Nafasku tak beraturan, kepalaku terasa pening seolah batu besar baru saja menghantamku. Belum lagi perutku yang terasa seperti ditekan keras, aku dapat merasakan seluruh tubuhku melemas tepat setelah kedua orang yang tak lain adalah ibu serta kakak sulungku menghilang di balik pintu.
*BRUUKK*
Tubuhku segera merosot kehilangan tenaga, untungnya pria di sampingku ini segera menahan tubuh serta kepalaku agar tidak menghantam dinding. Aku menatap iris obsidiannya yang tampak tenang setelah melakukan akting yang cukup panjang tadi. Sebastian membawaku dalam gendongannya dan meletakkanku di atas sofa. Pria pirang itu melepaskan sepatu botsku menyisakan paha putih jenjangku yang segera ditutupinya dengan sebuah selimut cadangan baru di lemari belakang sekat tempatku membuat minum tadi.
Aku hanya bisa memperhatikan gerak-gerik pria yang saat ini menjadi suamiku. Ia berjalan menuju salah satu lemari kemudian mengambil sebuah botol obat, tak lupa segelas air putih hangat. Entah karena ia seorang psikolog sehingga ia sangat tenang menghadapi kondisiku yang tiba-tiba saja berubah seperti ini.
“Minum ini dulu, Nona.”
Masih dengan senyum andalannya Sebastian menyodorkan sebutir obat. Sementara aku hanya menatapnya sejenak baru memutuskan untuk meminum benda bulat putih kecil itu dengan bantuan tangannya yang sigap menopang tubuhku, selanjutnya kedua mataku memilih terpejam sejenak berharap gemetar ini menghilang.
Beberapa menit berlalu, tubuhku terasa lebih baik. Sehingga kedua manik hazelku kembali menampakkan rupanya, dan pria itu masih di sana ia bahkan tersenyum dan membantuku duduk. Bahkan kini ia telah berpindah posisi di belakang tubuhku, menjadikan posisi kami menjadi semakin dekat.
“Bukankah tadi kau bilang ada rapat?” tanyaku masih dengan nada sedikit lemas, Sebastian mengangguk masih mengulas senyum jenakanya.
“Aku sudah bilang pada Zenna jika ada hal yang darurat.”
Alisku terlipat, barulah beberapa saat aku dapat merasakan pipiku kembali memanas. Bukan hanya hanya karena kata-kata dan perlakuan Sebastian barusan, namun adegan ciuman panas kami tadi tiba-tiba saja yang melintas.
Beberapa menit sebelum kedatangan Johanna dan Emilia
“Apa kau sudah siap berperan sebagai seorang Istri, Nona?” pertanyaan Sebastian tiba-tiba dan tingkah anehnya yang semakin gencar menggeser tubuhnya mendekat. Dapat kurasakan debaran jantung yang menggebu-gebu, dan pastinya itu adalah milikku, bukan jantung iblis di hadapanku.
Pria itu meletakkan anak rambut mahoni ku di belakang telinga, kini aku dapat merasakan hembusan hangat nafasnya di dekat telingaku, “Saya hanya melakukan apa yang ada dalam kontrak kita,”
“Babak pertama, permainan Nona dimulai dari sekarang.”
Tepat setelah ucapannya, pria di hadapanku ini secara lancang menubrukan benda kenyal miliknya pada bibir tipisku.
Otakku sepertinya berhenti berjalan, pikiranku kosong bahkan saat benda itu kian memagut dan melahap bibir merah mudaku. Namun tubuhku masih saja membeku, otakku baru mendapatkan kesadarannya setelah mendengar ketukkan pintu dan suara langkah kaki mendekat. Tanpa berpikir panjang aku menutup mata dan mengalungkan tanganku di lehernya. Dapat kurasakan pria ini tersenyum karena diriku yang mulai bergabung dalam permainannya. Bibir kami saling mengecap rasa satu sama lain bahkan aku yakin suara decakan kami mengisi ruang kerja Sebastian.
