Apa yang paling aku benci selain orang-orang?
Keramaian dan tatapan orang-orang seperti saat ini⸻hampir setiap pasang mata memperhatikanku. Bagaimana tidak?
Saat ini aku dan suamiku⸻pria yang semalam kutemui⸻baru saja turun dari mobil Bugatti La Voiture Noire. Salah satu mobil yang dinobatkan menjadi mobil termahal di dunia senilai 18,7 Juta USD, tengah mampir di sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota London dan tebak apa jabatan suamiku tersayang ini?
Direktur utama sekaligus pemilik dari rumah sakit yang tampak seperti hotel ini. Aku mencoba berdeham beberapa kali dan membenarkan rambutku yang sudah kutata seapik mungkin. Tentu saja, aku tak ingin mempermalukan diriku sendiri dengan berpakaian seperti gembel. Dress berkerah tinggi dengan pita tanpa lengan merek Prada, dipadukan dengan mantel Gucci coklat membalut tubuh rampingku, tak lupa bots berhak tinggi berwarna senada dengan renda hitam di ujung dressku.
Sepanjang jalan beberapa orang menyapa kami dan tersenyum , tanganku melingkari lengan kekar Sebastian yang kini telah terbalut dalam jas dokter putihnya, hebat bukan?
Pria pirang ini tidak hanya seorang direktur, tetapi ia juga telah mengantongi gelar profesor dalam bidang psikologi. Peganganku semakin erat saat beberapa orang bersetelan jas dokter berhenti di hadapan kami dan menyapa. Aku gugup tentu saja, siapapun akan sangat terkejut, jika mengetahui pria tampan di sampingku ini⸻sang direktur tiba-tiba saja memiliki istri dalam waktu semalam.
“Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Dayton,” sapa pria gempal berkumis putih bernametag ‘Charless Robbaine’. Aku melempar senyum menanggapi sekaligus menyapa para dokter.
“Professor Dayton, anda selalu terlihat romantis sekali dengan Istri anda,” gurau seorang dokter lain berperawakan tinggi dan hidung bak menara Eiffel yang menjulang.
‘Tunggu, telingaku merasakan kejanggalan di sini,' pikirku sejenak.
Direktur rumah sakit di sampingku ini hanya tertawa renyah dan justru merangkul bahuku mesra, “Makanya, Mike cepatlah menikah atau kau akan menjadi bujangan tua.” Tawa mereka menggema di sepanjang lorong menanggapi Sebastian yang kini ikut bergurau.
“Nyonya, bagaimana bisa anda mendapatkan hati Profesor?" celetuk salah seorang wanita berjas dokter di sana, aku hanya tersenyum kikuk hingga kilasan balik di hari perjanjian idiot itu teringat kembali, membuatku mengerjapkan mata beberapa kali mencoba melupakan memori memalukkan itu.
“Dia melamarku terlebih dulu,” ucap Sebastian gamblang diikuti senyum manis hingga aku dapat melihat lubang di kedua sisi pipinya. Aku menepuk bahunya membuat pria pirang itu terkejut dan memasang tatapan polos seolah tak mengerti apapun.
Aku menggigit bibirku keras. Seratus persen aku yakin wajahku sudah seperti kepiting rebus, reflek saja aku memukul bahunya pelan lagi dan berjalan lebih dulu.
‘Tuhan aku tak kuat menahan malu lebih lama.’
“Lho … kan benar kau yang bilang, ‘ Cintailah aku jadilah sua-” melangkah kilat, aku segera membekap mulut pria pirang yang menyebalkan ini.
Demi apapun pasti kami sudah seperti pasangan gila, aku langsung menyeret Sebastian untuk pergi dengan rentetan omelan andalanku menemani perjalanan kami menuju ruangannya, bahkan aku tak peduli meskipun iblis sialan ini harus membungkuk karena perbedaan tinggi kami sewaktu aku menyeretnya.
“Aku berharap hubunganku seromantis direktur dengan istrinya,” kagum Mike histeris dan menutup wajahnya mengalihkan pandangan dari dua insan yang baru saja berbelok menuju lift.
“Nyonya Dayton sangat pemberani ya? Ia melamar profesor Sebastian lebih dulu lho ...” sambung si dokter wanita yang segera diikuti anggukan ketiga dokter yang lain.
*****
Ruangan Sebastian adalah ruangan yang hampir sebesar appartemen studioku. Jangan lupakan interior hitam putih kesukaannya yang ternyata masih ia pertahankan di ruang kerjanya ini. Aku memperhatikan tulisan di atas meja yang menunjukkan identitasnya dengan jelas ‘ direktur ’ begitulah bunyi tulisannya.
Saat ini aku telah berada di ruangan pria pirang yang sedang sibuk menerima telfon dengan seseorang di seberang sana. Merasa lelah akhirnya aku memilih duduk di sofa beludru berwarna hitam dan berselancar dengan ponsel yang baru saja kudapat dari suamiku ‘tersayang’. Iblis abad ke-21 itu berkata,’ Kau adalah istri dari direktur rumah sakit terkenal dan kau menggunakan ponsel buntut begitu?’
Dan selanjutnya ia memberikan ponsel keluaran paling terbaru, dasar iblis tajir. Iris hazelku sibuk naik turun melihat postingan seseorang hingga ponselku tiba-tiba melayang dan aku dapat melihat wajah tampan nan rupawan si pirang.
“Ah, jadi dia ya mantan kekasihmu? Aku jauh lebih tampan.”
Sebastian duduk di sebelahku membuat sofa yang sedang kududuki berguncang karena pria ini duduk seenaknya sendiri. Aku hanya memutar mata dan mencoba meraih ponselku, hingga teringat satu pertanyaan yang sejak tadi mengganjal dibenakku.
“Sebastian, bagaimana bisa orang-orang seperti mengenalku sudah lama menikah denganmu?” tanyaku tanpa melihat iris legam pria di hadapanku yang sepertinya tengah berpikir.
“Aku hanya merubah ingatan mereka, itu saja.”
Berkedip berulang kali, aku masih mencoba mencerna ucapan pria di hadapanku. Benar, pria ini bukanlah manusia. Akal seorang manusia hina sepertiku tidak akan dapat memahaminya, sehingga aku hanya ber-oh-ria dan kembali duduk di sampingnya.
“Kapan kita akan memulai permainan pertama?”
Sebastian hanya mengangkat kedua tangannya dan tanpa seijinku pria pirang ini telah meletakkan kepalanya di atas pahaku ⸻ sekarang beralih fungsi sebagai bantal. Aku hendak protes namun ia meletakkan jari telunjuknya di hadapan bibir tipisku.
“Itu terserah padamu, kau adalah Nyonya Dayton. Semua berada dalam genggamanmu dan aku adalah bidakmu,” tuturnya tenang dan mulai memejamkan mata, sementara aku masih berpikir keras.
“Bahkan jika sekarang apa sudah bisa?”
Sebastian membuka matanya lalu mengulas senyum miring dan melirik ke arah pintu sesaat, “ Tentu aku sudah menyiapkan panggung utama untu kita pagi ini.”
Pria itu mengambil ponsel berwarna hitam miliknya dan menunjukkan salah satu pesan di sana dari kontak bernama ‘ asisten’.
Sepertinya kontak yang mengirimkan pesan adalah sang asisten, Felix. Dalam pesannya pria itu bertkata, ‘ Nyonya Oswald tengah dalam perjalanan untuk melakukan meeting bersama anda pada pukul 10 pagi ini, tolong persiapkan langkah pertama anda dengan baik, sebelum panggung pertama siap.’
Menganga tak percaya, bagaimana bisa seseorang sepertinya tiba-tiba saja sudah menyiapkan rencana untuk memulai proyek yang baru saja disusun pagi tadi. Pria yang tak lain adalah sang iblis itu mengendik santai, wajahnya seolah berkata,‘ Of Course, aku tau aku hebat.’
“Apa yang sudah kau rencanakan hingga bergerak terlebih dahulu tanpa perintahku?” tanyaku dengan suara tegas pada sang iblis yang sudah menunduk sembari mengulas senyum.
“Mohon maaf atas segala kelancangan saya, Nona. Saya hanya ingin mengesankan Nona dengan kesan pertama ini.”
Benar apa kata si pirang ini, dan ia berhasil!
Bukankah ini bisa jadi kesempatan emas bagi kami, tepat sebelum aku harus mengenalkan suami iblis tersayangku ini di hadapan seluruh keluarga besar Oswald. Setidaknya kami harus bertemu sebelum mereka melakukan meeting layaknya sebuah ketidaksengajaan.
Mereka pasti akan segera menjilat ujung sepatuku hanya agar acara mereka dapat membentuk citra perusahaan yang baik, dan kakak sulungku itu akan dikenal sebagai sosok wanita cerdas, rendah hati dan dermawan.
