Share

Bab 2. Ke Mana Harus Bertanya

“Bunda kenapa?” tanya putraku.

“Bunda nggak apa-apa, Nak. Tadi gimana belajarnya? Sudah selesai?” Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan putra sulungku.

“Belum, Bun. Masih ada pelajaran tadi, tapi Zaid kaget pas liat ada foto Ayah. Itu benar Ayah kan, Bun?”

“Eh ... iya ... maksud Bunda bukan, Nak. Itu hanya foto orang yang kebetulan mirip Ayah,” jawabku. Aku tak ingin anakku menanyakan lebih jauh lagi.

“Nah, sekarang Zaid terusin dulu belajar daringnya, ya. Nanti kalau sudah selesai ponselnya setor ke Bunda kembali. Kalau ada pesan masuk nggak usah dibuka ya, Nak. Zaid fokus di pelajaran saja,” lanjutku.

Zaid mengangguk paham lalu kemudian berlalu dan meneruskan kegiatan belajar daringnya. Sementara aku masih terduduk lemas, kakiku seolah tak mampu menopang berat tubuhku untuk bangkit dan berdiri.

Video yang dikirim seseorang di ponselku tadi benar-benar membuatku terkejut. Bang Randy menikah lagi tanpa sepengetahuanku! Aku belum memastikan kapan dan di mana foto-foto dan video itu diambil, namun aku bisa memastikan bahwa pengantin pria dalan foto dan video itu adalah Randy Maulana, suamiku.

Tak dapat lagi aku berkonsentrasi, gelisah menunggu ponselku selesai dipakai belajar oleh putraku. Aku harus segera menghubungi Bang Randy dan menanyakan hal ini padanya. Tiba-tiba saja aku merasa sangat takut. Takut menghadapi kemyataan yang akan menghadang ke depan, foto-foto dan video tadi sudah jelas suamiku. Pastinya kehidupanku akan berubah setelah aku fakta-fakta ini terkuak. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku pura-pura tak tau dan menunggu saja hingga Bang Randy mengakuinya padaku? Ataukah aku harus segera menanyakan ini padanya?

Netraku memanas menatap putra sulungku yang masih berkonsentrasi belajar dan adiknya yang bermain di lantai di depan tv yang sedang menayangkan film kartun. Kedua putraku masih sangat kecil, bagaimana nantinya jika mereka harus kehilangan sosok ayah? Tapi jika aku berpura-pura tak tau, maka aku yang akan sakit menanggung semua ini. Maka dengan menguatkan hati, aku memilih harus bertanya pada Bang Randy saat ini juga tentang foto-foto dan video pernikahannya itu.

“Sudah belajarnya, Nak?” tanyaku pada Zaid purtaku.

“Sudah, Bun. Tinggal nulis beberapa baris. Tapi ponsel Bunda sudah nggak dipakai kok,” jawab Zaid seolah mengetahui bahwa aku menunggu ponselku yang tadi dipakainya untuk belajar online.

“Ya udah. Jaga adikmu sebentar, ya, Nak.”

Lalu aku melangkah ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dengan tangan gemetar aku kembali membuka semua foto-foto dan video tadi. Air mataku berderai tak dapat kutahan lagi. Tega sekali lelaki yang telah memberiku 2 orang putra itu mengkhianatiku. Aku memutuskan untuk melakukan panggilan telepon namun ternyata nomor Bang Randy sedang tidak aktif. Nomornya memang jarang sekali aktif karena setauku saat ini Bang Randy sedang bertugas di pedalaman Papua. Selama ini aku memang jarang menghubunginya karena di sana tak ada signal, Bang Randy lah yang akan menghubungiku terlebih dahulu jika ia sedang berada di kota atau ponselnya bisa menangkap signal telekomunikasi.

Kembali kupandangi satu persatu foto-foto itu. Jantungku berdetak kencang ketika mendapati salah satu foto tadi mencantumkan tanggal dan jam pengambilan gambar. Foto itu diambil hari ini, sekitar 2 jam yang lalu!

Kucoba menghubungi nomor tak dikenal yang mengirimkan foto dan video itu, tapi nomornya pun sudah tidak aktif lagi.  Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Kemana aku harus bertanya?

Ditengah kekalutan pikiranku, aku kemudian berinisiatif untuk mengirim kembali foto-foto itu ke ponsel Bang Randy dengan harapan ia akan segera membacanya ketika ponselnya aktif.

