“Bunda kenapa?” tanya putraku.
“Bunda nggak apa-apa, Nak. Tadi gimana belajarnya? Sudah selesai?” Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan putra sulungku.
“Belum, Bun. Masih ada pelajaran tadi, tapi Zaid kaget pas liat ada foto Ayah. Itu benar Ayah kan, Bun?”
“Eh ... iya ... maksud Bunda bukan, Nak. Itu hanya foto orang yang kebetulan mirip Ayah,” jawabku. Aku tak ingin anakku menanyakan lebih jauh lagi.
“Nah, sekarang Zaid terusin dulu belajar daringnya, ya. Nanti kalau sudah selesai ponselnya setor ke Bunda kembali. Kalau ada pesan masuk nggak usah dibuka ya, Nak. Zaid fokus di pelajaran saja,” lanjutku.
Zaid mengangguk paham lalu kemudian berlalu dan meneruskan kegiatan belajar daringnya. Sementara aku masih terduduk lemas, kakiku seolah tak mampu menopang berat tubuhku untuk bangkit dan berdiri.
Video yang dikirim seseorang di ponselku tadi benar-benar membuatku terkejut. Bang Randy menikah lagi tanpa sepengetahuanku! Aku belum memastikan kapan dan di mana foto-foto dan video itu diambil, namun aku bisa memastikan bahwa pengantin pria dalan foto dan video itu adalah Randy Maulana, suamiku.
Tak dapat lagi aku berkonsentrasi, gelisah menunggu ponselku selesai dipakai belajar oleh putraku. Aku harus segera menghubungi Bang Randy dan menanyakan hal ini padanya. Tiba-tiba saja aku merasa sangat takut. Takut menghadapi kemyataan yang akan menghadang ke depan, foto-foto dan video tadi sudah jelas suamiku. Pastinya kehidupanku akan berubah setelah aku fakta-fakta ini terkuak. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku pura-pura tak tau dan menunggu saja hingga Bang Randy mengakuinya padaku? Ataukah aku harus segera menanyakan ini padanya?
Netraku memanas menatap putra sulungku yang masih berkonsentrasi belajar dan adiknya yang bermain di lantai di depan tv yang sedang menayangkan film kartun. Kedua putraku masih sangat kecil, bagaimana nantinya jika mereka harus kehilangan sosok ayah? Tapi jika aku berpura-pura tak tau, maka aku yang akan sakit menanggung semua ini. Maka dengan menguatkan hati, aku memilih harus bertanya pada Bang Randy saat ini juga tentang foto-foto dan video pernikahannya itu.
“Sudah belajarnya, Nak?” tanyaku pada Zaid purtaku.
“Sudah, Bun. Tinggal nulis beberapa baris. Tapi ponsel Bunda sudah nggak dipakai kok,” jawab Zaid seolah mengetahui bahwa aku menunggu ponselku yang tadi dipakainya untuk belajar online.
“Ya udah. Jaga adikmu sebentar, ya, Nak.”
Lalu aku melangkah ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dengan tangan gemetar aku kembali membuka semua foto-foto dan video tadi. Air mataku berderai tak dapat kutahan lagi. Tega sekali lelaki yang telah memberiku 2 orang putra itu mengkhianatiku. Aku memutuskan untuk melakukan panggilan telepon namun ternyata nomor Bang Randy sedang tidak aktif. Nomornya memang jarang sekali aktif karena setauku saat ini Bang Randy sedang bertugas di pedalaman Papua. Selama ini aku memang jarang menghubunginya karena di sana tak ada signal, Bang Randy lah yang akan menghubungiku terlebih dahulu jika ia sedang berada di kota atau ponselnya bisa menangkap signal telekomunikasi.
Kembali kupandangi satu persatu foto-foto itu. Jantungku berdetak kencang ketika mendapati salah satu foto tadi mencantumkan tanggal dan jam pengambilan gambar. Foto itu diambil hari ini, sekitar 2 jam yang lalu!
Kucoba menghubungi nomor tak dikenal yang mengirimkan foto dan video itu, tapi nomornya pun sudah tidak aktif lagi. Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Kemana aku harus bertanya?
Ditengah kekalutan pikiranku, aku kemudian berinisiatif untuk mengirim kembali foto-foto itu ke ponsel Bang Randy dengan harapan ia akan segera membacanya ketika ponselnya aktif.
[Ini kamu kan, Bang?]
