Kurebahkan tubuhku di ranjang pengantin setelah kelelahan karena seharian ini menyalami tamu undangan. Sedangkan Dewi, istri yang baru saja kunikahi tadi pagi masih berkumpul bersama keluarga besarnya di ruang tengah rumah mewah ini.
Kupejamkan mata sambil menikmati aroma bunga melati yang menghiasi kamar Dewi yang juga menjadi kamar pengantin kami. Kuhela menghela nafas panjang-panjang sambil membayangkan semua peristiwa yang telah kulalui hingga berada di sini, di sebuah kota yang jauh keluargaku, kota tempat di mana aku ditugaskan.
Dewi Puspita Sari, gadis cantik molek yang baru saja kunikahi itu memang mempunyai kekurangan. Karena kekurangannya itulah ayahnya harus turun tangan langsung dalam mencarikan jodoh untuk putri tunggalnya, hingga akhirnya mempercayakan putri kesayangannya itu padaku. Aku tersenyum membayangkan bahwa ini akan menjadi malam pertamaku dengannya, gadis yang begitu lembut dan penurut. Setidaknya begitulah penilaianku terhadapnya sejak mengenalnya kurang lebih 3 bulan yang lalu.
Namun bayangan seseorang dengan 2 orang bocah lucu yang selalu menunggu kepulanganku mampu menghapus semua senyum di wajahku begitu saja. Ada rasa bersalah di dalam dadaku ketika wajah itu hadir menggantikan wajah Dewi dan indahnya malam pertama yang tadinya menari-nari di depan mataku. Dengan malas aku bangkit lalu mencari gawaiku yang tadi kuletakkan di dalam laci meja saat aku menjalani ritual akad nikah yang dirangkai dengan resepsi dengan panggung yang lumayan megah di pelataran rumah yang luas milik orangtua Dewi ini.
Kutekan tombol ON dan menyalakan ponselku yang memang sengaja ku-nonaktif-kan seharian ini. Beberapa pesan langsung masuk di Applikasi hijau ketika ponselku telah menyala dengan sempurna. Beberapa pesan dari grup kompi, lalu pesan dari nomor yang kusimpan dengan nama “My Wife” di ponselku.
Aku terkesiap ketika membuka pesan dari nomor itu, kakiku terasa lemas dan tak sanggup lagi menahan berat tubuhku ketika aku membuka beberapa foto yang dikirim olehnya. Foto-foto pernikahanku dengan Dewi!
[Ini kamu kan, Bang?]
[Ini beneran Abang?]
[Aku menunggu penjelasan Abang!]
[Aku nggak terima Abang mengkhianatiku!]
Aku semakin terhuyung dan jatuh terduduk di lantai kamar ketika membuka sebuah video. Video saat aku mengucapkan akad nikah tadi dan di dalam video itu terdengar sangat jelas suara dari Paman Dewi yang menjadi wali nikah tadi menyebut nama lengkapku ketika pria itu menjabat tanganku dengan pasti dan menyerahkan keponakannya untuk menjadi istriku.
[Tadinya aku berharap itu bukan Abang, tapi video ini sudah menjelaskan semuanya. Kenapa, Bang? Apa salahku? Apa yang kurang dari Hannan? Kenapa Abang tega mengkhianati pernikahan kita?]
Jantungku berdetak kencang. Maysa Hannan, istri yang telah memberiku dua orang anak ternyata telah mengetahui pernikahanku ini. Ia mengetahuinya bahkan di hari pertama aku menduakannya. Tapi dari mana Hannan memperoleh semua foto-foto dan video itu? Bahkan disaat aku belum menikmati malam pertamaku bersama wanita yang kini menjadi madunya.
“Mas, makan dulu, yuk.” Suara lembut itu menyapaku dengan senyum manisnya dari depan pintu kamar.
“I- iya, Wi. Sebentar lagi Mas nyusul ya. Mas mau ganti baju dulu,” jawabku.
“Loh, jadi Mas dari tadi di dalam kamar ngapain aja? Kok baru mau ganti baju sekarang?”
“Mas nungguin kamu dari tadi, jadi lupa ganti pakaian.” Aku menggodanya. Toh, ia hanya bisa mendengar suaraku dan tak bisa melihat ekspresi panik yang tergambar di wajahku setelah membaca pesan dari Sandra tadi.
“Ah, Mas Randy bisa aja. Ya udah, Dewi tunggu di meja makan ya,” ucapnya dengan wajah merah merona tersipu malu kemudian berlalu dari depan pintu kamar.
Ya, Dewi Puspita Sari, gadis yang baru saja kunikahi itu hanya bisa mendengar suaraku, tanpa bisa melihat wajahku. Karena ia adalah seorang gadis tuna netra!
***
Namaku Maysa Hannan. Ibu rumah tangga yang sehari-hari disibukkan mengurus 2 orang anak. Putraku yang pertama, Zaid Putra Maulana, sudah berusia 7 tahun dan kini duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sedangkan putraku yang kedua, Zayn Putra Maulana baru berusia 2 tahun.
“Bun! Bunda!” Suara Zaid memanggil-manggilku ketika aku sedang memasak di dapur.
“Ada apa, Nak? Udah belajarnya?” tanyaku saat melihat putra sulungku itu menyodorkan ponsel padaku.
Zaid memang sedang mengikuti pembelajaran online menggunakan ponselku. Hal yang tengah dialami oleh semua murid di negara yang sedang dilanda pandemi ini.
“Belum selesai belajarnya, Bun. Tapi tadi ada yang kirim pesan ke HP Bunda.” Zaid berucap sambil menggeser-geser layar ponselku.
“Ini, Bun. Foto Ayah menikah,” lanjutnya sambil terkekeh geli.
Aku mengeryitkan keningku dan segera mengambil ponselku dari tangannya.
DEGG!!!
Jantungku serasa berhenti berdetak. Bukankah itu Bang Randy suamiku? Mengapa ia berbalut baju pengantin putih-putih dan berdiri berdampingan dengan seorang wanita yang juga memakai kebaya putih?
Lalu dengan tangan gemetar aku membuka beberapa foto lainnya. Tidak salah lagi, dari berbagai sudut pengambilan foto memang sangat jelas jika itu adalah Bang Randy, suamiku.
Baru saja aku hendak membalas pesan dari nomor yang tak kukenal itu, ketika sebuah video kembali terkirim lewat applikasi hijau di ponselku.
Video pernikahan suamiku! Dengan lantang lelaki yang sudah memberiku 2 orang putra itu mengucapkan ijab kabul pada seorang gadis yang terlihat duduk menunduk dengan khidmat di sampingnya.
“Bun ... Bunda kenapa?” tanya putra sulungku panik ketika melihatku luruh terjatuh ke lantai.
Bersambung
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian