Bang Randy masih menghubungi ponselku berkali-kali namun aku tak menggubrisnya lagi. Rengekan putra bungsuku yang meminta dibuatkan segelas susu mengalihkan perhatianku. Putra bungsuku memang terbilang lebih bongsor dibanding dengan anak-anak seusianya. Nafsu makannya pun jauh lebih lahap dibanding dengan abangnya yang justru terlihat lebih kurus dibanding anak-anak seusianya.
“Ayah halo-halo, Bun?” tanya Zayn dengan polosnya saat aku sedang membuatkan segelas susu untuknya. Kurasa ia melihat layar ponselku yang sedang bergetar tanda panggilan masuk. Zayn memang selalu menyebut telepon dengan istilah ‘halo-halo’.
“Oh, iya, Nak.”
“Zayn mau halo-halo sama Ayah,” pintanya.
Aku meliriknya sekilas, mungkin Zayn sedang merindukan ayahnya. Biasanya memang saat Bang Randy menelpon anak-anak akan selalu bergantian berebut ponselku untuk berbicara pada ayahnya. Tak ada salahnya aku membiarkan Zayn berbicara pada ayahnya sambil menunggu susu yang sudah kubuatkan tadi dingin, pikirku.
Lalu aku menggeser tombol hijau di layar ponselku.
“Bun, dengarin Ayah dulu.” Suara Bang Randy langsung terdengar dari speaker.
“Bukan aku yang mau ngomong. Nih, Zayn yang mau ngomong.”
Kusodorkan ponsel pada putra bungsuku itu. Zayn kemudian mengobrol ngalur ngidul dengan suara khas balitanya pada ayahnya. Sementara aku memilih hanya memandangi wajah gembira Zayn saat mengobrol halo-halo dengan ayahnya. Ya Allah, bagaimana nanti aku menjelaskan pada wajah-wajah polos ini jika hubunganku dengan ayahnya harus kandas? Pengakuan suamiku tadi membuatku memikirkan hal yang paling buruk dalam hubungan kami, yaitu perpisahan.
Aku sedang melamun ketika suara Zayn mengagetkanku.
“Bun, ini hp Ibun. Zayn sudah halo-halonya sama Ayah. Zayn capek mau minum susu,” ucapnya dengan mimik lucu sambil meraih gelas susunya.
Aku tersenyum padanya sambil meraih ponselku yang ternyata masih tersambung dengan panggilan Bang Randy. Tanpa mempedulikan apakah di seberang sana dia masih menunggu, aku memilih menggeser tombol merah dan mengalhiri panggilan. Beberapa saat kemudian beberapa pesan kembali masuk dari nomor Bang Randy.
[Bun, cobalah bersikap dewasa. Aku pasti akan menjelaskan padamu, aku masih mencari waktu yang tepat. Aku tak menyangka jika Bunda tau semuanya justru di hari pernikahanku. Bolehkah Ayah tau siapa yang mengirim foto-foto dan video itu ke ponsel Bunda?]
‘Huhh!! Dasar lelaki buaya!’ batinku. Aku baru hendak menonaktifkan ponselku ketika satu pesan kembali masuk.
[Ayah akan usahakan pulang meskipun harus menambah izin. Tunggulah penjelasanku. Jangan berburuk sangka dulu. Jika saja Bunda mengenalnya, Bunda pasti bisa memahamiku. Dia wanita yang punya kekurangan, Bun.]
Aku memencet tombol OFF, kemudian membanting ponselku kesal.
“Enak saja menyuruhku memahaminya,” gumamku kesal.
“Bunda kenapa?”
“Oh, Bunda nggak apa-apa, Sayang. Sudah habis belum susunya?”
“Sudah, Bunda.”
***
Baru saja aku melipat mukenaku setelah menunaikan salat Maghrib ketika mendengar pintu depan rumah sederhana peninggalan orangtuaku ini diketuk. Buru-buru kukenakan jilbab instanku kemudian berjalan menuju ke arah pintu. Hatiku berdesir ketika mengintip dari balik gorden jendela melihat siapa yang berdiri di sana. Bang Randy!
Kunetralkan debaran jantungku sebelum meraih gagang pintu dan membukanya.
“Assalamualaikum, Bun,” sapanya sambil tersenyum.
“Walaikumsalam.” Aku menjawab datar salamnya, kulihat lelaki itu menatapku tajam.
“Anak-anak di mana, Bun?”
“Zaid dan Zayn lagi di kamar.”