[Ini beneran Abang?]
[Aku menunggu penjelasan Abang!]
[Aku nggak terima Abang mengkhianatiku!]
Aku mengirim rentetan pesan itu dengan tangan gemetar. Hanya centang satu, yang artinya pesan belum terkirim. Lalu aku kembali mengirim video yang memperlihatkan suamiku sedang melakukan akad nikah tadi.
[Tadinya aku berharap itu bukan Abang, tapi video ini sudah menjelaskan semuanya. Kenapa, Bang? Apa salahku? Apa yang kurang dari Hannan? Kenapa Abang tega mengkhianati pernikahan kita?]
Air mataku semakin luruh seiring deretan pesan yang kukirim ke ponsel Bang Randy.
“Bunda napa nangis?” Tiba-tiba saja putra bungsuku muncul di depan pintu kamar dan bertanya dengan suara khas balita.
“Ah, nggak, Nak. Bunda nggak nangis. Zayn mau apa? Zayn lapar” tanyaku. Balita montok itu mengangguk pasti.
Dengan perasaan tak menentu aku mengusap-usap kepala bungsuku yang sedang makan dengan lahapnya. Apa yang akan terjadi pada kami kedepannya? Apa yang harus kulakukan jika Bang Randy benar-benar meninggalkan kami? Bagaimana aku bisa menghidupi kedua putraku jika ayahnya telah berpaling pada wanita lain? Mataku kembali berkabut namun berusaha sekuat tenaga kutahan. Aku tak boleh memperlihatkan kegelisahanku di hadapan anak-anakku. Aku harus menunggu penjelasan dari suamiku sebelum berpikiran yang buruk.
Pesanku baru terlihat centang dua berwarna biru saat menjelang sore. Kedua putraku masih terlelap tidur siang. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan menunggu balasan dari Bang Randy atau mungkin menunggu telepon darinya.
Jantungku berdetak tak karuan ketika gawaiku bergetar. Benar saja, Bang Randy langsung menelpon setelah membaca rentetan pesan dariku tadi.
“Dari mana Bunda dapat foto dan video itu?” Suara Bang Randy terdengar panik.
“Cukup jawab iya atau tidak, Bang!”
Entah dari mana aku memperoleh kekuatan untuk membentaknya. Padahal selama menjadi istrinya, aku tak pernah meninggikan suaraku padanya.
“Bun, dengarkan penjelasanku dulu.”
“Iya atau tidak! Itu Abang atau bukan?”
Terdengar helaan nafas kasarnya dari seberang sana.
“Iya, itu Abang,” jawabnya dengan suara lemah.
Aku tergugu. Rasanya ingin sekali aku melempar gawaiku sekarang juga untuk melampiaskan kemarahanku. Namun pikiran jernihku masih menguasaiku, ini adalah gawaiku satu-satunya yang juga dipakai oleh putraku untuk mengikuti pembelajaran daring. Jika aku melemparnya karena emosiku padanya, maka aku sendiri yang akan kerepotan nantinya dalam membimbing pelajaran putraku.
“Dengarkan penjelasanku dulu, Bun.”
“Apa lagi yang mau kamu jelasin, Bang?”
Aku terisak, tak mampu berbicara lebih banyak lagi. Pengakuannya padaku membuat dadaku begitu sesak.
“Jangan menangis, Bun. Aku akan merasa bersalah jika Bunda menangis.”
“Lalu apa Abang ingin aku tertawa? Abang ingin aku bahagia dengan pengakuan Abang ini? Abang ingin aku tersenyum melihat foto-foto dan video pernikahanmu?”
“Bunda ....” Suara Zayn dari depan pintu kamarku membuatku menghentikan kalimatku dan menyusut bening yang mengalir di sudut mataku.
“Kamu dengar itu, Bang? Itu suara anakmu. Aku mengingatkanmu kalau saja kamu lupa bahwa ada 2 orang bocah yang selalu menunggu kepulangan ayahnya. Tapi mungkin sekarang aku harus berusaha menjelaskan pada mereka bahwa ayahnya tidak akan pernah kembali lagi.”
“Bun ... tolong jangan seperti ini. Kita masih bisa bicara baik-baik.”
Aku mengakhiri panggilan telepon tanpa mengucapkan salam. Lalu memilih menghampiri putra bungsuku yang memang selalu mencariku saat ia terbangun dari tidurnya.
Bersambung
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian