Share

Bab 3. Goresan Luka

Bang Randy masih menghubungi ponselku berkali-kali namun aku tak menggubrisnya lagi. Rengekan putra bungsuku yang meminta dibuatkan segelas susu mengalihkan perhatianku. Putra bungsuku memang terbilang lebih bongsor dibanding dengan anak-anak seusianya. Nafsu makannya pun jauh lebih lahap dibanding dengan abangnya yang justru terlihat lebih kurus dibanding anak-anak seusianya.

“Ayah halo-halo, Bun?” tanya Zayn dengan polosnya saat aku sedang membuatkan segelas susu untuknya. Kurasa ia melihat layar ponselku yang sedang bergetar tanda panggilan masuk. Zayn memang selalu menyebut telepon dengan istilah ‘halo-halo’.

“Oh, iya, Nak.”

“Zayn mau halo-halo sama Ayah,” pintanya.

Aku meliriknya sekilas, mungkin Zayn sedang merindukan ayahnya. Biasanya memang saat Bang Randy menelpon anak-anak akan selalu bergantian berebut ponselku untuk berbicara pada ayahnya. Tak ada salahnya aku membiarkan Zayn berbicara pada ayahnya sambil menunggu susu yang sudah kubuatkan tadi dingin, pikirku.

Lalu aku menggeser tombol hijau di layar ponselku.

“Bun, dengarin Ayah dulu.” Suara Bang Randy langsung terdengar dari speaker.

“Bukan aku yang mau ngomong. Nih, Zayn yang mau ngomong.”

Kusodorkan ponsel pada putra bungsuku itu. Zayn kemudian mengobrol ngalur ngidul dengan suara khas balitanya pada ayahnya. Sementara aku memilih hanya memandangi wajah gembira Zayn saat mengobrol halo-halo dengan ayahnya. Ya Allah, bagaimana nanti aku menjelaskan pada wajah-wajah polos ini jika hubunganku dengan ayahnya harus kandas? Pengakuan suamiku tadi membuatku memikirkan hal yang paling buruk dalam hubungan kami, yaitu perpisahan.

Aku sedang melamun ketika suara Zayn mengagetkanku.

“Bun, ini hp Ibun. Zayn sudah halo-halonya sama Ayah. Zayn capek mau minum susu,” ucapnya dengan mimik lucu sambil meraih gelas susunya.

Aku tersenyum padanya sambil meraih ponselku yang ternyata masih tersambung dengan panggilan Bang Randy. Tanpa mempedulikan apakah di seberang sana dia masih menunggu, aku memilih menggeser tombol merah dan mengalhiri panggilan. Beberapa saat kemudian beberapa pesan kembali masuk dari nomor Bang Randy.

[Bun, cobalah bersikap dewasa. Aku pasti akan menjelaskan padamu, aku masih mencari waktu yang tepat. Aku tak menyangka jika Bunda tau semuanya justru di hari pernikahanku. Bolehkah Ayah tau siapa yang mengirim foto-foto dan video itu ke ponsel Bunda?]

‘Huhh!! Dasar lelaki buaya!’ batinku. Aku baru hendak menonaktifkan ponselku ketika satu pesan kembali masuk.

[Ayah akan usahakan pulang meskipun harus menambah izin. Tunggulah penjelasanku. Jangan berburuk sangka dulu. Jika saja Bunda mengenalnya, Bunda pasti bisa memahamiku. Dia wanita yang punya kekurangan, Bun.]

Aku memencet tombol OFF, kemudian membanting ponselku kesal.

“Enak saja menyuruhku memahaminya,” gumamku kesal.

“Bunda kenapa?”

“Oh, Bunda nggak apa-apa, Sayang. Sudah habis belum susunya?”

“Sudah, Bunda.” 

***

Baru saja aku melipat mukenaku setelah menunaikan salat Maghrib ketika mendengar pintu depan rumah sederhana peninggalan orangtuaku ini diketuk. Buru-buru kukenakan jilbab instanku kemudian berjalan menuju ke arah pintu. Hatiku berdesir ketika mengintip dari balik gorden jendela melihat siapa yang berdiri di sana. Bang Randy!

Kunetralkan debaran jantungku sebelum meraih gagang pintu dan membukanya.

“Assalamualaikum, Bun,” sapanya sambil tersenyum.

“Walaikumsalam.” Aku menjawab datar salamnya, kulihat lelaki itu menatapku tajam.

“Anak-anak di mana, Bun?”

“Zaid dan Zayn lagi di kamar.”

