Tiga hari berada di rumah Bunda Salamah mebuat pikiranku sedikit tenang. Hari-hari aku hanya bermain dan berbagi cerita dengan anak yatim. Menyumbangkan begitu banyak buku-buku untuk mereka, dan membaca banyak buku dengan mereka. Selama tiga hari aku belajar sedikit demi sedikit bahasa Inggris. Mbak Naumi menawarkan bantuannya ketika aku hendak ke Jepang nanti sebagai penerjemah melalui telepon.Hari ini aku akan berangkat ke Jepang akupun sudah memesan tiket dari Jepang kembali ke Indonesia. Zafran aku titipkan ke bunda. Beruntung, karena Zafran anak yang anteng jadi aku tak begitu khawatir."Bunda, aku titip Zafran. Aku tidak lama setelah tau semuanya aku akan kembali.""Kamu hati-hati, Nak. Berdoa sama Allah meminta perlindungan."Bunda memeluku."Iya, Bunda. Assalamualaikum?""Walaiukum sallam."Aku terbang langsung dari solo ke Tokyo. 12 jam perjalanan aku sampai di Tokyo. Aku melihat aplikasi pelacak, mencari di mana Bang Adnan berada sekarang, ternyata dia ada di Yoyogi Park.
Sampai di bandara aku menuju ruang Arrivals, kemudian melakukan Check-in untuk melakukan pendaftaran ulang. Setelah itu, aku dipersilahkan naik pesawat kemudian memberikan kartu pengenal. Aku lega, karena sudah berada di dalam pesawat. Saat pesawat hendak lepas landas aku kembali melihat ponsel yang belum dimatikan. Kulihat pesan-pesan dari Bang Adnan. Menghapusnya begitu saja dan tak ingin tahu apa yang ia kirimkan. Selama dua belas jam perjalanan aku hanya termenung mencoba mengistirahatkan tubuh dan otak, tetapi mata tak mau terpejam. Aku memasang headset mendengarkan lagu-lagu sholawat hingga tak sadar dalam tangis aku tertidur. Aku bermimpi Bang Adnan akan mengambil anak-anak jika aku tak menerima istri barunya. Hingga dalam tidur aku menangis sampai sesak, beruntung ada wanita baik yang duduk di sebelahku kemudian membangunkanku."Apakah Anda mimpi buruk?" kata wanita itu bertanya. Setelah itu ia memberikan aku segelas air. Aku hanya mengangguk."Takdir ada di tangan Tuhan, t
Kupandangi jalanan ramai orang berlalu lalang, hingga mobil yang aku sewa sampai depan rumah. Aku melihat Bang Adnan tengah duduk di kursi teras menunggu dengan raut wajah khawatir. Aku turun dari mobil memberikan selembar uang kertas berwarna merah kepada sopir, Bang Adnan yang melihatku kemudian menghampiri."Dik, kamu dari mana malam-malam begini? Di mana Zafran?"Aku tak menjawab ucapannya, berlalu meninggalkan ia menuju ke rumah Mbak Naumi. Bang Adnan mengekor mengikutiku ke rumah Mbak Naumi."Assalamualaikum, Mbak?" Kuketuk pintu rumahnya."Waalaikumsalam, sebentar,"terdengar jawaban salam dari dalam rumah Mbak Naumi."Sudah sampai, Kinan? Zafran sudah tidur sedang dijaga Bang Leo. Sebentar aku jemput, ya?""Terimakasih, Mbak."Mbak Naumi tersenyum dan meninggalkan kami untuk mengambil Zafran.Tak berapa lama ia datang sambil menggendong Zafran yang tengah terlelap."Biar Abang yang gendong, Dik"Lagi-lagi aku lebih memilih diam, Mbak Naumi menyerahkan Zafran kepada Bang Adnan,
Sayup-sayup kudengar Bang Adnan mengetuk pintu dan memanggilku. Kulirik jam dalam ponsel ternyata sudah subuh."Dik, bangun. Ayo shalat Subuh, Dik?"Aku tak menjawabnya dan duduk di pinggir ranjang."Dik, apa belum bangun?" Bang Adnan kembali bertanya dari luar. Aku beranjak membuka pintu, terlihat Bang Adnan membawa sebuah nampan berisi susu dan roti."Shalat dulu, Dik. Minum susunya, badanmu terlihat sangat kurus."Aku melangkah meninggalkannya begitu saja, masuk ke kamar dan bersiap untuk mandi. Setelah selesai mandi aku putuskan untuk menyusul Bang Adnan di ruang shalat. Terlihat ia sudah rapi bersiap hendak melakukan ibadah, aku berdiri di belakangnya tanpa ada pembicaraan. Seberapa bencinya aku, dia masih imamku. Di hadapan Allah aku tak boleh membencinya.Setelah shalat selesai, aku masih mencium tanganya meskipun aku tak mengeluarkan sepatah kata, aku tetap menyambut uluran tangannya.Saat hendak menarik tanganku, Bang Adnan memegangnya dengan erat. Menatap mataku sontak aku
"Kinan!"Aku yang tengah menidurkan Zafran kaget mendengar suara teriakan ibu mertua dari luar. Bang Adnan sedang tak berada di rumah. Ia tadi izin hendak mengantar Lulu periksa ke dokter. Meskipun sakit hati ini, aku tetap memberinya izin. Ia bilang hanya ingin menjadi ayah yang baik, aku tak peduli. Toh aku hanya mengulur waktu untuk menceraikannya, menyusun rencana agar masa depan anak-anakku tak ada ancaman."Kinan! Kinan! Buka pintunya menantu durhaka kamu!" serunya tak henti dan terus mengetuk pintu dengan keras.Aku tidak tahan mendengar teriakan ibu memilih mengalah dan membukakan pintu."Astaga, Ibu yang terhormat bisakah Ibu biasakan berucap salam. Aku takut jika ada reporter yang lewat kemudian merekam aksi tidak terpuji Ibu, nanti mencoreng nama baik putra tersayang Ibu," sindirku."Halah, banyak bicara kamu! Maksudmu apa menyuruh Adnan menceraikan Lulu setelah ia melahirkan? Mau membuat Ibu malu di depan keluarganya?""Lebih baik malu di depan manusia daripada di depan tu
Ponselku berdering panggilan dari asrama Zain tinggal. Aku mengatur nafas agar tak terdengar tengah menangis. Kuucapkan salam setelah menggeser tombol ponsel berwarna hijau. Jawaban salam terdengar dari seberang telepon serta Zain yang tak sabar menanyakan kabar."Alhamdulillah, Zain. Umi rindu, Nak? Zain, apa kabar, Sayang?" jawabku."Zain sehat, Umi. Bagaimana dengan Umi dan Abi?""Alhamdullillah, Umi dan Abi sehat, Nak.""Alhamdulillah. Umi, baik-baik saja, kan?""Iya, Nak. Umi tidak apa-apa.""Maaf, Umi. Pasti sulit menghubungi Zain?""Tidak apa-apa, Nak. Yang penting Zain di sana jaga diri baik-baik.""Iya, Umi. Kalau begitu Zain tutup. Zain akan telpon lagi kalau ada waktu senggang.""Iya, Sayang. Assalamualaikum.""Walaikumsallam, Umi."Aku kembali terisak membayangkan bagaimana hancurnya hati anakku ketika pulang mendapati abi dan uminya telah berpisah, tapi mau bagaimana lagi aku tak mungkin melanjutkan pernikahan yang sudah tak sehat ini. Lebih baik aku mengalah, berharap Za
Pintu maaf kini tertutup rapat. Kesalahan yang mendalam tertinggal jauh dalam jejak perjalanan. Semua yang terjadi tak mungkin bisa diulang kembali, hanya kata maaf atas khilaf yang kukulakukan dapat kuucapkan.Tujuh belas tahun bersama akhirnya aku gores dengan luka hati seorang wanita yang mampu menemani kala hidupku hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain. Ia dengan sabar dan lapang dada menerima semua kekuranganku, tapi semua harus berakhir karena kebodohanku.Semua berawal dari pertengkaran dengan ibu yang meminta aku menikahi kembali anak temannya, dengan alasan ia sudah berjanji ketika ayah masih hidup ibu telah menjodohkan kami terlebih lagi dia seorang janda. Ibu menggunakan dirinya sebagai kelemahanku untuk mengikuti semua egonya.Bukan aku langsung menerimanya kembali. Aku sudah menolak, tetapi kegigihan ibu untuk membuatku rujuk dengan wanita itu akhirnya membuat hatiku luluh. Pun ibu berjanji setelah aku menikahi Lulu ia akan menyayangi Kinan istriku. Akhirnya aku da
Aku berlari mencari ruang rawat Kinan, rasanya tak sabar ingin menimang putra kami. "Maafkan Abang, Dik. Semalam ponselnya mati, Abang baru membaca pesanmu pagi tadi.""Tidak apa-apa, Bang. Beruntung ada Mbak Naumi dan Mas Leo.""Terimakasih Mas, Mbak, sudah menolong istri saya," ucapku pada mereka yang telah menemani Kinan."Sama-sama, Bang. Kalau begitu kami pulang dulu."Setelah mereka pulang, Kinan terus memandangiku yang tengah mengadzani putra kami, membuat aku sedikit gugup dan salah tingkah.Tiba-tiba Kinan bertanya membuatku sedikit kaget."Abang, kapan mencukurnya? kok, sudah ganteng?"Aku harus mencari alasan apa? Karena kemarin aku pikir akan di tempat Lulu satu minggu jadi aku putuskan untuk memberikan Lulu kesempatan seperti kebiasaan Kinan. Akhirnya aku menjawab asal pertanyaan Kinan,"Em... Ini... Kemarin Abang mampir ke tukang potong jadi terpaksa Abang cukur sekalian karena sudah risih.""Oo, begitu," Kinan menjawab begitu saja.....Setelah menemani Kinan dua hari