Sesampainya di kantor aku langsung menyelesaikan beberapa berkas yang sudah menumpuk. Ketika sudah selesai aku pun mengobrol dengan sahabatku Mita, kebetulan Mita mempunyai usaha frozen food seperti nugget, sosis, cireng, dan otak-otak. Siapa tahu aku bisa jadi reseller Mita. Dengan menggunakan sosial media yang aku punya, aku yakin bisa memasarkan produk tersebut.
"Mita, aku boleh nggak jadi reseller produk frozen food yang kamu jual?" tanyaku di sela-sela waktu luang. "Wah boleh banget Key, kan kamu udah kutawari dari dulu-dulu tapi kamu selalu bilang nanti-nanti aja," sahut Mita senang. "Hehehe, iya. Aku masih memikirkan modalnya Ta, lagian juga aku nggak punya freezer khusus.""Kan sudah kubilang nggak perlu modal dulu. Kayak sama siapa aja sih, hehe. Nanti misalnya kamu ambil beberapa bungkus dulu, kemudian kalau sudah terjual habis baru kamu kembalikan uang modalnya ke aku dan kuntungannya bisa kamu ambil. Soal freezer, aku ada kok freezer nganggur di rumah. Karena aku baru aja beli yang baru, rencananya sih suamiku mau menambah bikin bikin sempol ayam dan takoyaki. Tapi kamu pinjam dulu nggak apa-apa, nanti kalau uangmu cukup bisa beli sendiri." "Wah, alhamdulillah kalau begitu. Terima kasih banyak Ta, aku merasa berhutang budi denganmu.""Santai aja Key, kita kan sudah lama bersahabat," jawab Mita tersenyum. Mita memang mempunyai usaha penjualan frozen food di rumahnya walaupun Mita juga seorang ASN sepertiku. Suaminya lah yang menjalankan. Pada awalnya suami Mita adalah seorang karyawan swasta, namun karena adanya perampingan karyawan, suami Mita di PHK. Dari hasil uang pesangon suaminya lah, mereka membuka usaha frozen food sambil membuka warung kecil. Ketika sore hari anak-anak di kompleknya ramai mendatangi rumahnya karena mereka menjual frozen food secara eceran. Anak-anak yang membeli memilih beberapa frozen food kemudian suami Mita lah yang menggoreng, setelah di goreng pilih mau dibumbui dengan bumbu bubuk yang beraneka rasa atau dengan saus. Boleh juga kalau ada ibu-ibu yang ingin membeli perbungkus untuk persediaan di rumah. Mereka mempunyai seorang putri sudah masuk TK, jadi sang suami lah yang mengantar jemput anak mereka. Benar-benar laki-laki yang bertanggung jawab, walau hanya pedagang sederhana. Berbeda sekali dengan bang Ardan. Sorenya, kulihat mobil pick up mengantarkan freezer yang berisi hampir 30 bungkus frozen food. Ketika aku akan membayar ongkos mobil pick up, si sopir bilang tidak usah dibayar karena sudah dibayarkan oleh Mita. Jadinya freezer di taruh di pintu depan rumahku. Aku bersiap-siap ke toko banner dulu untuk membuat spanduk dan banner, supaya nanti ibu-ibu dan anak-anak komplek bisa tertarik untuk membeli daganganku. Satu jam lebih aku menunggu pesanan bannerku jadi karena aku menunggu sekalian dicetak daripada menunggu besok, lebih hemat dari pada bolak balik. Sesampainya di rumah, aku kaget ada beberapa pasang sandal di depan rumah. Aku memutuskan lewat pintu belakang. Aku pun mengintip siapa yang datang. Oh ternyata bang Ardan dan teman-temannya. Yang lebih bikin aku membelalakan mata, ada beberapa piring besar isian nugget, otak-otak, dan sosis. Kulihat dapur pun berantarakan bertebaran bungkus-bungkus makanan tersebut. Cipratan minyak dimana-mana. Seperti kapal pecah. Ya ampun, bang Ardan pasti menggoreng frozen food yang akan kujual, bathinku geram. Entah berapa bungkus dia goreng, mungkin hampir 10 bungkus! Setelah teman-teman nongkrongnya pulang, langsung ku introgasi bang Ardan. "Bang, kenapa kamu goreng frozen food. Itu daganganku tahu," repetku sudah tak tertahan lagi. "Oh itu daganganmu? Kukira itu stok makan kita beberapa hari. Kulihat frozen food di sana banyak dan nganggur, ya udah kugoreng aja," jawab bang Ardan dengan santainya. "Ya boleh aja kamu goreng, tapi kamu harus ganti dong bang uang modalnya.""Ah, bodo amat. Mana sudi aku. Kan itu daganganmu, ngapain harus kuganti. Pelit amat sih kamu jadi istri. Lagian dompetku menipis nih, aku jadi lebih sering jajan di luar dibandingan makan di rumah yang cuma tahu tempe. Jadi istri kok nggak bisa masak.""Abang... Semua ini kan gara-gara kamu yang minta mobil. Wajar dong keuangan kita jadi susah gini.""Pokoknya aku nggak mau tahu dan aku nggak mau ganti rugi daganganmu."Aku sudah tak tahan lagi, aku tampar dia. "Wah, udah berani kurang ajar ya sama aku. Mentang-mentang PNS! Apa sih hebatnya PNS? Jadi berani kamu ya sekarang melawan suami. Liat aja nanti Key pembalasanku. Dasar istri durhaka!" teriak bang Ardan geram sambil memegangi pipinya bekas tamparankuAku yang tak bisa lagi menahan emosi, langsung menangis. Ah biarlah, aku sudah tidak tahan lagi, aku marah sekali. "Oke Key, malam ini jangan cari aku. Mau aku ke diskotik atau ke rumah mamah, itu urusanku." Bang Ardan berlalu sambil mengambil kunci mobil dan meninggalkanku. Ya Tuhan, salah apa aku? Sudah banyak mengalah dan berkorban masih saja di salahkan. Haruskah aku menggugatnya cerai? Tapi aku tidak siap menjadi janda. Apa kata ibuku? Selama ini aku tidak pernah menceritakan masalah rumah tanggaku dengan ibuku. Karena kami tinggal di kota yang berbeda, kira-kira satu jam lebih perjalanan dari kotaku. Untungnya sertifikat mobil atas namaku dan bang Ardan tidak menyadarinya. (bersambung)Untungnya hari ini hari Sabtu, karena kalau hari Sabtu dan Minggu kami libur. Lagi-lagi bang Ardan tidak tidur di rumah biarkan saja dia maunya apa. Aku sudah tidak peduli lagi. Hingga hari Minggu malam pun dia datang ke rumah, tapi kami berdua hanya diam saja. Buat apa bicara kalau hanya akhirnya bikin suasana tambah panas saja. "Dek, emmm ini ada uang lima ratus ribu dari mamah. Kata beliau ini buat bantuin bayar cicilan mobilku," ucap bang Ardan memulai pembicaraan. "Aku minta maaf ya tentang masalah beberapa hari lalu."Aku yang mendengar sontak kaget. Ini orang kesambet apa, sampai rela meminta maaf padaku. Orang kayak bang Ardan kan masih menjunjung tinggi harga diri. Hedeh harga diri apaan? Wong nafkahin istri aja nggak pernah. Kalau nanti suatu saat aku sudah tidak tahan lagi dengan ulahnya yang tidak berubah itu. Jangan salahkan aku kalau nanti aku menggugatnya ke maja hijau. "Hmm gimana ya? Oke deh aku terima. Tapi abang harus berubah ya?" Kini aku berusaha memaafkan. Kala
