Share

Kepingan mimpi.

Penulis: Reinz Jr
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-14 19:42:05

Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya.

Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?”

Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.”

Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.”

Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Tapi... sekarang bukan waktunya untuk membicarakan itu.”

Eliza menatapnya dengan putus asa, berharap mendapat jawaban lebih. “Tapi aku ingin tahu, Diego. Rasanya semua ini begitu asing. Kau… hanya datang sebentar, seperti terburu-buru setiap kali. Apa benar aku adalah istrimu?”

Diego menghela napas panjang, berdiri dari kursinya. “Aku memang suamimu, Eliza. Tapi kalau kau terus seperti ini, hanya akan membuat keadaan lebih sulit. Ingatanmu akan kembali pada waktunya.”

Tanpa memberikan kesempatan Eliza untuk bertanya lagi, Diego menepuk bahunya perlahan. “Istirahatlah, Eliza. Aku harus pergi sekarang.”

Diego berbalik dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan Eliza yang semakin bingung dan merasa hampa.

Eliza berdiri dengan langkah goyah, tubuhnya terasa lemah setelah seminggu terbaring di rumah sakit. Ia berjalan pelan menuju jendela, memandang ke luar dengan mata yang mulai lelah. Dari balik kaca jendela, ia melihat Diego tengah berbicara dengan seorang wanita yang tampak sangat cantik, mengenakan pakaian rapi dan tampak begitu akrab dengan Diego.

Wanita itu tertawa kecil saat Diego berkata sesuatu, dan mereka berjalan bersama menuju mobil di luar rumah sakit. Eliza memandang mereka dengan tatapan penuh kebingungan.

"Siapa wanita itu? Apakah adikku? Kakakku? Tapi kenapa dia tidak menemuiku kalau memang dia keluargaku?" gumam Eliza pelan, matanya tetap mengikuti setiap langkah wanita itu dan Diego. "Atau... adiknya?"

Pikirannya mulai kacau. Dia merasa ada sesuatu yang sangat penting yang hilang, tapi tidak bisa mengingatnya. Mengapa wanita itu tidak datang menemuinya, kalau memang dia orang terdekatnya? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan?

Eliza mendesah putus asa, menempelkan tangannya di kaca jendela, mencoba mencari jawaban dalam kekosongan pikirannya. "Apapun tentang diriku... atau Diego... aku sama sekali tidak mengingatnya," ujarnya dengan suara serak.

Tiba-tiba, matanya terhenti pada bayangan Diego yang melambaikan tangan kepada wanita itu, sebelum masuk ke mobil. Wanita itu terlihat tersenyum, dan Eliza merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada rasa aneh yang muncul, sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan.

Dengan langkah berat, Eliza mundur dari jendela, kembali ke ranjangnya, mencoba menenangkan diri meski rasa bingung dan cemas semakin menyelimutinya.

Eliza memegang remote dengan tangan bergetar, menyalakan televisi dan mulai memindah-mindah saluran. Matanya berhenti di sebuah siaran ulang berita, yang menampilkan rekaman tentang kecelakaan yang menimpanya. Seorang reporter menjelaskan dengan detail, memperlihatkan gambar mobil rusak parah yang ditemukan di tengah jalan raya di malam yang sunyi.

"Kecelakaan tunggal?" bisik Eliza dengan suara serak. "Jadi... aku mengalami kecelakaan sendirian, di malam hari?"

Ia memandang layar dengan tatapan bingung. Kata-kata reporter terus mengalun di telinganya, menjelaskan bahwa kecelakaan itu terjadi karena dugaan pengemudi sedang dalam kondisi mabuk.

"Malam-malam... sendirian... mengemudi?" gumam Eliza lagi, mencoba mencari jawaban di benaknya yang kosong. "Mabuk? Aku... mabuk?"

Eliza mengerutkan keningnya, mencoba mengingat kejadian itu. Namun, setiap kali ia berusaha keras menggali ingatan, yang muncul hanyalah kilasan bayangan yang samar-samar—suara tembakan yang menggema, ledakan di tengah kegelapan, seolah berada di medan pertempuran. Gambar-gambar itu membanjiri pikirannya, membuatnya semakin bingung.

Dengan frustrasi, Eliza menutup matanya dan meremas kepalanya, berharap gambaran-gambaran aneh itu menghilang. Namun, suara-suara tersebut hanya semakin keras, seolah menuntutnya untuk mengingat sesuatu yang terkubur dalam ingatan.