“Tidak apa-apa, aku cukup puas dengan hadiahmu. Lalu apalagi? Apa yang harus aku lakukan saat kalian bertemu di kantor?”
Sebastian menyisir rambutnya ke belakang dan melonggarkan sedikit dasinya. Selanjutnya yang dilakukan si pirang ini adalah menggeser duduknya agar semakin dekat padaku, aku hanya mengerjap kaget karena tingkah anehnya ini.
“Mari kita mulai tugas pertama Nona sebagai seorang Istri, kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Aku akan ikuti alurmu.”
Aku berpikir sejenak perasaan khawatir menelusup masuk membuatku berakhir mengigit ujung kuku, “Bagaimana jika aku mengancam mereka dengan proyek ke depan kalian. A-apa tidak apa-apa?” tanyaku pelan, terselip sedikit rasa takut karena ini menyangkut perusahaannya.
Sebastian mengambil jari yang kugigit dan menghentikan kebiasaanku saat gugup kemudian tertawa, "Tentu saja, aku memberikanmu segala apa yang kumiliki begitu pula denganmu bukan? Lagi pula kau adalah Istri pemilik rumah sakit ini, semua orang tidak akan ada yang berani mengusikmu.”
“Apa yang perlu kau takutkan? Kau memiliki suami tampan, kaya, berkuasa dan iblis sepertiku, Nyonya Dayton”
Apakah setiap iblis seperti ini? Manis sekaligus mengerikan!
Kini aku mengerti mengapa seekor laba-laba dapat menjerat kupu-kupu dengan mudah dalam jaringnya. Apa yang sedang melilitku saat ini adalah jaring termanis dan paling menggairahkan bagi manusia bodoh sepertiku.
"Mereka adalah kenalan Istri saya ketika masih berkuliah." Satu kalimat jawaban yang baru saja meluncur dari mulut Sebastian berhasil membuat pasangan Porlock hampir tersedak. Mereka terlalu terkejut dengan tanggapan jujur pria bersurai pirang tersebut. Veronica langsung menjatuhkan pandangannya ke arah sosok gadis bermanik hazel yang sedari tadi tampak tenang, bahkan terlalu tenang meski mereka saat ini sedang berdiri berhadapan satu sama lain. Terasa aneh menurut gadis bersurai kemerahan itu mengingat apa yang telah terjadi diantara mereka pasti membuat keadaan menjadi canggung. Dan mungkin Rael tidak akan dapat tenang bertemu dengan orang-orang dari masa lalu, apalagi memperkenalkan dirinya sebagai teman semasa kuliah, Veronica benar-benar dibuat terkejut. “Benarkah begitu, Nyonya Dayton? Astaga … pantas saja Anda berdua tampak menawan, ternyata para wanita cantik ini berasal dari satu tempat yang sama,” ujar si pria tambun dengan tawa yang cukup keras. Rael tersenyum manis. G
Surai pirang yang berkilauan tampak seperti helaian sutera berwarna emas, paras tampannya berhasil menghipnotis kaum hawa di seluruh penjuru ruangan, bahkan termasuk wanita milik pengacara Porlock, “Kau memandangi pria lain di hadapan Suamimu secara terang-terangan? Veronica, kau pasti kehilangan akal sehatmu.”Mendengar teguran sarkas sang suami berhasil membuat Veronica mendelik tajam. Tapi tidak lama ia langsung meneguk sampanye yang berada di atas baki salah seorang pelayan, “Aku tidak memandanginya … aku hanya tidak percaya sosok yang baru saja kita bicarakan akan muncul. Apakah kau tidak pernah tahu suami Rael terkadang akan menggantikan?”Anthony menggeleng dan menyibakkan rambutnya frustasi. Sungguh, ia sendiri tidak akan mengira pria itu akan benar-benar muncul di hadapannya. “Ini benar-benar sebuah kebetulan yang tidak diharapkan. Seharusnya, suami Rael tidak muncul. Meskipun bagian dari Dayton, kupikir pria itu tipikal yang membenci bisnis dan semacamnya,” kata Anthony den