Aku Ardan Aditama, aku seorang karyawan honerer di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di kotaku. Orangtuaku berasal dari keluarga mampu, tidak terlalu kaya juga sih. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, dua kakakku perempuan semua dan sudah berkeluarga juga. Kakakku yang pertama seorang manager di sebuah perusahaan makanan, suaminya adalah kepala cabang sebuah bank. Sedangkan kakakku yang kedua adalah seorang pengusaha salon di kotaku dan suaminya juga seorang pengusaha minimarket. Papahku seorang pensiunan pegawai di Dinas Pemuda dan Olahraga sedangkan mamahku hanya ibu rumah tangga biasa. Kedua kakakku hidup kaya, punya pekerjaan sendiri, punya rumah besar, dan mobil mewah, ditambah mempunyai suami yang mapan pula. Aku pun juga ingin hidup enak seperti kakak-kakakku. Pada awal berpacaran dengan Keyla. Orang tuaku dan kedua kakakku menginginkanku menikah dengan wanita yang berprofesi sebagai pegawai negeri. Tapi aku sudah terlanjur cinta dengan Keyla yang pada waktu itu seorang guru ho
PoV KeylaHari ini juga setelah mendengar saran Mita untuk berjualan pulsa dan kuota, ketika istirahat siang nanti kami sepakat untuk menemui Soni. Soni yang tengah duduk-duduk di depan kantor tengah asyik memainkan gawainya. Entahlah dia sedang berbalas pesan dengan siapa. Dengan pacarnya mungkin. Kulihat dia sambil senyam-senyum memandangai layar gawainya. Lah kenapa aku jadi mikirin Soni chat dengan siapa? Itukan bukan urusanku. Kan wajar, toh dia masih bujangan. Mau chat sama siapa aja itu hak dia. Atau mungkin dia sedang main game? Tapi emang orang main game sambil senyum sih? Yang ada kan orang kalau lagi main game mukanya tegang. "Hei Soni, kamu sibuk nggak? Ini ada hal yang mau kita bicarakan sama kamu," tanya Mita dengan ramah. "Eh, nggak nih. Cuma lagi santai aja hehe. Oh iya ada apa nih?" jawab Soni dengan santai. "Ini Son, Keyla mau ikutan gabung bisnis kamu. Kamu kan jualan pulsa dan kuota. Siapa tahu dengan jadi reseller kamu, Keyla juga bisa menambah penghasilan," s
Pov KeylaPerkembangan bisnis pulsa dan kuota internetku alhamdulillah berjalan dengan lancar. Kecuali pulsa ada sedikit kendala, kadang teman-teman kantorku dan juga teman baiknya masih ada yang ngebon. Ya paling ada satu dua orang yang terlambat membayar. Aku maklumi. Aku juga tidak mungkin menagih utang mereka secara paksa. Mereka baik semau kepadaku. Bosku alias kepala divisi, ibu Elsa mempercayakan kepadaku untuk memegang dan mengelola keuangan yang akan direncanakan untuk pengelolaan tanaman apotik hidup di beberapa kelurahan di kotaku yang akan di kelola oleh ibu-ibu PKK. Wah aku sangat senang bisa terlibat kegiatan ini. Selain menambah pengetahuan, siapa tahu juga bisa menambah penghasilan. Kabarnya dari tanaman apotik hidup seperti jahe, kunyit, kencur, lengkuas dan lain-lain, para ibu akan membuat unit usaha kecil seperti membuat jamu tradisional. Nah ini bisa jadi ide untuk bisnisku selanjutnya. Ketika aku sedang mengetik beberapa laporan bulanan, bu Elsa ke mejaku. Aku ka
Beberapa hari kemudian, aku kaget bang Ardan memberikanku ganti uang kantor utuh sebesar yang dia ambil. Aku bingung dia dapat uang dari mana, toh selama ini kan gaji dia hanya cukup untuk kebutuhannya. Apa dia meminjam uang kepada kedua orangtuanya? "Dek, ini abang balikin ya uang yang sempet abang pinjam kemarin?" Kata bang Ardan sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat. "Ah bener ini bang," mataku berbinar menerima amplop coklat itu. Dalam hatiku akhirnya insyaf juga ini suamiku. Dapat hidayah dari mana ya dia? "Ya bener dong dek, kapan abang nggak nepatin janji ke adek," sahut bang Ardan santai banget. "Halah biasanya juga nggak pernah nepatin janji. Katanya mau bantuin aku membayar cicilan mobil. Ini udah beberapa bulan abang nggak pernah bantuin! Gimana adek mau percaya dengan abang!" Jawabku sengit. "Sabar dek, nggak usah diungkit-ungkit hal itu. Pusing kepala abang. Ini aja abang mutar otak tujuh keliling supaya mendapatkan uang ini.""Emang abang dapat uang darima
