Adisti masih belum tenang. Dia telah berbicara pada Virni dan Alfred. Entah apa yang mereka pikirkan tentang Adisti. "Well ... thank you for your honest." Alfred yang menbuka suara. Pria blasteran itu tampak tenang, memandang pada Adisti. "Buat aku, siapapun pasti pernah melakukan kesalahan di dalam hidup. No body is perfect. Tapi kita selalu bisa menjadi lebih baik di hari esok, in the future." Logat Alfred terasa masih belum Indonesia banget, tetapi bahasanya sangat baik. Virni tersenyum dan memegang tangan suaminya. "Aku setuju dengan yang Alfred katakan." Vernon sangat lega mendengar itu. Dia benar. Dia bisa mengandalkan kakaknya yang satu ini. Virni sangat terbuka. Dia tidak melihat orang lain dari bungkusnya, dia siap menerima orang lain apa adanya. "Aku yang berterima kasih pada Kak Virni dan Kak Alfred. Kalian mau mendukung aku dan Adisti. Perjuanganku belum usai. Papa mungkin sudah tahu tentang Cia. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Tapi aku tidak akan mundur. Set
Ketakutan Adisti makin melebar. Dia tidak tahu harus ke mana mencari Felicia. Adisti terduduk lemas, bersandar pada dinding di kamarnya dengan air mata yang masih terus mengalir. "Sayang, aku akan cari nomor Ramon. Lalu aku akan hubungi dia. Aku akan minta dia bawa Cia balik," kata Vernon. "Iya, Mas. Aku tunggu." Adisti menutup telpon. Dia menunduk dan menangis sesenggukan. Mengapa Ramon setega itu? Apa yang dia mau sampai membawa kabur Felicia diam-diam? "Tuhan, aku mohon, jangan sampai terjadi hal buruk pada Cia, kumohon," doa Adisti di dalam hati. Dengan rasa tak menentu, Adisti bangun dan mengambil botol minum yang ada di meja kamar. Dia duduk di kursi dan meneguk beberapa kali air untuk melegakan kerongkongannya dan berusaha kembali tenang. Tubuhnya masih gemetar dan rasa cemas belum juga berkurang. Adisti menatap ponselnya, berharap segera ada pesan masuk atau panggilan dari Vernon dan membawa kabar baik. Beberapa menit berikutnya, Vernon mengirim nomor. Pesannya dia coba ko
"Cepat, Kak. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Cia." Adisti meminta Hanny segera berangkat. "Bagaimana bisa Cia dibawa Ramon?" tanya Ernita masih belum hilang rasa terkejut. Sambil mobil mulai bergerak meninggalkan rumah, Adisti bertutur. Adisti pun tak mengira, Ramon segila itu. "Wah, ga bisa dibiarin. Pokoknya kita mesti bawa Cia balik. Alamatnya, Dis." Hanny meminta Adisti memberitahu tujuan mereka. Sebuah villa di daerah Batu. Hanny kurang begitu hafal di daerah yang menjadi lokasi tempat Ramon membawa Felicia. Untungnya mereka bisa mencari dengan pertolongan internet. "Kita harus hati-hati. Pria itu bukan orang biasa. Kalau kita salah langkah, gampang saja dia panggil polisi dan memperkarakan kita." Hanny memberi awasan "Kak, cius? Aku takut, nih!" sahut Ernita. "Makanya sambil jalan kita ngatur strategi." Hanny mempercepat laju mobilnya. Ponsel Adisti berdering. Vernon yang menghubungi. Seperti sebelumnya dia tampak cemas. "Aku pergi, Mas, aku nyusul Cia. Udah dikasih a
Hanny berdiri tegak dengan dada dibusungkan. Sisi feminim dari pria itu benar-benar lenyap. Adisti sama sekali tidak mengira bisa melihat Hanny dari sisi yang lain di situasi itu. “Aku tidak akan ke mana-mana. Silakan, kalian bicara saja. Aku hanya mau memastikan Adisti akan baik-baik saja,” kata Hanny menegaskan lagi. Ramon tersenyum di ujung bibir, seakan mengejek Hanny. “Baiklah. Terserah padamu,” ujar Ramon, lalu mengarahkan pandangan pada Adisti. “Adisti, aku butuh ruang dan tempat tenang untuk kita bicara dari hati ke hati.” Ramon berbalik dan berjalan menjauh. Dia memilih duduk di kursi yang ada di ujung balkon, di dekat pagar. Adisti menoleh pada Hanny, memandangnya dengan tatapan yang gamang, kemudian meneruskan langkah menyusul Ramon. Adisti duduk di kursi seberang Ramon. Dia memilih posisi di mana Hanny pasti bisa melihat ekspresinya dan juga Ramon saat bicara. “Adisti … kamu lihat bukan, putri kita begitu gembira dengan apa yang aku bisa berikan padanya. Dia seharusnya
