat tidur Zain.

Saat hendak merapikan buku-bukunya, aku melihat sebuah surat bertuliskan 'Untuk Umi' aku membuka perlahan surat tersebut.

"Umi, maafkan Zain. Zain tak pernah membicarakan ini kepada Umi. Zain tau sepandai-pandai menyimpan bangkai pasti akan tercium juga baunya. Tiga tahun lalu saat Zain tengah cuti dan menginap di tempat nenek, abi datang menjemput. Zain mendengar pertengkaran abi dan nenek.

Nenek menginginkan abi menikah kembali dengan seorang wanita, tetapi abi menolak. Hingga nenek mengancam tak akan pernah berbuat baik ataupun menerima umi. Zain tidak tau apa arti semua itu, Umi. Zain benar-benar tidak mengerti. Yang Zain tau bagaimana cara Zain menjaga perasaan umi, sampai kemarin Zain melihat umi tengah memegang sebuah foto dan tiket. Mungkin ini sudah waktunya umi tau semuanya, Zain tidak mengerti apa-apa, Umi. Zain pikir jika Zain tetap diam tak akan terjadi apa-apa dengan keluarga kita. Umi akan tetap bahagia, abi pun masih tetap menyayangi kita, tetapi melihat kepedihan umi, Zain sekarang mengerti. Jika dulu Zain memberitahu umi, mungkin umi tak akan sesakit ini. Maafkan Zain, Umi. Zain sangat mencintai umi"

Aku menagis membaca surat dari Zain. Apakah penghianatan ini sudah berjalan begitu lama? Ya Allah, andai itu benar, kenapa Bang Adnan tega melakukan itu semua kepadaku. Aku menangis hanya bisa menagis. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mengambil ponselku, membuka pesan berwarna hijau, ternyata dari Mbak Naumi.

[Kinan, maafkan Aku. Aku tak dapat membantumu menjaga Zafran, mertuaku masuk rumah sakit. Aku tak tega jika harus membawa Zafran ke rumah sakit. Kamu sabar sebentar, yang penting aplikasi pelacak yang Aku katakan kepadamu semalam sudah kamu pasang keponsel Bang Adnan. Nanti kalau Aku pulang kamu bisa menyusulnya.]

[Iya, Mbak. Terimakasih atas semuanya.]

Kukirim balasan kepada Mbak Naumi.

Semalam aku bercerita melalui chat kepada Mbak Naumi. Aku tak punya teman yang baik selain dia. Dia membantuku mencari informasi tentang paket honeymoon di sana. Anak satu-satunya sudah berkeluarga dan tinggal di Malaysia sehingga ia sangat sayang dengan Zafran. 

Aku beruntung pasporku masih aktif jadi tak begitu ribet harus mengurusnya lagi.

Aku kembali ke kamar Zafran melihatnya masih tidur terlelap. Air mata kembali menetes, sakit,sesak. Bagaimana mungkin? 

Bagaimana bisa?

Ingin aku tanyakan semuanya kepada Bang Adnan. Haruskah nanti aku mencakar wajahnya? Menjambak rambutnya?

Ya, semua bermula dari keluarga Bang Adnan. Merekalah perusak rumah tanggaku, lalu wanita itu, siapa dia mau menjadi madu? Apakah dia tidak tau jika haram mengambil milik orang tanpa ridho pemiliknya?

Kugendong Zafran yang masih terlelap. Membawanya ke rumah bunda. Kuputuskan untuk menginap di sana. Aku mencari tiket pesawat melalui booking online. Kupersiapkan segala keperluan Zafran dan aku sendiri. Setelah dirasa cukup, aku putuskan untuk berangkat ke bandara Soekarno Hatta.

Aku menunggu dengan hati berdebar, kulihat ponsel, ternyata Bang Adnan belum menghubungiku. Aku menguatkan tekatku apapun yang terjadi aku harus kuat.

Waktu penerbangan sudah tiba. Sebelum masuk bandara aku membooking tiket ke Jepang. Berapapun harganya, aku tak peduli. Untuk apa semua uang ini jika kebohongan tak terungkap. Setelah penerbangan kurang lebih 1 jam 15 menit aku sampai di Bandara Solo atau Adi Sumarmo.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Halimah Tuldsadiyah Halimah
setengah setengah setiap aku membaca enyah
goodnovel comment avatar
Halimah Tuldsadiyah Halimah
ko nopel enya ga tamat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status