Merasa tak ada respon pergerakan langkah sosok yang baru saja memasuki ruangan, akhirnya aku memutuskan membuka kembali kedua mataku dan mulai menjalankan peranku. Memasang ekspresi terkejut karena keberadaan ketiga wanita di hadapanku, lalu menahan ciuman pria pirang ini dengan menjauhkan wajah sehingga pagutan kami pun terlepas.
“Apa kau ingin pulang ke rumah sekarang atau haruskah aku membawamu ke ruang perawatan?”
“Nona ....”
“Raeliana ...”
Suara husky itu menyadarkanku kembali dari lamunan mesum sesaatku, lagi-lagi aku berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk menenangkan diri. Aku menggeleng menjawab pertanyaan Sebastian dan berusaha duduk dengan bersandar pada sofa.
“Aku akan pulang saja,” putusku. Pria itu hanya mengangguk sembari melepas jas putih miliknya dan berjalan mengambil mantel hitam yang tersampir di kursi kerjanya, dan beralih mengambil kunci mobil di atas meja.
“Aku akan pulang sendiri naik taksi, kau kan harus bekerja,” selorohku cepat diiringi dengan gelengan cepat. Tak ingin membuang waktu langsung saja tanganku mencari keberadaan tas Fendi milikku, namun tanganku terhenti saat sebuah tangan besar hangat seseorang menyodorkannya.
“Anda baru saja selesai mengalami serangan panik, apa benar anda baik-baik saja sendirian?” Sebastian bertanya tanpa ada ulasan senyum di paras tampannya. Sehingga membuatku terdiam sejenak karena merasakan sirat khawatir dalam suara huskynya.
Sebenarnya aku pun sedikit tidak rela karena merasakan perasaan hangat yang menimbulkan sensasi bahagia ini. Tapilagi-lagi aku masih cukup tau diri. Aku tak akan mau membuat pria ini kesusahan. Sehingga aku hanya tersenyum dan mengangguk mengambil ponsel lalu mengecek kartu apartemen kami.
Namun pria pirang ini justru mengambil tanganku dan menggenggamnya, lalu membawaku mendekat. Tangannya melingkari bahu mungilku, sepertinya Sebastian berusaha memapah tubuhku karena tau jika diriku masih merasa lemas.
“Aku adalah Suamimu, Nona. Dan saat ini anda adalah prioritas saya. Mana ada seorang suami yang tega membiarkan Istrinya yang sakit, seolah berada di ujung tanduk hidupnya. Pulang menaiki taksi sendirian,” tuturnya seakan pria berdarah iblis ini tengah mengomel padaku.
Jadi akhirnya kami berjalan keluar dari kantornya. Dan lagi-lagi, punggung terasa panas karena merasakan puluhan mata yang memperhatikan adegan lovey-dovey kami. Ia sempat berhenti di satu ruangan. Kepalanya menyembul dan celingukan tanganya melambai pada salah satu perawat⸺Zeena namanya
“Istriku sakit, penyakitnya kambuh saya tidak akan ada di rumah sakit hari ini. Jika ada apa-apa beritahukan saja pada Gerald, okay?” Wanita perawat itu mengangguk dan tersenyum ramah pada kami berdua.
“Dan jangan berpikir aneh-aneh,” lanjut Sebastian sedikit berteriak sebelum kami berbelok dan memasuki lift membuatku menatapnya menaikkan sebelah alisku meminta penjelasan maksud ucapannya yang terakhir.
“Ah, kau tidak ingat tadi di ruangan kita terpergok melakukan apa?”
Aku menahan nafasku sesaat dan wajahku terasa sangat panas ....
Lagi.Reflek saja aku menginjak kakinya, sialnya justru membuatku hampir terjatuh karena iblis sialan ini menghindar. Pria itu terkekeh pelan dan akhirnya karena tak ingin tampak semakin konyol, aku memilih mendiamkannya dengan raut merah padam.