Eliza memejamkan mata, menahan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya, lalu perlahan membuka mata dan menatap layar televisi. Reporter kini sedang mewawancarai seorang pengamat otomotif, yang menjelaskan bahwa pengemudi tidak terbukti dalam keadaan mabuk pada saat kecelakaan.

“Menurut pemeriksaan, penyebab kecelakaan bukan karena mabuk, tetapi karena rem blong. Namun, untuk mobil baru seperti itu, seharusnya sangat kecil kemungkinan terjadi kerusakan mendadak,” jelas pengamat itu dengan serius.

Eliza mengulang kata-kata itu dalam hati. "Mabuk… rem blong…" gumamnya pelan, mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang berserakan dalam pikirannya.

Sebuah perasaan tidak nyaman mulai tumbuh di hatinya, seolah ada sesuatu yang tidak beres. “Mobil baru… rem blong… tidak masuk akal,” bisiknya. Ia merasakan firasat aneh, seolah kecelakaan ini bukan sekadar kecelakaan biasa.

Eliza menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Dan Diego... dia tidak terlihat khawatir padaku... bukankah aku istrinya?” ucapnya dengan suara pelan, namun penuh kebingungan. Ia menggeleng, merasa semakin terjebak dalam pikiran yang membingungkan.

“Benar-benar aneh,” gumamnya lagi. “Mungkin memang benar. Aku tidak mengingat semuanya karena aku amnesia.” Ia mencoba berdamai dengan prasangka yang muncul, tapi rasa tidak nyaman tetap menghantuinya.

Bayangan perempuan yang tadi ia lihat bersama Diego di halaman rumah sakit muncul lagi dalam pikirannya. Wajah cantik perempuan itu tampak samar, namun tatapannya terasa akrab, seolah-olah ada hubungan di antara mereka.

“Siapa perempuan itu?” bisiknya, tak bisa menahan rasa penasaran yang terus muncul. Apakah dia orang dekat? Teman? Atau bahkan seseorang yang lebih dari sekadar kenalan bagi Diego?

Eliza merasa dirinya terjebak dalam teka-teki yang tidak ia pahami, dan setiap potongan ingatan yang samar-samar muncul justru semakin menambah kebingungannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir segalanya.

    Eliza berdiri mematung di bawah langit senja, warna keemasan menyelimuti halaman rumah Renzo. Karangan bunga memenuhi halaman rumah Renzo. membawa aroma kesedihan yang bercampur dengan rasa hormat. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan."Kau senang? Ini yang kau inginkan?" tanya Diego, suaranya datar, namun sorot matanya penuh tanya.Eliza menoleh perlahan, menatap Diego. Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terucap. Kata-kata terasa seperti beban yang sulit diungkapkan. Benarkah ini yang ia inginkan? Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini."Aku tidak tahu, Diego," jawab Eliza akhirnya, suaranya lirih. "Aku hanya menjalani apa yang ada di hadapanku. Takdir ini... bukan pilihanku."Diego menghela napas, matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga itu, seolah mencoba membaca makna yang tersembunyi di baliknya. "Takdir memang bukan pilihan, El. Tapi apa yang kau lakukan setelahnya, yang akan menentukan segalanya

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Berkumpul lagi

    Di tengah keheningan mencekam, hanya terdengar suara sirene mobil polisi dan percakapan samar melalui radio petugas. Asap tebal membubung dari reruntuhan gedung, menyelimuti area dengan aura suram dan menyesakkan.Diego dan Renzo terduduk lemas di tanah, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang mendalam. Namun, di tengah keputusasaan itu, mereka menangkap gerakan kecil di rerumputan yang bergoyang tak jauh dari mereka."Apa itu?" Renzo bergumam, matanya penuh harapan bercampur rasa tak percaya.Tiba-tiba, sebuah penutup logam perlahan terangkat dari bawah tanah. Asap mengepul keluar dari dalam, dan detik berikutnya, kepala Eliza menyembul keluar, wajahnya berlumur darah dan debu, matanya penuh tekad meski lelah."Eliza!"Diego dan Renzo berteriak serempak, seruan mereka memecah keheningan. Dengan cepat, mereka berlari ke arahnya, tak peduli dengan luka di tubuh mereka.Mereka membantu Eliza keluar dari pintu bawah tanah. Eliza terbatuk-batuk, tubuhnya limbung, tetapi senyumnya tipis