“Baiklah. Aku hanya punya waktu sebentar untuk kembali ke markas, Bun. Aku ingin bicara empat mata dengan Bunda,” ucapnya, kemudian duduk di kursi di ruang tamu.

“Kenapa kamu jadi seperti tamu dan orang asing di rumah ini, Bang? Apa anak-anak sudah tak ada artinya lagi bagimu? Apa sudah tak ada lagi rasa rindumu pada anak-anak?” sindirku saat melihat ia justru duduk bak seorang tamu di rumah kami. Padahal biasanya ia akan segera mencari anak-anaknya ketika pulang ke rumah.

“Bukan seperti itu, Bun. Tapi sekarang ada hal yang lebih penting yang harus kita bahas berdua, tanpa gangguan anak-anak.”

“Oh, jadi anak-anakku sekarang sudah menjadi gangguan bagi Ayahnya?”

“Ckk!! Kenapa Bunda berburuk sangka seperti ini? Duduklah dulu, kita bicara.”

Aku menatapnya tajam. Lelaki ini, biasanya aku akan menyambut kedatangannya dengan rasa rindu yang membuncah, karena sudah beberapa bulan ini ia bertugas di pulau yang nun jauh di ujung Indonesia Timu sana. Namun sekarang, aku merasa jijik melihatnya. Deretan foto dan video akad nikahnya kemarin sukses membuat perasaanku padanya berubah menjadi kebencian.

“Ayolah Bun, mari kita bicara.” Aku menepis tangannya saat Bang Randy mencoba menarik tanganku.

“Jangan sentuh aku!” bentakku, lalu duduk di sofa yang paling jauh dari jangkauannya. Aku jijik padanya! Jika memang benar kemarin ia menikahi wanita lain, maka bisa kupastikan tangan dan tubuh itu juga sudah menyentuh tubuh wanita lain. Membayangkan itu semua hatiku terasa remuk.

“Bun, aku memang telah menikah lagi kemarin. Maafkan aku karena tak meminta izin dulu pada Bunda. Tapi kuharap Bunda jangan berburuk sangka dulu. Aku bukan menikah hanya karena nafsu, Bun. Aku menikahinya karena amanah yang sudah terlanjur kuterima dari orangtuanya.”

Cihhh!!! Dasar buaya!! Aku makin jijik melihatnya. Jika saja tak akan menimbulkan kegaduhan, aku pasti sudah menampar wajah lelaki di hadapanku ini.

“Cukup dengan pengakuanmu telah mengkhianati pernikahan ini, Bang. Aku tak butuh alasanmu! Karena kamu sudah mengaku dengan sendirinya di hadapanku, maka sekarang aku minta ceraikan aku. Pergi jauh-jauh dari hidupku! Aku tak butuh lelaki br*ngsek sepertimu yang berkhianat namun mencari pembenaran atas kebejatanmu!” ucapku lantang.

Aku akui, aku memang tipe wanita yang keras hati. Kehidupan keras yang selama ini kulalui  sepeninggal kedua orangtuaku menempaku menjadi sosok wanita yang tak mudah untuk dirayu. Bang Randy menarik napas panjang mendengarku membentaknya.

“Dengarkan aku, Bun. Jika aku menikah lagi hanya karena nafsu, aku tak mungkin menikahi seorang wanita tuna netra,” ucapnya lirih.

Sejenak aku terpranjat mendengarnya. Foto dan video yang dikirim oleh nomor tak dikenal di ponselku kemarin terlihat biasa saja. Aku tak tau jika wanita yang berdiri di sebelah suamiku itu adalah seorang tuna netra. Sejujurnya ada rasa penasaran dalam hatiku, namun aku tetap berusaha tak menunjukkannya.

“Apa peduliku? Mau seperti apapun wujud wanitamu itu. Poin pentingnya adalah kamu sudah berkhianati pernikahan kita!”

“Aku akui aku salah, Bun. Seharusnya aku meminta izin dulu padamu, hanya saja waktuku tak banyak. Aku harus berkejaran dengan waktu karena tugasku. Maka aku berencana akan membicarakan ini denganmu jika aku ada waktu yang lapang. Percayalah, aku berniat meminta izinmu. Tapi kiriman foto dan video itu menghancurkan semua rencanaku. Boleh aku tau siapa yang mengirim foto-foto dan video itu?”

Ya Allah aku makin emosi mendengar penjelasan lelaki ini. Mengapa dulu aku bisa jatuh ke dalam pelukan lelaki br*ngsek ini?

“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.”

“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.

Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status