Adisti dan Ramon dengan cepat memalingkan wajah pada Hanny. Pria ceking yang sedari tadi duduk mengawasi itu berdiri dan segera menjajari Adisti. "Dis, Pak Bos mau aku bawa kamu dan Cia pulang. Hari ini. Aku ga salah dengar?" ujar Hanny. Kedua alisnya mengkerut hampir menyatu. Dia masih terkejut dengan yang dia dengar. "Kamu tidak salah dengar. Adisti akan tinggal di sini, malam ini." Ramon yang menjawab. "Adis?" Tatap tatapan Hanny pada Adisti. "Kak, please, percaya aku, oke?" ujar Adisti. "Kita ketemu Cia dan tanya padanya saja. Kurasa itu akan lebih fair." Ramon berani mengusulkan. Adisti dan Hanny ganti memandang pada Vernon. "Yeah, oke. Kita tanya saja pada Cia." Adisti pun setuju. Hanny yang tidak lega. Tetapi dia tidak bisa mendesak Adisti mengikuti kemauannya. Ketiganya meninggalkan balkon dan turun ke lantai satu. Felicia dan Ernita ada di ruang tengah yang sangat luas. Mereka duduk menonton film kartun. Felicia tampak sangat senang. Bahkan tidak terlihat dia lelah. "
Ernita dan Hanny makin merapat ke dinding agar suara Ramon lebih jelas terdengar. "Aku yakin semua akan berjalan lancar." Suara Ramon kembali terdengar. Dengan sigap otak Hanny berjalan. Dia keluarkan ponsel dan merekam kejadian itu. "Aku sudah punya cukup bukti untuk aku tunjukkan. Aku benar-benar punya anak, dan aku bisa mendapatkan hakku, bagianku lebih banyak. Kalau Adisti berhasil menerimaku, sebenarnya juga ada hitungannya. Sayang, dia terlanjur jatuh cinta sama bisnisman baru itu." Hanny dan Ernita mengerutkan kening. Apa yang Ramon maksud dengan hak? Bagian? Hitungan? "Seharusnya aku dapat empat porsi dari warisan orang tuaku. Nasibku memang sial. Istri dan anakku meninggal mendadak. Siapa yang tahu, sekarang ayahku mulai mengatur pembagian warisan. Kalau aku hanya dapat porsiku, aku ga bisa bergerak banyak." Mata Hanny dan Ernita kembali bertemu. Mereka sangat kaget. Ini alasannya Ramon mengejar-ejar Felicia. "Untung, sangat beruntung, aku bertemu Adisti waktu itu. Aku
Bahu Adisti terasa berguncang. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Adisti membuka mata. Ernita di depannya menatap padanya dengan wajah serius. "Hei, jam berapa ini?" Adisti dengan cepat duduk. Dia usap wajahnya, memaksa melek meski mata berat. "Hampir setengah lima. Ayo." Ernita berdiri. Adisti turun dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Urusan belakang tidak bisa ditinggal. "Duh, jangan lama, Dis. Kita ga banyak waktu." Ernita berkata sambil melihat jam dinding. "Kak Hanny udah bangun belum, ya?" Ernita mengambil ponsel dan mengirim pesan. Tidak ada balasan. Bahkan tidak dibaca. "Jangan jangan molor juga. Bisa gawat, kalau telat." Ernita jadi gelisah. "Apa aku bangunin? Duh, gimana, ya?" Ernita gelisah. Antara dia yakin atau tidak untuk menengok ke kamar sebelah. Takutnya ada salah satu pelayan yang memergokinya. Ernita duduk dengan resah, bolak balik pindah posisi. Drrtt ... Ponsel Ernita bergetar. Dengan sigap Ernita meraih ponsel dan melihat notif. Hanny ternyata. Ah, l
Felicia melorot minta turun dari pangkuan Adisti. Dia terlihat gusar karena diajak pulang. "Sayang, kita harus cepat balik. Ga bisa kicara dengan Om Ramon juga. Lain kali saja, ya?" Adisti membujuk Felicia. Gadis kecil itu duduk di sebelah Adisti, di pinggir jendela. Dia memperhatikan keluar mobil. Langit belum benar-benar terang. "Ibu udah janji. Aku boleh main sama Papa. Mau jalan dan berenang. Kenapa Ibu bohong sama aku?" Felicia cemberut. Hanny menengok dari kaca spion. Kasihan juga Felicia. Tapi tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Felicia belum tentu bisa mengerti situasi yang sedang dia hadapi berhadapan dengan Ramon. "Hai, Gadis cantik kesayangan Kakak Hanny!" panggil Hanny. Dia mencoba berbicara dengan santai agar kemarahan Felicia mereda. Felicia menoleh sedikit saja ke arah Hanny, melihat dari kaca spion. Wajah imut itu manyun. “Kalau kali ini Kakak Hanny yang kasih kejutan boleh nggak?” ujar Hanny. “Kejutan apa?” balas Felicia dengan suara kesal. “Yaa, kok ja