Hari ini, tepat satu pekan Zainab kembali ke rumah. Aku melihatnya sedang tertawa bersama Bu Padma diruang tengah. Dengan mudah dia beradaptasi dengan Bu Padma dan juga Pak Rudi. Mungkin karena sikapnya sekarang yang supel dan hanya ada sepasang suami istri itu di rumah. Jadi, Zainab pun bisa lebih banyak ngobrol dengan mereka. Namun, ada kejadian tak terduga pagi tadi di kampus yang membuat mood-ku ambyar. Pak Syamsul kembali memanggilku. Saat tiba di ruang rektorat, ada seorang laki-laki berjas hitam yang duduk santai di samping Pak Syamsul. Orang itu menyebutkan dirinya sebagai pengacara keluarga dari Herman Aditama dan mengatakan ingin membicarakan tentang status Zainab sebagai satu-satunya pewaris dari keluarga Aditama. "Apa maksud, Bapak? Bukankah Pak Herman sendiri yang tidak ingin mengakui istri saya sebagai cucunya?" Aku menggeleng kasar. "Memang benar, Pak. Namun, Pak Herman sekarang ini sedang sakit dan beliau dirawat di rumah sakit. Setelah ditelusuri lebih lanjut, cucu
Kabar duka datang dari Herman Aditama. Dia pergi untuk selamanya satu bulan setelah menyerahkan semua hak warisnya pada Zainab. Dan sudah hampir dua bulan ini, Zainab lebih sibuk di luar rumah untuk mengurus perusahaan yang sudah menjadi miliknya. Namun, untuk kampus, Zainab menyerahkan pengelolaannya padaku atas izin sang kakek. Sudah hampir pukul sembilan malam, Zainab belum juga pulang. Padahal, sejak selepas Magrib, aku terus meneleponnya agar segera pulang. Namun, perempuan itu seakan tak peduli lagi denganku ataupun Zahira. Dia hanya mementingkan pekerjaan tanpa ada lagi perhatian untuk putri kecil kami yang seharusnya diprioritaskan. "Zahira sudah tidur, Dan. Kenapa gak ditidurkan di box?" tegur Ibu. Mungkin beliau heran karena melihatku masih menggendong Zahira sambil mondar-mandir di ruang tamu. "Zainab belum pulang?" tanyanya lagi karena aku tidak menjawab pertanyaan pertamanya. Aku hanya menggeleng. Bingung harus mengatakan apa pada Ibu. Zainab terlalu mementingkan peke
PoV ZainabBukannya aku tidak mau menerima kehamilan ini, tapi ada sedikit ketakutan karena jarak dari melahirkan Zahira masih sangat dekat. Meskipun kata dokter jika jahitan nya sudah sembuh total setelah tiga bulan pasca melahirkan, tetap saja aku masih sedikit trauma dengan kehamilan pertama itu. Namun, aku berusaha menutupi ketakutan ini dari Mas Zaidan. Dia tidak perlu tahu jika aku sudah mengetahui kehamilan ini dari usianya baru tiga minggu. Aku langsung mengeceknya dengan testpack saat mengetahui jika sudah tiga hari telat datang bulan. Hingga akhirnya, Mas Zaidan curiga karena aku muntah-muntah di pagi hari. Saat itu, usia kandunganku sudah masuk bulan kedua. Dan entah apa yang dia ketahui, Mas Zaidan mampu menebak jika ingatanku telah kembali. Ya, semuanya akhirnya terkuak. Aku memang mengalami hilang ingatan, tapi itu hanya sebentar. Sekitar satu bulan setelah kecelakaan itu, aku sudah ingat semuanya. Itu sebabnya, aku meminta Ayah untuk menghubungi Mas Zaidan. Aku tahu p
Mas Zaidan terus membuat hati ini berbunga-bunga. Dia tak hentinya berceloteh tentang calon anak kedua kami. Dia begitu berharap jika nantinya akan terlahir bayi laki-laki dari rahimku. "Mas jangan terlalu berharap. Takutnya kalau gak sesuai keinginan, malah Mas yang kecewa," ucapku sedikit mengingatkan. "Iya, Sayang, tapi boleh dong berharap?" jawabnya sambil tetap fokus menyetir. Aku terdiam. Meskipun Mas Zaidan menjawab iya, tapi hati kecilku berkata jika harapannya sangat besar untuk punya anak laki-laki. "Kok, diem? Mas gak masalah, kok, kalau memang anak kita perempuan lagi." Tangan kirinya meraih tangan kananku, lalu menggenggamnya erat. Kuulas sedikit senyum untuknya. "Iya, tapi aku cuma capek aja, kok. Pengen cepet-cepet rebahan."Sesampainya di rumah, aku melihat wajah Ibu yang sedikit tidak bersahabat. Beliau sudah duduk di sofa ruang tengah sambil menghadap arah pintu. Aku sedikit gugup untuk saat ini. Tatapan mata Ibu hampir sama seperti saat sebelum menerimaku sebag