“Baiklah. Aku hanya punya waktu sebentar untuk kembali ke markas, Bun. Aku ingin bicara empat mata dengan Bunda,” ucapnya, kemudian duduk di kursi di ruang tamu.
“Kenapa kamu jadi seperti tamu dan orang asing di rumah ini, Bang? Apa anak-anak sudah tak ada artinya lagi bagimu? Apa sudah tak ada lagi rasa rindumu pada anak-anak?” sindirku saat melihat ia justru duduk bak seorang tamu di rumah kami. Padahal biasanya ia akan segera mencari anak-anaknya ketika pulang ke rumah.
“Bukan seperti itu, Bun. Tapi sekarang ada hal yang lebih penting yang harus kita bahas berdua, tanpa gangguan anak-anak.”
“Oh, jadi anak-anakku sekarang sudah menjadi gangguan bagi Ayahnya?”
“Ckk!! Kenapa Bunda berburuk sangka seperti ini? Duduklah dulu, kita bicara.”
Aku menatapnya tajam. Lelaki ini, biasanya aku akan menyambut kedatangannya dengan rasa rindu yang membuncah, karena sudah beberapa bulan ini ia bertugas di pulau yang nun jauh di ujung Indonesia Timu sana. Namun sekarang, aku merasa jijik melihatnya. Deretan foto dan video akad nikahnya kemarin sukses membuat perasaanku padanya berubah menjadi kebencian.
“Ayolah Bun, mari kita bicara.” Aku menepis tangannya saat Bang Randy mencoba menarik tanganku.
“Jangan sentuh aku!” bentakku, lalu duduk di sofa yang paling jauh dari jangkauannya. Aku jijik padanya! Jika memang benar kemarin ia menikahi wanita lain, maka bisa kupastikan tangan dan tubuh itu juga sudah menyentuh tubuh wanita lain. Membayangkan itu semua hatiku terasa remuk.
“Bun, aku memang telah menikah lagi kemarin. Maafkan aku karena tak meminta izin dulu pada Bunda. Tapi kuharap Bunda jangan berburuk sangka dulu. Aku bukan menikah hanya karena nafsu, Bun. Aku menikahinya karena amanah yang sudah terlanjur kuterima dari orangtuanya.”
Cihhh!!! Dasar buaya!! Aku makin jijik melihatnya. Jika saja tak akan menimbulkan kegaduhan, aku pasti sudah menampar wajah lelaki di hadapanku ini.
“Cukup dengan pengakuanmu telah mengkhianati pernikahan ini, Bang. Aku tak butuh alasanmu! Karena kamu sudah mengaku dengan sendirinya di hadapanku, maka sekarang aku minta ceraikan aku. Pergi jauh-jauh dari hidupku! Aku tak butuh lelaki br*ngsek sepertimu yang berkhianat namun mencari pembenaran atas kebejatanmu!” ucapku lantang.
Aku akui, aku memang tipe wanita yang keras hati. Kehidupan keras yang selama ini kulalui sepeninggal kedua orangtuaku menempaku menjadi sosok wanita yang tak mudah untuk dirayu. Bang Randy menarik napas panjang mendengarku membentaknya.
“Dengarkan aku, Bun. Jika aku menikah lagi hanya karena nafsu, aku tak mungkin menikahi seorang wanita tuna netra,” ucapnya lirih.
Sejenak aku terpranjat mendengarnya. Foto dan video yang dikirim oleh nomor tak dikenal di ponselku kemarin terlihat biasa saja. Aku tak tau jika wanita yang berdiri di sebelah suamiku itu adalah seorang tuna netra. Sejujurnya ada rasa penasaran dalam hatiku, namun aku tetap berusaha tak menunjukkannya.
“Apa peduliku? Mau seperti apapun wujud wanitamu itu. Poin pentingnya adalah kamu sudah berkhianati pernikahan kita!”
“Aku akui aku salah, Bun. Seharusnya aku meminta izin dulu padamu, hanya saja waktuku tak banyak. Aku harus berkejaran dengan waktu karena tugasku. Maka aku berencana akan membicarakan ini denganmu jika aku ada waktu yang lapang. Percayalah, aku berniat meminta izinmu. Tapi kiriman foto dan video itu menghancurkan semua rencanaku. Boleh aku tau siapa yang mengirim foto-foto dan video itu?”
Ya Allah aku makin emosi mendengar penjelasan lelaki ini. Mengapa dulu aku bisa jatuh ke dalam pelukan lelaki br*ngsek ini?
“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.”
“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.
Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.
Bersambung.
Namaku Randy Maulana. Aku adalah seorang suami dan ayah dari dua orang putra yang lucu-lucu. Namun sudah setahun belakangan ini aku tak bisa tinggal satu kota bersama istri dan kedua putraku. Profesiku sebagai aparat TNI mengharuskanku hidup terpisah dari anak dan istriku setahun belakangan ini. Aku ditugaskan di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil. Di sana juga tak ada singnal telekomunikasi karena letaknya memang masih sangat terpencil. Itu membuatku sedikit kesulitan berkomunikasi dengan Maysa Hannan, istriku, serta Zaid dan Zayn, kedua putraku sejak aku ditugaskan di sana.Tugasku di pedalaman Papua sungguh sangat berat, kami harus berusaha mengusasai medan yang rumit ditengah incaran kelompok separatis yang kadang tiba-tiba saja muncul dan meneror warga. Sungguh, selama menjadi aparat TNI ini adalah tugas terberat yang harus kulalui. Beberapa orang rekanku bahkan ada yang tiba-tiba saja menghilang dari markas kami lalu kemudian ditemukan sudah dalam kea
Dua bulan setelah aku dan Tyson berkunjung ke rumah Pak Nugi, terjadi kontak senjata lagi antara TNI dan Polri dengan kelompok separatis. Salah satu rekan kami bahkan gugur dalam inseiden tersebut, dan kelompok seperatis bisa menguasai markas kami di pedalaman. Kami yang terdesak mundur kemudian menghubungi ke Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Jayapura. Bantuan segera datang beberapa jam setelahnya. Sebuah pesawat kecil yang mendarat membawa pasukan yang diturunkan khusus untuk membantu kami.Yang membuatku tercengang adalah sosok Pak Nugi yang berada di antara mereka. Rupanya beliau memilih memimpin langsung pasukan bantuan yang dikirim dari Jayapura. Mungkin karena beliau merasa sudah lebih menguasai medan karena pernah memimpin markas kami di sini.Malam hari yang mencekam gelap gulita tanpa cahaya ketika markas terbaru kami kembali menerima teror penembakan dari arah hutan belantara Papua. Insting prajurit kami segera muncul. Aku dan rekan-rekanku, termasuk juga Pak Nugi langsung me
PoV Hannan.“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.” Aku terkesiap, tega-teganya lelaki ini berkata seperti itu padaku. Dadaku merasa sesak oleh permintaan tak masuk akalnya.“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.“Aku tak akan menceraikanmu!”Aku baru saja hendak menjawabnya ketika Zayn putra bungsuku tiba-tiba saja sudah muncul di depan hadapanku.“Ayah? Ayah pulang? Yeee Ayah pulang!” seru balita itu sambil menyerbu ke dalam dekapan ayahnya. Aku berusaha tersenyum pada Zayn ketika bocah itu menatapku berbinar-binar dalam dekapan ayahnya.“Bunda napa nggak bangunin Zayn tadi? Kan Zayn bica main lama-lama cama ayah,” protesnya padaku.“Bunda baru aja mau bangunin Ab
Aku mengelak dan semakin menjauhkan diriku dari Bang Randy ketika lelaki itu menggeser duduknya lebih mendekat padaku. Ia menetapku tajam.“Percayalah padaku, Bun. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku akan mengajukan pengunduran diri dari TNI, dan mengurus usaha ayah Dewi. Dengan begitu aku bisa pulang dan bertemu Bunda dan anak-anak kapanpun aku rindu.”Hatiku semakin terhimpit oleh sesaknya luapan perasaanku.“Abang pikir aku boneka yang tak punya perasaaan? Abang pikir aku masih akan merindukanmu setelah kamu menduakanku? Hebat sekali perempuan itu bisa mengubahmu secepat ini, Bang? Kamu sudah lupa bagaimana perjuanganmu dulu demi lulus menjadi anggota TNI dan mewujudkan cita-citamu? Kamu berubah, Bang! Aku tak mengenalimu lagi.”“Bun, keadaan berubah setelah aku merasakan beratnya tugas di pedalaman. Aku harus loyal pada kesatuanku sedangkan hatiku kadang memberontak terisi kerinduan pada keluargaku. Kurasa ini adalaha jalan keluar bagi kita, Bun. Aku akan membantu Dewi men
Pov Randy.Fajar belum lagi menyingsing ketika aku terpaksa harus kembali meninggalkan istriku Hannan dan kedua putraku di rumah sederhana peninggalan mendiang orangtua Hannan yang sudah kami tinggali bersama selama 8 tahun. Kedua putraku, Zaid dan Zayn bahkan masih terlelap dalam tidurnya ketika aku sudah harus berangkat lagi. Meski masih merasa berat meninggalkan mereka bertiga, namun statusku yang masih sebagai aparat TNI aktif mengharuskanku untuk tetap menjunjung tinggi kedisiplinan.Sebenarnya kepulanganku kali ini benar-benar menyisakan masalah baru dalam hubunganku dengan Hannan. Bagaimana tidak, wanita yang sudah kunikahi selama 8 tahun ini meminta bercerai dariku. Aku paham, keputusanku untuk menduakannya dengan menikahi Dewi pastilah melukai hatinya. Tapi justru itulah aku rela datang walau cuma beberapa jam untuk bertemu langsung dengannya dan menjelaskan semuanya, sekaligus meminta izinnya untuk hubunganku dengan Dewi. Namun ternyata Hannan tetap tak bisa menerima semua a
Pov Dewi.Kepergian mendadak ayahku yang menjadi korban kontak senjata dengan kelompok separatis di pedalaman membuatku sangat terpukul. Meski sedari kecil ayah sudah mendidikku untuk selalu siap kehilangannya sewaktu-waktu karena tugas beliau sebagai seorang aparat TNI. Namun, tetap saja kepergiannya membuatku kehilangan. Ayahku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku, aku tumbeh besar bersamanya, tanpa kasih sayang ibuku. Ayah dan Ibuku telah berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku dalam asuhan ayah setelah mereka bercerai. Bukan tanpa sebab, Ibuku tak mau mengasuhku sebab kabarnya beliau malu punya anak buta. Ya, aku memang buta sejak dilahirkan. Aku tak pernah melihat indahnya dunia ini.Satu hal yang patut kusyukuri adalah Ayahku yang meski disibukkan dengan pekerjaannya sebagai aparat Negara, beliau tetap memberi perhatian penuh padaku. Bahkan semua orang-orang yang ada di sekelilingku adalah orang-orang yang dipilh ayah secara langsung. Ayah seolah mempunyai insting t
Pemakaman ayahku berlangsung khidmat dengan prosesi militer. Meski tak dapat melihat, tapi aku tau begitu banyak yang melepas kepergian ayahku di taman makam pahlawan. Banyak sekali yang datang mendekat dan menggenggam tanganku memberi kekuatan, meski aku hanya mengenal beberapa orang di antaranya lewat suara mereka, namun dukungan yang terus mengalir padaku membuatku sedikit terhibur.Ibuku pun hadir di antara para pelayat, beliau langsung terbang dari Jakarta bersama suaminya beberapa saat setelah mendengar kabar meninggalnya ayahku. Om Ardi, pamanku, adik kandung satu-satunya dari ayahku juga datang bersama dengan istrinya dari Jakarta. Itu semua membuatku merasa tak sendirian di tengah kegelapan dan kesedihan karena kepergian ayah.Lalu ketika kami semua sudah kembali ke rumah, tak kusangka ibuku justru mnegatakan hal-hal yang membuat emosiku naik. Tega sekali wanita yang telah melahirkanku itu langsung membahas semua perusahaan milik ayah di Jakarta pada saat kami masih dalam sua
Pov Randy.Setelah pemakaman Pak Nugi di Taman Makam Pahlawan, aku dan beberapa rekanku masih kembali ke rumah beliau bermaksud untuk berpamitan sebelum kami kembali ke tempat tugas. Aku sendiri punya niat tersendiri ke sana, aku harus bertemu Dewi. Tadi pagi ia mengatakan ada hal yang harus dibicarakannya denganku seusai pemakaman ayahnya.Beberapa kerabat Pak Nugi memang masih terlihat berada di rumahnya, namun aku tak melihat sosok gadis tuna netra itu. Dengan memberanikan diriku, aku mencoba masuk kedalam rumah besar dan mewah milik Pak Nugi. Aku sudah pernah ke rumah ini bersama Tyson beberapa bulan yang lalu, jadi aku sudah tak asing lagi dengan letak ruangan di rumah Pak Nugi.Aku menghentikan langkahku ketika mendengar percakapan serius di ruang keluarga. Entah mengapa firasatku mengatakan aku harus menguping pembicaraan ini, aku memilih diam-diam menyimaknya dari balik tembok. Ternyata ibu dan ayah tiri Dewi sedang berusaha membujuk putrinya untuk ikut bersama mereka ke Jakar