"Manis sekali," bisiknya tepat sebelum kami melangkah keluar lift.
****
London, Inggris adalah salah satu kota yang penuh dengan suasana unik bagi orang-orang karena jalanan serta bangunan-bangunan yang beberapa masih mempertahankan gaya arsitektur khas kalian tau, Inggris.
Kali ini aku dan si pria iblis di sampingku tengah meluncur di atas jalanan kota yang cukup ramai ditemani alunan musik jazz.
“Apa yang kau inginkan untuk makan siang, Nona?” Sebastian bertanya sesekali melirikku dari sudut matanya karena tangannya sibuk memegang setir. Aku melihat jam di ponselku. Dan ternyata sekarang telah menunjukkan pukul 1 siang.
Bukannya menjawab, aku justru sibuk memperhatikan sekitar jalanan hingga sebuah keinginanku untuk menjajal dapur mewah Sebastian kembali muncul. Aku berdehem sebentar dan melirik-lirik pria itu sebentar membuatnya jadi melihatku dengan pandangan aneh.
“Bagaimana jika aku memasak? Apa boleh aku meminjam dapurmu?” tanyaku pelan, entah mengapa si pirang ini justru tertawa keras. Padahal tidak ada yang lucu dari pertanyaanku.
‘Astaga, sepertinya memang ada yang aneh pada kejiwaan Iblis ini.’
“Tentu saja, jangan bertanya hal seperti itu, Nona. Karena sekarang kita adalah sepasang Suami Istri. Jadi, milikku juga milikmu,” jelasnya setelah tawa renyahnya reda.
Dasar iblis, mulutnya terlalu manis dan senang sekali menggoda, “Jadi, apa anda perlu berbelanja ke supermarket?”
Aku mengangguk senang tanpa sadar dan terdiam saat ia tertawa lagi karena melihat tingkahku yang tampaknya kelewat bersemangat, sehingga aku segera terdiam. Keheningan kembali menyelimuti mobil Bugatti mewah ini. Hanya ada alunan musik jazz yang mengalun, sehingga membuatku kembali melempar pandangan keluar.
“Sebastian?” panggilku, tapi hanya dijawab dengan deheman beratnya.
Aku menggigit bibir bawahku saat keinginanku mengucapkan kalimat yang terlintas di otakku saat ini, sehingga Sebastian alisnya melipat tak mengerti, “Panggil saja Rael, orang orang akan curiga jika kau te-tap berbicara formal pada Istrimu.”
“La-lagipula tidak ada S-Suami yang memanggil Istrinya dengan sebutan nona,” imbuhku terbata.
Sebastian tersenyum dan mengangguk, aku memperhatikan pria itu kesal karena menyadari Iblis di sampingku tengah berusaha keras menahan diri untuk tidak tertawa.
Sebuah bangunan besar bertuliskan Waiirose & Partners di papan seberang jalan. Mobil Bugatti ini pun sudah terparkir apik di halaman salah satu supermarket yang terkenal di London dan terletak di Wharf Road, King Cross. Iris hazel ku menatap binar begitu memasuki daerah perbelanjaan dan mengambil sebuah troli yang langsung diambil alih oleh Sebastian. Cukup lama bagi kami untuk memilih dan mengambil keperluan apartemen dan dapur.
Kami benar-benar tampak sepeti sepasang Suami Istri karena kami kerap bertengkar kecil atau bertanya satu sama lain mengenai keperluan yang akan kami beli. Bahkan saat kami memilih sayur seorang Nenek tersenyum pada kami dan menepuk pundakku saat Sebastian tengah pergi mengambil sekotak roti.
“Suamimu tampan sekali,” begitu bisiknya sebelum akhirnya tersenyum dan berjalan pergi. Meninggalkanku yang tersipu karena ucapannya.
