"Cepat, Kak. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Cia." Adisti meminta Hanny segera berangkat. "Bagaimana bisa Cia dibawa Ramon?" tanya Ernita masih belum hilang rasa terkejut. Sambil mobil mulai bergerak meninggalkan rumah, Adisti bertutur. Adisti pun tak mengira, Ramon segila itu. "Wah, ga bisa dibiarin. Pokoknya kita mesti bawa Cia balik. Alamatnya, Dis." Hanny meminta Adisti memberitahu tujuan mereka. Sebuah villa di daerah Batu. Hanny kurang begitu hafal di daerah yang menjadi lokasi tempat Ramon membawa Felicia. Untungnya mereka bisa mencari dengan pertolongan internet. "Kita harus hati-hati. Pria itu bukan orang biasa. Kalau kita salah langkah, gampang saja dia panggil polisi dan memperkarakan kita." Hanny memberi awasan "Kak, cius? Aku takut, nih!" sahut Ernita. "Makanya sambil jalan kita ngatur strategi." Hanny mempercepat laju mobilnya. Ponsel Adisti berdering. Vernon yang menghubungi. Seperti sebelumnya dia tampak cemas. "Aku pergi, Mas, aku nyusul Cia. Udah dikasih a
Hanny berdiri tegak dengan dada dibusungkan. Sisi feminim dari pria itu benar-benar lenyap. Adisti sama sekali tidak mengira bisa melihat Hanny dari sisi yang lain di situasi itu. “Aku tidak akan ke mana-mana. Silakan, kalian bicara saja. Aku hanya mau memastikan Adisti akan baik-baik saja,” kata Hanny menegaskan lagi. Ramon tersenyum di ujung bibir, seakan mengejek Hanny. “Baiklah. Terserah padamu,” ujar Ramon, lalu mengarahkan pandangan pada Adisti. “Adisti, aku butuh ruang dan tempat tenang untuk kita bicara dari hati ke hati.” Ramon berbalik dan berjalan menjauh. Dia memilih duduk di kursi yang ada di ujung balkon, di dekat pagar. Adisti menoleh pada Hanny, memandangnya dengan tatapan yang gamang, kemudian meneruskan langkah menyusul Ramon. Adisti duduk di kursi seberang Ramon. Dia memilih posisi di mana Hanny pasti bisa melihat ekspresinya dan juga Ramon saat bicara. “Adisti … kamu lihat bukan, putri kita begitu gembira dengan apa yang aku bisa berikan padanya. Dia seharusnya
Adisti dan Ramon dengan cepat memalingkan wajah pada Hanny. Pria ceking yang sedari tadi duduk mengawasi itu berdiri dan segera menjajari Adisti. "Dis, Pak Bos mau aku bawa kamu dan Cia pulang. Hari ini. Aku ga salah dengar?" ujar Hanny. Kedua alisnya mengkerut hampir menyatu. Dia masih terkejut dengan yang dia dengar. "Kamu tidak salah dengar. Adisti akan tinggal di sini, malam ini." Ramon yang menjawab. "Adis?" Tatap tatapan Hanny pada Adisti. "Kak, please, percaya aku, oke?" ujar Adisti. "Kita ketemu Cia dan tanya padanya saja. Kurasa itu akan lebih fair." Ramon berani mengusulkan. Adisti dan Hanny ganti memandang pada Vernon. "Yeah, oke. Kita tanya saja pada Cia." Adisti pun setuju. Hanny yang tidak lega. Tetapi dia tidak bisa mendesak Adisti mengikuti kemauannya. Ketiganya meninggalkan balkon dan turun ke lantai satu. Felicia dan Ernita ada di ruang tengah yang sangat luas. Mereka duduk menonton film kartun. Felicia tampak sangat senang. Bahkan tidak terlihat dia lelah. "
Ernita dan Hanny makin merapat ke dinding agar suara Ramon lebih jelas terdengar. "Aku yakin semua akan berjalan lancar." Suara Ramon kembali terdengar. Dengan sigap otak Hanny berjalan. Dia keluarkan ponsel dan merekam kejadian itu. "Aku sudah punya cukup bukti untuk aku tunjukkan. Aku benar-benar punya anak, dan aku bisa mendapatkan hakku, bagianku lebih banyak. Kalau Adisti berhasil menerimaku, sebenarnya juga ada hitungannya. Sayang, dia terlanjur jatuh cinta sama bisnisman baru itu." Hanny dan Ernita mengerutkan kening. Apa yang Ramon maksud dengan hak? Bagian? Hitungan? "Seharusnya aku dapat empat porsi dari warisan orang tuaku. Nasibku memang sial. Istri dan anakku meninggal mendadak. Siapa yang tahu, sekarang ayahku mulai mengatur pembagian warisan. Kalau aku hanya dapat porsiku, aku ga bisa bergerak banyak." Mata Hanny dan Ernita kembali bertemu. Mereka sangat kaget. Ini alasannya Ramon mengejar-ejar Felicia. "Untung, sangat beruntung, aku bertemu Adisti waktu itu. Aku