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir sebuah dendam

    "Ibu!" teriak Kelvin, suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan."Mama!" seru Miko, matanya bersinar cerah meskipun situasi masih mencekam.Eliza menatap kedua anaknya dengan lembut. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.Keduanya mengangguk dengan senyum kecil, meskipun masih tampak cemas."Kita harus pergi dari sini!" kata Diego tegas, wajahnya serius."Victor sudah memasang bom di gedung ini!" Sela Renzo.Kekhawatiran langsung melintas di mata Eliza. Waktu mereka sangat terbatas. "Kalian bawa anak-anak!" perintah Eliza, sambil menyentuh bahu Diego. "Aku akan melindungi kalian. Cepat!"Diego tanpa ragu menggendong Miko, dan Renzo segera menggendong Kelvin. Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berlari keluar dari ruangan, menuju pintu utama. Eliza tetap berada di belakang, memastikan mereka aman, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di depan. Tembakan terdengar di kejauhan, namun Eliza hanya fokus pada satu tujuan, melindungi keluarganya dan memastika

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Damon

    Damon tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pria berjas hitam di belakangnya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan ke meja dan menekan tombol yang memulai proses di layar monitor. Monitor besar itu menyala, menampilkan berbagai gambar dan data yang berpindah dengan cepat."Lihatlah," kata Damon, suara rendah namun penuh ketenangan. Dia memperhatikan ekspresi Eliza yang berubah saat layar memperlihatkan rekaman markas yang meledak, diikuti dengan gambaran tubuh Letnan Quenza yang terluka parah, tergeletak tanpa nyawa. Namun, di detik-detik terakhir, seorang pria bertubuh kekar, salah satu anak buah Damon, muncul membawa tubuh Letnan Quenza yang sekarat ke rumah sakit terdekat. Proses transfer memori yang menegangkan terlihat jelas di layar, alat-alat medis canggih digunakan untuk memindahkan semua ingatan Quenza ke tubuh Eliza yang telah dinyatakan mati."Tidak mungkin!" teriak Eliza, wajahnya berubah kaget dan marah. Dengan cepat, ia mengangkat senjata

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Teroris

    Sesampainya di pusat kota, Eliza dengan cekatan menyembunyikan senjatanya di balik jaket panjang yang ia kenakan. Diego dan Renzo melakukan hal yang sama, memastikan tak ada yang mencurigai mereka.Mereka melangkah keluar dari mobil yang diparkir di sudut jalan, tubuh mereka sudah bersih dari luka-luka yang sempat mereka rawat seadanya. Hiruk-pikuk kota menyambut mereka, dengan keramaian manusia yang memadati jalan untuk merayakan hari kemerdekaan Mazatlán.Karnaval Mazatlán berlangsung meriah. Jalanan penuh dengan parade warna-warni, musik tradisional mengalun keras, dan sorak-sorai warga menambah semarak suasana. Polisi tampak berjaga di setiap sudut kota, mengawasi kerumunan dengan ketat.Eliza mengedarkan pandangannya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan, setiap gerakan yang terasa sedikit janggal. Renzo dan Diego berjalan di belakangnya, sikap mereka sama waspadanya.Namun, suasana meriah itu berubah dalam sekejap.DUAR!Sebuah ledakan keras mengguncang

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ide gila Diego

    Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membuat jalanan sepi di depan terasa semakin sempit. Diego mengepalkan tangan di setir, matanya fokus ke mobil musuh yang melaju dari arah berlawanan."Aku akan adu banteng dengan mereka!" serunya."Diego, kau gila! Kita bisa mati!" Renzo berteriak, suaranya penuh kepanikan. la memegang dashboard dengan erat, keringat mengucur di wajahnya."Menunduk!" perintah Diego tanpa ragu, suaranya tegas.Eliza langsung merunduk, tapi matanya tetap memperhatikan situasi, rahangnya mengatup rapat. Sementara Renzo hanya bisa berteriak lagi. "Diego! Aku belum mau mati!"Mobil Diego dan musuh semakin mendekat, jarak di antara mereka hanya hitungan detik.BRAK!!Tabrakan keras terjadi. Mobil Diego menghantam mobil musuh dengan kekuatan penuh. Bunyi logam beradu memekakkan telinga, pecahan kaca beterbangan ke segala arah. Benturan itu begitu hebat hingga mobil Diego terlempar ke luar jalur, berputar beberapa kali di udara sebelum menghantam tanah dengan keras.Tub

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status