‘Aish, Nenek itu ...!’
Mengantri bersama, memilih bahan makanan, bahkan ia mendapatkanku beberapa pasang piyama. Entah benar atau tidak, namun aku benar-benar merasa kami seperti seorang pasangan suami dan istri. Bibirku bahkan tersenyum tanpa sadar kala tangannya merangkul bahuku, berusaha tetap menjagaku agar tidak terdesak. Sesekali ia akan menanyakan apakah diriku baik-baik saja dengan keramaian.
Kemudian satu pemikiran kembali singgah dan membuatku tersipu, 'Jadi seperti ini ya kehidupan baru yang akan kujalani mulai saat ini.’
"Mereka adalah kenalan Istri saya ketika masih berkuliah." Satu kalimat jawaban yang baru saja meluncur dari mulut Sebastian berhasil membuat pasangan Porlock hampir tersedak. Mereka terlalu terkejut dengan tanggapan jujur pria bersurai pirang tersebut. Veronica langsung menjatuhkan pandangannya ke arah sosok gadis bermanik hazel yang sedari tadi tampak tenang, bahkan terlalu tenang meski mereka saat ini sedang berdiri berhadapan satu sama lain. Terasa aneh menurut gadis bersurai kemerahan itu mengingat apa yang telah terjadi diantara mereka pasti membuat keadaan menjadi canggung. Dan mungkin Rael tidak akan dapat tenang bertemu dengan orang-orang dari masa lalu, apalagi memperkenalkan dirinya sebagai teman semasa kuliah, Veronica benar-benar dibuat terkejut. “Benarkah begitu, Nyonya Dayton? Astaga … pantas saja Anda berdua tampak menawan, ternyata para wanita cantik ini berasal dari satu tempat yang sama,” ujar si pria tambun dengan tawa yang cukup keras. Rael tersenyum manis. G
Surai pirang yang berkilauan tampak seperti helaian sutera berwarna emas, paras tampannya berhasil menghipnotis kaum hawa di seluruh penjuru ruangan, bahkan termasuk wanita milik pengacara Porlock, “Kau memandangi pria lain di hadapan Suamimu secara terang-terangan? Veronica, kau pasti kehilangan akal sehatmu.”Mendengar teguran sarkas sang suami berhasil membuat Veronica mendelik tajam. Tapi tidak lama ia langsung meneguk sampanye yang berada di atas baki salah seorang pelayan, “Aku tidak memandanginya … aku hanya tidak percaya sosok yang baru saja kita bicarakan akan muncul. Apakah kau tidak pernah tahu suami Rael terkadang akan menggantikan?”Anthony menggeleng dan menyibakkan rambutnya frustasi. Sungguh, ia sendiri tidak akan mengira pria itu akan benar-benar muncul di hadapannya. “Ini benar-benar sebuah kebetulan yang tidak diharapkan. Seharusnya, suami Rael tidak muncul. Meskipun bagian dari Dayton, kupikir pria itu tipikal yang membenci bisnis dan semacamnya,” kata Anthony den
Rosewood London adalah salah satu dari jajaran hotel terbaik yang terletak di jantung kota London. Tamu-tamu mereka bukan sekedar turis belaka, beberapa di antaranya merupakan para pebisnis atau orang-orang penting, seperti orang-orang berdarah biru. Dan hotel dengan bangunan pencakar langit menjulang itu tengah dipadati mobil-mobil seharga gedung apartemen pinggiran Inggris, alasannya hanya satu⸺perayaan ulang tahun perusahaan perbankan terkenal Inggris raya⸺Dayton. “Akhirnya seseorang menyadari bakatmu,” ucap seorang wanita bersurai kemerahan yang baru saja turun dari salah satu mobil ferrari. Lipstik kemerahan yang merona menghiasi bibir mungil nan seksinya. “Sudah kubilang, ini hanya perihal waktu. Perusahaan waktu itu hanya sebuah umpan sampai predator yang lebih besar muncul dan menyadari keberadaanku.”“Suamiku memang sangat hebat … aku bahkan tidak akan menyangka kita akan mendatangi Rosewood. Tapi aku sedikit cemas, maksudku aku tidak akan menyangka nama keluarga suami Rael