Rosewood London adalah salah satu dari jajaran hotel terbaik yang terletak di jantung kota London. Tamu-tamu mereka bukan sekedar turis belaka, beberapa di antaranya merupakan para pebisnis atau orang-orang penting, seperti orang-orang berdarah biru. Dan hotel dengan bangunan pencakar langit menjulang itu tengah dipadati mobil-mobil seharga gedung apartemen pinggiran Inggris, alasannya hanya satu⸺perayaan ulang tahun perusahaan perbankan terkenal Inggris raya⸺Dayton. “Akhirnya seseorang menyadari bakatmu,” ucap seorang wanita bersurai kemerahan yang baru saja turun dari salah satu mobil ferrari. Lipstik kemerahan yang merona menghiasi bibir mungil nan seksinya. “Sudah kubilang, ini hanya perihal waktu. Perusahaan waktu itu hanya sebuah umpan sampai predator yang lebih besar muncul dan menyadari keberadaanku.”“Suamiku memang sangat hebat … aku bahkan tidak akan menyangka kita akan mendatangi Rosewood. Tapi aku sedikit cemas, maksudku aku tidak akan menyangka nama keluarga suami Rael
“Baiklah, sekarang jelaskan padaku. Mengapa ekspresimu sangat bahagia setelah bertemu dengan mereka? Atau kau baru saja mendapat lotre?”Aku langsung mencecar Sebastian begitu kami mendudukan diri di dalam mobil. Pria itu terkekeh pelan dan justru mengecup dahiku kilat. Sial! Ia berhasil membuat semburat kemerahan muncul di kedua pipiku, “Tidak bukan begitu, jika aku mendapat lotre itu karena kau menjadi Istriku.” Panas yang melingkupi wajahku semakin menjadi-jadi. Aku sedang serius bertanya dan benar-benar penasaran, ia justru melontarkan gombalan ala hidung belang, “Aku membutuhkan jawaban, Sebastian. Bukan gombalan maut mu itu.”“Padahal aku tahu kau juga menyukainya, bukan? Gombalan mautku ….”“Sebastian, jika sekali lagi kau mempermainkanku akan kupastikan semua koleksi biji kopimu berakhir ke dalam tempat sampah.” Sebastian yang semula tertawa akhirnya menekuk alis dan bibirnya⸺kesal dengan ancaman yang baru saja kuberikan. Pria itu sangat mencintai kopi, sampai-sampai ia rela
“Raeliana …? Kau benar Rael?” Sebuah suara yang menyebut namaku untuk kedua kalinya berhasil menghentikan kegiatanku dan Sebastian. Bibir ranumku telah menjauh, tapi manik hazelku masih terpaku pada iris obsidiannya. Seluruh saraf di tubuhku membeku. Bahkan untuk menggerakan ujung jariku hampir mustahil dan penyebabnya adalah sosok yang aku yakin saat ini sedang berdiri di balikku. Aku mengenal suara ini, setidaknya beberapa tahun terakhir sebelum aku memilih meninggalkan ibu kota. Tidak kusangka ternyata takdir akan mempertemukan wanita yang berhasil menghancurkan cinta dan namaku. “Rael, jangan menjadi pengecut. Kau sudah memilikiku, jadi sunggingkan senyum terbaikmu,” bisik Sebastian di telingaku dan mendaratkan kecupan penyemangat. Pria itu benar. Alasan aku sampai menjual jiwaku sendiri padanya hanya untuk membalaskan setiap luka yang dibuatnya disini. Rael! Jangan menjadi pengecut, seperti yang diucapkan Sebastian aku sudah tidak sendirian lagi. Setelah menghembuskan nafas p
Sebuah salah satu gedung pencakar langit yang mengisi ibu kota Inggris menjadi tujuan kami hari ini. Sebastian tampak tampan dalam balutan kemeja hitam dan sebuah topi berwarna senada, aku pun memilih mengenakan pakaian yang lebih tipis mengingat musim dingin telah berakhir. Alasan kami kemari tidak lain adalah untuk mengawasi target selanjutnya, jika tidak begitu mengapa kami yang sudah memiliki apartemen mewah harus mengunjungi hotel? “Siapa tadi nama mantan kekasihmu yang bajingan itu?” tanya Sebastian setelah pelayan membawa pergi daftar pesanan kami. Aku mendengus kesal karena pria bersurai pirang itu tampak sengaja mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali. “Anthony Porlock, apakah kau harus menanyakan hal yang sama? Padahal kau sudah hafal jadwalnya, tapi menghafal namanya saja tidak bisa.” “Maafkan aku Istriku tersayang. Maklum saja, aku tidak pernah mengira harus mengingat nama seekor babi hutan,” kata Sebastian yang telah terkikik kecil. Kali ini aku memilih untuk tert