Bahu Adisti terasa berguncang. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Adisti membuka mata. Ernita di depannya menatap padanya dengan wajah serius. "Hei, jam berapa ini?" Adisti dengan cepat duduk. Dia usap wajahnya, memaksa melek meski mata berat. "Hampir setengah lima. Ayo." Ernita berdiri. Adisti turun dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Urusan belakang tidak bisa ditinggal. "Duh, jangan lama, Dis. Kita ga banyak waktu." Ernita berkata sambil melihat jam dinding. "Kak Hanny udah bangun belum, ya?" Ernita mengambil ponsel dan mengirim pesan. Tidak ada balasan. Bahkan tidak dibaca. "Jangan jangan molor juga. Bisa gawat, kalau telat." Ernita jadi gelisah. "Apa aku bangunin? Duh, gimana, ya?" Ernita gelisah. Antara dia yakin atau tidak untuk menengok ke kamar sebelah. Takutnya ada salah satu pelayan yang memergokinya. Ernita duduk dengan resah, bolak balik pindah posisi. Drrtt ... Ponsel Ernita bergetar. Dengan sigap Ernita meraih ponsel dan melihat notif. Hanny ternyata. Ah, l
Felicia melorot minta turun dari pangkuan Adisti. Dia terlihat gusar karena diajak pulang. "Sayang, kita harus cepat balik. Ga bisa kicara dengan Om Ramon juga. Lain kali saja, ya?" Adisti membujuk Felicia. Gadis kecil itu duduk di sebelah Adisti, di pinggir jendela. Dia memperhatikan keluar mobil. Langit belum benar-benar terang. "Ibu udah janji. Aku boleh main sama Papa. Mau jalan dan berenang. Kenapa Ibu bohong sama aku?" Felicia cemberut. Hanny menengok dari kaca spion. Kasihan juga Felicia. Tapi tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Felicia belum tentu bisa mengerti situasi yang sedang dia hadapi berhadapan dengan Ramon. "Hai, Gadis cantik kesayangan Kakak Hanny!" panggil Hanny. Dia mencoba berbicara dengan santai agar kemarahan Felicia mereda. Felicia menoleh sedikit saja ke arah Hanny, melihat dari kaca spion. Wajah imut itu manyun. “Kalau kali ini Kakak Hanny yang kasih kejutan boleh nggak?” ujar Hanny. “Kejutan apa?” balas Felicia dengan suara kesal. “Yaa, kok ja
Ramon masih tidak percaya mendengar kata-kata tajam Adisti. Dia maju dua langkah dan menghujamkan tatapan lebih dalam. "Aku ayah Cia. Kamu suka atau tidak, aku punya hak. Bahkan aku bisa menuntut kamu karena melarang seorang ayah bertemu dengan anaknya." Ramon mengucapkan kalimat itu dengan sangat serius. Ada kemarahan di sana. "Ahai! Bagus sekali! Seorang ayah yang meminta anaknya dibuang, seorang ayah yang menolak anak kandungnya, ingin memperkarakan ibu yang harus bersembunyi demi menjaga agar anaknya tetap bisa hidup!?" Adisti sama sekali tidak takut. Dia mengangkat kepala dan mendongak menantang Ramon. "Jika itu maumu, oke. Aku sudah menyimpan rambut putriku. Besok hasil tes DNA bisa keluar. Lalu pengacaraku akan datang ke sini, dan meminta kamu menyerahkan anakku," ujar Ramon. "Kamu tidak tahu malu, masih mengakui Cia sebagai putrimu!? Hanya karena kamu membelikan dia makanan mahal, pakaian bagus, dan tumpukan mainan, kamu merasa sudah bisa menebus kejahatan kamu pada anakmu
"Apa? Mama jatuh di kamar mandi? Kok? Terus? ... Oke ... ya, aku ke sana. Sekarang!" Vernon menutup telpon dan dengan cepat bangun dari kursinya. "Mas, Ibu Savitri kenapa?" Adisti meminta penjelasan. "Sambil jalan saja aku bicara," jawab Vernon. Adisti batal masuk ke kamar. Dia memanggil Ambar dan Vina. DIa menitipkan lagi rumah pada mereka. Lalu dia bergegas menyusul Vernon. Perjalanan mereka menuju ke rumah keluarga Hardianata. Jujur, dada Adisti berdegup begitu kencang. Kedua orang tua Vernon tidak menyukainya. Mereka belum memberi restu hubungan Adisti dan Vernon. Apa yang akan mereka katakan begitu melihat Adisti datang? "Ya Tuhan, kenapa ada saja kejadian? Kuharap Mama baik-baik saja." Vernon berkata dengan gelisah. Sementara dia terus melaju dan lebih mempercepat kendaraannya menyusuri jalan. Dengan tergesa-gesa, Vernon setengah berlari masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua menuju kamar orang tuanya. Adisti berhenti di ruang tamu, dia tidak ikut naik. Ada rasa gelisah