“Baiklah, sekarang jelaskan padaku. Mengapa ekspresimu sangat bahagia setelah bertemu dengan mereka? Atau kau baru saja mendapat lotre?”Aku langsung mencecar Sebastian begitu kami mendudukan diri di dalam mobil. Pria itu terkekeh pelan dan justru mengecup dahiku kilat. Sial! Ia berhasil membuat semburat kemerahan muncul di kedua pipiku, “Tidak bukan begitu, jika aku mendapat lotre itu karena kau menjadi Istriku.” Panas yang melingkupi wajahku semakin menjadi-jadi. Aku sedang serius bertanya dan benar-benar penasaran, ia justru melontarkan gombalan ala hidung belang, “Aku membutuhkan jawaban, Sebastian. Bukan gombalan maut mu itu.”“Padahal aku tahu kau juga menyukainya, bukan? Gombalan mautku ….”“Sebastian, jika sekali lagi kau mempermainkanku akan kupastikan semua koleksi biji kopimu berakhir ke dalam tempat sampah.” Sebastian yang semula tertawa akhirnya menekuk alis dan bibirnya⸺kesal dengan ancaman yang baru saja kuberikan. Pria itu sangat mencintai kopi, sampai-sampai ia rela
“Raeliana …? Kau benar Rael?” Sebuah suara yang menyebut namaku untuk kedua kalinya berhasil menghentikan kegiatanku dan Sebastian. Bibir ranumku telah menjauh, tapi manik hazelku masih terpaku pada iris obsidiannya. Seluruh saraf di tubuhku membeku. Bahkan untuk menggerakan ujung jariku hampir mustahil dan penyebabnya adalah sosok yang aku yakin saat ini sedang berdiri di balikku. Aku mengenal suara ini, setidaknya beberapa tahun terakhir sebelum aku memilih meninggalkan ibu kota. Tidak kusangka ternyata takdir akan mempertemukan wanita yang berhasil menghancurkan cinta dan namaku. “Rael, jangan menjadi pengecut. Kau sudah memilikiku, jadi sunggingkan senyum terbaikmu,” bisik Sebastian di telingaku dan mendaratkan kecupan penyemangat. Pria itu benar. Alasan aku sampai menjual jiwaku sendiri padanya hanya untuk membalaskan setiap luka yang dibuatnya disini. Rael! Jangan menjadi pengecut, seperti yang diucapkan Sebastian aku sudah tidak sendirian lagi. Setelah menghembuskan nafas p
Sebuah salah satu gedung pencakar langit yang mengisi ibu kota Inggris menjadi tujuan kami hari ini. Sebastian tampak tampan dalam balutan kemeja hitam dan sebuah topi berwarna senada, aku pun memilih mengenakan pakaian yang lebih tipis mengingat musim dingin telah berakhir. Alasan kami kemari tidak lain adalah untuk mengawasi target selanjutnya, jika tidak begitu mengapa kami yang sudah memiliki apartemen mewah harus mengunjungi hotel? “Siapa tadi nama mantan kekasihmu yang bajingan itu?” tanya Sebastian setelah pelayan membawa pergi daftar pesanan kami. Aku mendengus kesal karena pria bersurai pirang itu tampak sengaja mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali. “Anthony Porlock, apakah kau harus menanyakan hal yang sama? Padahal kau sudah hafal jadwalnya, tapi menghafal namanya saja tidak bisa.” “Maafkan aku Istriku tersayang. Maklum saja, aku tidak pernah mengira harus mengingat nama seekor babi hutan,” kata Sebastian yang telah terkikik kecil. Kali ini aku memilih untuk tert