Share

RAIHAN MIRIP ABI

Kami bercanda ria hingga sore. Aku harus ikut tersenyum menutupi perasaanku yang sakit ini, tak apa ini demi anakku dan juga membongkar siapa yang ikut menutupi semuanya.

Ketika tengah asyik mengobrol ibu datang bersama Mbak Zahra juga Raihan anak angkatnya yang baru berumur dua tahun.

"Assalamualaikum?" ibu dan Mbak Zahra mengucap salam.

"Walaikum sallam," kami menjawab salam bersama.

"Biar Abang buka."

Bang Adnan membukakan pintu untuk ibu, aku tetap duduk diruang tv bersama Zain.

"Wah, keponakan ganteng Abi." Bang Adnan mengambil Raihan dari gendongan Mbak Zahra.

Memang Bang Adnan membiasakan keponakannya itu dengan sebutan abi. Ibu bilang kasihan ia tak punya Ayah sementara suami Mbak Zahra yang seorang pelaut pulangnya setahun sekali. Aku sih tak peduli, terserah saja yang penting tidak mengusikku.

"Kok, Raihan mirip Abi, ya?"

"Uhukkk uhuuuk."

Pertanyaan Zain membuat Bang Adnan yang sedang minum tersedak.

"Kenapa, Bang? Kalau minum pelan-pelan."

"Kamu ini Zain, ada-ada aja. Mana ada Raihan mirip abimu?"

"Tapi kalau dilihat-lihat memang benar loh, Mbak. Tahi lalatnya, alisnya, juga bibirnya mirip Bang Adnan?"

Aku mulai memperhatikan Raihan.

"Halah, kamu ini bilang aja gk suka anakku dekat dengan Adnan!"

"Loh, tante kenapa kesal? Kan umi cuma memberikan pendapat"

Zain mulai membelaku.

"Sudah... sudah! Begini saja jadi ribut!"

Bang Adnan menengahi perseteruan kami.

"Ini minum teh dulu, Bu."

Aku meberikan teh kepada ibu dan mbak Zahra.

Ibu hanya tersenyum sinis sama saja seperti mbak Zahra

"Ada apa, Bu? Tumben sekali ke sini?"

tanya Bang Adnan, karena memang ibu tak pernah ke sini karena membenciku. Dia biasa ke sini jika rindu dengan Zain saja.

"Besok kamu ke Jogja, Nan? Ibu ikut, ya?"

"Untuk apa ibu ikut?"

"Ibu Rindu sama... Em.. ibu ada janji dengan teman ibu yang lama. Kan lumayan kalo sama kamu gak bawa mobil sendiri, mbakmu mana mau."

"Sama Mbak Zahra dan Raihan juga?"

"Ya, iya lah, Nan, Mbak juga kan pengen jalan-jalan."

"Terserahlah."

Ibu tersenyum gembira begitu juga dengan Mbak Zahra.

Aku tidak tau kenapa mereka masih membenciku padalah kami tak semiskin dulu. Aku pun sudah berusaha sekuat tenagaku membahagiakan mereka, tetapi tidak ada benarnya. Jika aku tak memberi aku tak pernah dipandang oleh mereka.

"Ini aku tadi belikan baju untuk ibu dan tas untuk Mbak Zahra."

"Waaaah, gitu dong nyenengin orang tua."

Aku hanya tersenyum. Ibu dan Mbak Zahra membukanya, mereka tampak kegirangan.

"Makasih ya, Kinan. Ibu pulang dulu mau siap-siap biar besok pagi gak repot. Zain besok juga berangkat, ya? Cucu pintar Nenek."

Ibu memeluk Zain dan mengacak rambutnya.

"Iya, Nek. Cuma dua pekan, lepas itu berangkat ke Kairo."

"Alhamdulilah, Sudah besar cucu Nenek. Nenek pamit, ya?"

Zain mengambil tangan ibu dan Mbak Zahra kemudian menciumnya, kami mengantar sampai teras.

Malam ini aku tak bisa tidur membayangkan tiket yang ada di koper Bang Adnan. Haruskah aku mengikutinya?

Aku mengotak atik ponsel. Mencari nama temanku dan bertanya pendapatnya melalui media sosial, kemudian memesan tiket yang sama dengan Bang Adnan melalu penjualan tiket online. Aku sudah memutuskan untuk mengikutinya, hanya mengikutinya pikirku. Dengan tergesa aku menutup ponselku saat Bang Adnan masuk kekamar.