[Ini kamu kan, Bang?]

[Ini beneran Abang?]

[Aku menunggu penjelasan Abang!]

[Aku nggak terima Abang mengkhianatiku!]

Aku mengirim rentetan pesan itu dengan tangan gemetar. Hanya centang satu, yang artinya pesan belum terkirim. Lalu aku kembali mengirim video yang memperlihatkan suamiku sedang melakukan akad nikah tadi.

[Tadinya aku berharap itu bukan Abang, tapi video ini sudah menjelaskan semuanya. Kenapa, Bang? Apa salahku? Apa yang kurang dari Hannan? Kenapa Abang tega mengkhianati pernikahan kita?]

Air mataku semakin luruh seiring deretan pesan yang kukirim ke ponsel Bang Randy.

“Bunda napa nangis?” Tiba-tiba saja putra bungsuku muncul di depan pintu kamar dan bertanya dengan suara khas balita.

“Ah, nggak, Nak. Bunda nggak nangis. Zayn mau apa? Zayn lapar” tanyaku. Balita montok itu mengangguk pasti.

Dengan perasaan tak menentu aku mengusap-usap kepala bungsuku yang sedang makan dengan lahapnya. Apa yang akan terjadi pada kami kedepannya? Apa yang harus kulakukan jika Bang Randy benar-benar meninggalkan kami? Bagaimana aku bisa menghidupi kedua putraku jika ayahnya telah berpaling pada wanita lain? Mataku kembali berkabut namun berusaha sekuat tenaga kutahan. Aku tak boleh memperlihatkan kegelisahanku di hadapan anak-anakku. Aku harus menunggu penjelasan dari suamiku sebelum berpikiran yang buruk.

Pesanku baru terlihat centang dua berwarna biru saat menjelang sore. Kedua putraku masih terlelap tidur siang. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan menunggu balasan dari Bang Randy atau mungkin menunggu telepon darinya.

Jantungku berdetak tak karuan ketika gawaiku bergetar. Benar saja, Bang Randy langsung menelpon setelah membaca rentetan pesan dariku tadi.

“Dari mana Bunda dapat foto dan video itu?” Suara Bang Randy terdengar panik.

“Cukup jawab iya atau tidak, Bang!”

Entah dari mana aku memperoleh kekuatan untuk membentaknya. Padahal selama menjadi istrinya, aku tak pernah meninggikan suaraku padanya.

“Bun, dengarkan penjelasanku dulu.”

“Iya atau tidak! Itu Abang atau bukan?”

Terdengar helaan nafas kasarnya dari seberang sana.

“Iya, itu Abang,” jawabnya dengan suara lemah.

Aku tergugu. Rasanya ingin sekali aku melempar gawaiku sekarang juga untuk melampiaskan kemarahanku. Namun pikiran jernihku masih menguasaiku, ini adalah gawaiku satu-satunya yang juga dipakai oleh putraku untuk mengikuti pembelajaran daring. Jika aku melemparnya karena emosiku padanya, maka aku sendiri yang akan kerepotan nantinya dalam membimbing pelajaran putraku.

“Dengarkan penjelasanku dulu, Bun.”

“Apa lagi yang mau kamu jelasin, Bang?”

Aku terisak, tak mampu berbicara lebih banyak lagi. Pengakuannya padaku membuat dadaku begitu sesak.

“Jangan menangis, Bun. Aku akan merasa bersalah jika Bunda menangis.”

“Lalu apa Abang ingin aku tertawa? Abang ingin aku bahagia dengan pengakuan Abang ini? Abang ingin aku tersenyum melihat foto-foto dan video pernikahanmu?”

“Bunda ....” Suara Zayn dari depan pintu kamarku membuatku menghentikan kalimatku dan menyusut bening yang mengalir di sudut mataku.

“Kamu dengar itu, Bang? Itu suara anakmu. Aku mengingatkanmu kalau saja kamu lupa bahwa ada 2 orang bocah yang selalu menunggu kepulangan ayahnya. Tapi mungkin sekarang aku harus berusaha menjelaskan pada mereka bahwa ayahnya tidak akan pernah kembali lagi.”

“Bun ... tolong jangan seperti ini. Kita masih bisa bicara baik-baik.”

Aku mengakhiri panggilan telepon tanpa mengucapkan salam. Lalu memilih menghampiri putra bungsuku yang memang selalu mencariku saat ia terbangun dari tidurnya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status