Melihat wajah Zainab yang lesu selepas mendengar ucapan Ibu membuatku tidak tega. Tindakannya yang kurang memperhatikan Zahira itu memang salah. Namun, aku tahu jika dia tidak mungkin melupakan putri kecil kami. Bahkan, dia juga tidak memperhatikan dirinya sendiri. Tidak seperti awal mengandung Zahira yang diketahuinya lebih awal. Kehamilan kali ini saja sampai terlupakan dan baru diketahui saat sudah berusia dua bulan. Itu pun Zainab sempat menolak mentah-mentah saat kuajak periksa ke dokter. Tiga hari sudah Zainab melepaskan tugasnya di resto untuk berdiam di rumah sambil menjaga Zahira. Waktu yang harusnya bisa dia gunakan untuk beristirahat, nyatanya pikirannya tidak di tempat. Dan pagi ini, aku mengikuti permintaannya untuk menengok resto hingga aku diam-diam meminta izin untuk tidak mengajar agar bisa menemaninya. Mana mungkin aku tega membiarkannya bekerja sambil mengajak Zahira. Itu tidak baik untuk kondisinya yang seharusnya lebih banyak untuk beristirahat."Mas tadi bilang
"Bu, tolong jangan menekan Zainab terus. Dia sedang hamil muda dan itu bisa mempengaruhi kandungannya. Apa Ibu tidak sayang dengan calon cucu Ibu?"Aku bicara empat mata di kamar Ibu pagi ini. Mencoba berdamai dengan sikap Ibu yang belakangan ini justru semakin tidak bersahabat dengan Zainab. Saat pulang dari rumah Ayah semalam, Ibu kembali memarahi Zainab karena kami baru sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Seharusnya aku juga kena omelan Ibu, tapi nyatanya Ibu hanya menyalahkan Zainab. "Ibu gak tahu, Dan. Ibu cuma khawatir sama Zahira. Dia punya riwayat sakit jantung. Ibu takut terjadi apa-apa sama cucu Ibu." Aku bisa melihat air mata yang mulai meleleh di wajah Ibu. "Aku paham itu, Bu. Namun, Zainab juga sedang hamil. Kondisinya menurun beberapa hari ini, dia juga susah makan, gak mau minum susu, dan sekarang morning sickness-nya gak kenal waktu."Kuhela napas sejenak untuk meredam emosi. Sepertinya, aku keterlaluan pada Ibu. "Zaidan minta maaf, Bu. Zaidan gak bermaksu
PoV ZainabCukup menyedihkan memang jika seseorang menilai orang lain dari penampilan saja. Aku memang tidak terlalu banyak berubah. Masih seperti Zainab yang dulu, tapi sekarang sudah lebih tegar dalam menghadapi hidup. Setelah mengurai sedikit ketegangan yang terjadi kerena Nindia--kakak kelasku saat SMA yang juga menyukai Kak Angga--acara Kak Dio dimulai. Namun, aku mengajak Kak Dio berbicara berdua dulu setelah izin dengan Mas Zaidan. Aku ingin tahu tentang kedekatannya dengan Nindia. "Aku sama Nindia gak ada hubungan, Nis. Dianya saja yang ke-pede-an. Dia itu cuma karyawan magang yang dibawa papanya selaku manajer marketing di kantor," papar Kak Dio. "Kakak gak bohong, 'kan? Aku bukannya mau ngatur masalah pribadi Kakak, tapi aku tahu siapa Nindia. Dia gak cocok buat Kakak."Sebenarnya, tidak enak karena belum lama mengenal Kak Dio dan aku sudah melarangnya berhubungan dengan seseorang. Namun, aku tidak. ingin jika Kak Dio mendapat pasangan yang kurang baik. Bagaimanapun, dia
Aku panik setengah mati saat mendapati Zainab tergeletak di lantai dengan tubuh yang sangat dingin. Wajahnya terlihat sangat pucat dan sesekali merintih sambil memegangi perut. Dan benar adanya, Zainab mengalami prndarahan ringan akibat kelelahan kemarin. Ingin sekali memarahinya supaya sadar jika yang dilakukannya itu salah, tapi aku tidak tega. Kondisinya masih belum pulih. Lagi pula, cinta ini mengalahkan amarah. Marahku padanya mungkin malah akan memperburuk keadaan. Dia juga berulang kali meminta maaf karena aku sengaja mendiamkannya. Ya, lebih baik diam untuk menjaga emosi. Hingga Zainab memintaku menghentikan mobil. Dia ingin makan nasi uduk. Ah, ada rasa bahagia karena akhirnya perempuanku mau jujur tentang ngidamnya di kehamilan kedua ini. Memang baru kali ini Zainab mengatakannya. Sekali lagi, aku kalah karena cinta. Dia terlalu istimewa untuk diabaikan. Melihatnya makan dengan lahap membuat perut yang sebenarnya masih kosong ini terasa kenyang. Entahlah? Nyatanya itu bena