"Sudah tidur Zafran, Bang?"

Bang Adnan yang nenidurkan Zafran tadi, dia selalu seperti itu jika hendak berpergian.

"Sudah, Dik."

Bang Adnan masih memandangiku yang masih setia berada di depan cermin meja rias.

"Ada apa, Bang?"

"Abang rindu, Dik?"

Memang setelah melahirkan Zafran hingga dua bulan aku belum memberikan hak Bang Adnan.

"Tunggulah Abang pulang dari Jogja."

Aku tersenyum manja kepada Bang Adnan, ini adalah jurus andalanku jika meminta atau menolak sesuatu dari Bang Adnan.

Maafkan aku, ya Allah. Jika aku berdosa. Sungguh aku ingin memastikan terlebih dahulu ada apa dibalik ini semua.

Bang Adnan menghembuskan nafasnya, kemudian memelukku dari belakang.

"Maafkan abang, ya, Dik."

"Untuk apa Abang meminta maaf? Adakah sesuatu yang Abang sembunyikan dariku."

"Em, tidak. Abang hanya tak ingin berpisah darimu."

Aku berbalik dan menatap wajahnya kemudian tersenyum manis.

"Kenapa Abang begitu cemas? Allah selalu punya rencana, bukankah abang pernah berkata kepadaku, syukuri apa yang kita miliki jika kita tidak serakah Allah tak akan mengambilnya."

Bang Adnan menunduk entah apa yang ia pikirkan.

"Jika Abang berbuat kesalahan, apakah kamu mau memaafkan Abang?"

Aku kembali berbalik dan menatap cermin.

"Apa yang Abang perbuat? Abang, lelaki sempurna. Tahu ilmu agama, rajin bersembahyang, paham ajaran Allah, kesalahan apa yang akan abang perbuat? Jika abang tau itu dosa tak mungkin akan abang lakukan kan?"

"Agama dan ajaran serta sembahyang adalah kewajiban umat muslim dik, tapi Abang hanya manusia biasa bukan malaikat."

"Aku semakin penasaran apa yang tengah Abang lakukan hingga berfikir aku akan meninggalkan Abang?"

Aku terus memancing Bang Adnan siapa tau dia mau jujur dan keluar dari perbuatan dustanya.

"Tidak ada Dik. Abang takut tak akan menjadi imam yang baik untukmu."

"Semua itu tergantung, Bang. Jika Allah sudah merencanakan semuanya, apalah kita yang hanya menjalankan skenarionya."

Aku mengusap pipinya, mungkin ini akan jadi akhir aku berbuat manis kepadamu bang jika nanti semua terbongkar aku bisa saja meninggalkanmu.

"Sudahlah, Bang. Ayo kita tidur. Untuk apa kita membahas perpisahan yang tidak kita inginkan."

Bang Adnan hanya mengangguk dan mengikutiku berbaring. Ia tidur dengan memelukku sangat erat, sampai aku hendak bangun saja susah, takut membangunkannya. 

Berlahan aku singkirkan tanganya yang masih di pinggangku, dengan sangat hati-hati aku turun untuk mengambil ponsel Bang Adnan. Tak ada pola atau kunci pada layar,begitupun chat media sosialnya, tak ada yang mencurigakan. 

Aku sempat bingung jika benar wanita itu dan Bang Adnan ada hubungan, lalu bagaimana mereka berkomunikasi? Selama di rumah tak ada aku melihat Bang Adnan menjawab telepon dari orang lain kecuali dari pengurus-pengurus acara yang hendak berlangsung atau orang yang mengatur jadwalnya, Mas Seno.

 Lalu tiket itu untuk siapa? Jelas di situ paket perjalanan honey moon. Aku meletakan kembali ponsel Bang Adnan, kemudian berjalan menuju kamar putra-putraku. Aku hanya melihatnya dari balik pintu, kedua putraku tengah tertidur lelap. Aku kembali kekamar untuk melanjutkan istirahatku agar aku punya tenaga untuk mengungkap segalanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Priscilla Djohar
Rentan nya hukum yg mengijinkan mendua, itu sangat merusak kesucian penikahan. Sedangkan perceraian saja ALLAH bebci, apalagi selingkuh. ALLAH tidak bisa di bodohi hanya dengan surat atau kata kata belaka. Rumtang yg diwarnai luka, apapun alasan nya, itu menodai kesucian pernikahan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status