Share

Lauk Tahu dan Tempe

Namaku Keyla. Aku bekerja sebagai seorang ASN di Kantor Kecamatan. Aku diangkat sebagai ASN setelah dua tahun menikah. Sebelumnya aku hanya seorang guru ekonomi di suatu sekolah menengah negeri dekat rumahku. Ya aku sebenarnya Sarjana Ekonomi murni jurusan Akuntansi. Memang aku bukan lulusan sarjana Pendidikan Ekonomi yang memiliki kemampuan mengajar. Tetapi karena sekolah tersebut kekurangan guru ekonomi, jadi aku memutuskan untuk melamar di sana. Alhamdulillah, diterima. Sore dan malam aku menyambi mengajar les privat bahasa Inggris karena aku mempunyai sertifikat bahasa Inggris. Dulu ketika aku SMA sampai kuliah, aku mengisi waktu luangku dengan mengikuti kursus bahasa Inggris. Aku bekerja sebagai honorer dari aku lulus kuliah sampai dua tahun kemudian bang Ardan melamarku. Pertemuanku dengan bang Ardan ketika aku mengurus urusan gaji Guru dan Tenaga Pendidik honerer di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dia bekerja sebagai honorer di sana mengurus bagian PTK (Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Kami terpaut usia dua tahun, tidak terlalu jauh memang. 

Awalnya, ketika pacaran bang Ardan sangat romantis dan royal kepadaku. Aku bukan cewek matre yang ingin ini ingin itu. Tapi bang Ardan yang menawarkanku ingin apa atau jajan apa. Ya walau kehidupan keluarganya tidak terlalu kaya, bisa dikatakan mampu. Kamipun tidak pernah makan di resto mahal. Hanya kafe biasa tempat anak-anak muda nongki pun sudah membuatku senang. Sedangkan aku hanya berasal dari keluarga sederhana, memang aku anak tunggal. Ayahku sudah meninggal ketika aku masih SD. Selama ini ibuku menghidupiku dari berjualan sayur keliling. Tetapi karena usia beliau sudah setengah baya. Jadi beliau membuka kios sayur di depan rumah kami. Hidup yang sederhana membuatku bekerja banting tulang kesana kemari. Hasilnya walau sudah menikah aku mengikuti tes CPNS, alhamdulillah keberuntungan memihak padaku. Walau hingga saat ini aku belum bisa membahagiakan ibuku sepenuhnya. Bang Ardan juga mengikuti tes CPNS. Tapi namanya nasib dan rezeki belum berpihak padanya, dia pun tidak lulus. 

Selang enam bulan berkenalan dan berpacaran, aku dan bang Ardan menikah dengan acara akad dan resepsi sederhana. Hanya mengundang kerabat dan teman-teman terdekat. Kami berpikir lebih baik uangnya di tabung untuk persiapan membeli rumah. Namun hingga saat inipun kami memilih untuk mengontrak. 

Setelah menikah beberapa bulan sikap manis bang Ardan padaku berubah. Asalnya royal tiba-tiba jadi perhitungan. Alasannya uang gaji dia cukup hanya untuk jajan dan bensin. Sedangkan aku di tuntut untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Karena dinilai gajiku semenjak honorer melebihi dia. Saat kuminta sedikit saja untuk nafkah, eh dia malah marah-marah. Okelah selama ini aku diam dan mengalah. Hingga teman-teman dekatku yang tahu mengatai aku bodoh. Tapi aku bukanlah wanita bodoh seperti yang mereka kira. Diam-diam selama ini aku sudah menabung semenjak kuliah dan menyimpan beberapa gram emas batangan di bank, ya walau tidak banyak. Kusimpan baik-baik buku tabunganku di rumah ibu. Karena akan berbahaya bila di simpan di rumahku, bisa-bisa ketahuan bang Ardan. Habislah bisa hartaku yang kukumpulkan dengan susah payah siang malam! 

"Tin tin," suara mobil bang Ardan membuatku tersentak kaget, rupanya aku ketiduran merenungi nasibku yang seperti istri ala sinetron ikan terbang. Oh tidak, aku tidak boleh seperti itu! Jam sudah menunjukkan tengah malam, pukul 12 malam lewat. 

"Dek, bukain dong pintunya," teriak bang Ardan menggedor pintu. 

"Ih dikirain gak pulang, kenapa gak sekalian aja tidur di mobil barumu bang," geramku. 

"Yaelah dek, kan nggak enak tidur di dalam mobil. Kayak kamu gak tau aja. Nggak bisa bebas."

"Yaaa, siapa tahu. Kan bisa aja lupa rumah dan lupa udah punya istri gara-gara mobil baru."

"Sudahlah dek, aku capek. Aku mau tidur. Males ribut dengan kamu terus."

"Yee siapa yang ngajak ribut. Sudah sana. Kamu kira aku nggak capek apa di kantor seharian."

Bang Ardan melengos. Langsung merebahkan dirinya di kasur. Malam ini sepertinya aku malas tidur dengannya. Lebih baik aku tidur di kamar tamu. Syukurnya rumah yang kami kontrak ada dua kamar, satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga, satu dapur, dan satu kamar mandi sekaligus toilet. Daripada aku tidak bisa tidur nyenyak karena eneg melihat mukanya. Entahlah semenjak dia tidak mau membantu bayar utang, setiap hari rumah tanggaku isinya perang-perang terus. Untung belum ada momongan. Seandainya sudah punya anak, apa tidak kasihan dengan anak mendengar keributan kami setiap hari yang tanpa ada ujungnya. Besok aku harus berpikir menjalankan usaha baru dan bagaimana caranya untuk lepas dari utang riba yang melilit hingga belasan tahun ini. Ya Allah ampuni hambaMu ini. 

* * * 

Keesokan paginya. 

"Dek, apa ini kok lauknya cuma tahu dan tempe. Kamu pikir aku bisa apa makan kayak gini," teriak bang Ardan yang bikin telingaku hampir budeg. 

"Lah kan udah konsekuensinya bang, lagian siapa yang menyuruh ngambil utang. Ya kamu harus terima resikonya dong. Jadi vakum makan ayam dan ikan."

"Tapi kalau setiap hari makan ginian, aku bisa bosan dek." 

"Ya nikmatin aja dong bang. Lagian kamu juga yang maksa-maksa aku utang di bank."

"Kalau nggak utang, nggak bakal cepet punya mobil dek. Ya udah kalau gini terus aku lebih baik makan tempat mamah aja!" gertak bang Ardan. 

"Silakan aja, tapi lihat sudah jam berapa sekarang hah? Mau diomeli bos kamu lagi, karena kamu sering telat masuk?"

"Astaga, sudah hampir jam tujuh kurang lima belas menit." Seru bang Ardan sambil tepok jidat. 

Bang Ardan langsung melahap nasi dan lauk tahu tempe dengan kecap. Entahlah apa dia doyan atau lapar. 

"Nanti siang nggak usah cari aku, aku nggak makan di rumah. Aku lebih baik makan tempat mamah saja."

"Terserah kamu bang," jawabku asal. 

Memang rumah mertuaku tidak jauh dari kontrakan kami. Kalau dia mau mengadukan aku, silakan. Kamu pikir aku takut dengan mamahmu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status