"Dan, itu mobil merah depan rumah punya siapa? Punya kantor, punyateman kamu, atau punya kamu?” tanya mamah beruntun. Sebenarnya sudahdua kali aku membawa mobil ini ke rumah mamah, tapi beliau hanya diam saja. Baru kali ini beliau bertanya. Mungkin beliau kepo karena ini kali ketiga, aku membawa mobil tersebut ke rumah mamah.“I-itu mobil Ardan mah,” jawabku gugup. Wah bakalan di introgasi mamah nih aku beli mobil ini pakai apa.“Loh memang kamu punya banyak uang nak? Bukannya uang yang mamah kasih untuk kamu dan Keyla sewaktu sesudah kalian nikah itu untuk membangun rumah itu kan nggak sampai seratus juta. Maksud mamah uang itu pasti kurang untuk membeli rumah. Nah tinggal kamu dan Keyla menambahkan dengan menyisihkan uang gaji kalian untuk membangun rumah. Terus uangnya kamu belikan mobil? Mana cukup? Apa Keyla punya tabungan untuk membeli mobil?” omel mamah panjang lebar.Aku hanya diam saja, karena bingung mau menjawab apa. Tapi kalau mamah sudah mengomel seperti ini artinya sudah
Namaku adalah Rosalinda. Mirip dengan nama tokoh wanita telenovela jadul tahun 90-an itu ya. Orang-orang memanggilku bu Ros. Suamiku bernama pak Iwan. Aku seorang ibu rumah tangga dan suamiku seorang pensiunan pegawai negeri. Walau hanya ibu rumah tangga, sebenarnya aku juga mempunyai usaha karet di desa asalku. Anak-anakku tidak ada yang tahu. Karena usaha karet tersebut untuk tabungan di masa tuaku bersama suamiku. Yang terpenting aku sudah merawat dan membiayai ketiga anakku hingga mereka sarjana dan mempunyai pekerjaan. Anak-anak perempuanku memiliki usaha sendiri dan sudah lumayan besar karena mereka tidak mau melamar pekerjaan, jadinya mereka kuberikan sejumlah uang modal untuk membuka usaha. Dan akhirnya mereka pun bersuamikan laki-laki yang sukses. Tapi aku heran dengan anak laki-lakiku satu-satunya, dia adalah Ardan, apa karena dia anak bungsu. Salahku dan suamiku juga sih terlalu memanjakannya, apa yang dia minta selalu kami turuti. Sejak zaman sekolah dia selalu malas bel
PoV Keyla Sehari sesudah kedatangan para penagih hutang tersebut. Aku lihat tidak ada tanda-tanda bang Ardan akan berbicara tentang soal dia berhutang kepada perusahaan pembiayaan. Aku hanya diam saja. Lagipula tekatku sudah bulat, bahwa aku tidak mau memberi tahu tentang kedatangan Badri dan Tio. Nanti malah tambah runyam. Malam hari ketika selesai makan malam, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah kami. Dan tak berapa lama rumah kami diketuk. Setelah kubuka ternyata kedua mertuaku lah yang datang. "Assalamualaikum apa kabar Key," mamah mertuaku mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam," jawabku dan bang Ardan serempak. "Eh mamah dan papah, silakan masuk. Apa kabar mah pah, udah lama banget kita nggak ketemu. Maaf kalau Keyla belum sempat mengunjungi mamah papah." Sapaku kepada mamah dan papah bang Ardan dengan ramah. Tapi ada perasaan tidak enak karena sudah beberapa bulan aku tidak mengunjungi mereka dikarenakan aku sekarang lebih disibukkan dalam urusan bisnisku. Aku s