Bahu Adisti terasa berguncang. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Adisti membuka mata. Ernita di depannya menatap padanya dengan wajah serius. "Hei, jam berapa ini?" Adisti dengan cepat duduk. Dia usap wajahnya, memaksa melek meski mata berat. "Hampir setengah lima. Ayo." Ernita berdiri. Adisti turun dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Urusan belakang tidak bisa ditinggal. "Duh, jangan lama, Dis. Kita ga banyak waktu." Ernita berkata sambil melihat jam dinding. "Kak Hanny udah bangun belum, ya?" Ernita mengambil ponsel dan mengirim pesan. Tidak ada balasan. Bahkan tidak dibaca. "Jangan jangan molor juga. Bisa gawat, kalau telat." Ernita jadi gelisah. "Apa aku bangunin? Duh, gimana, ya?" Ernita gelisah. Antara dia yakin atau tidak untuk menengok ke kamar sebelah. Takutnya ada salah satu pelayan yang memergokinya. Ernita duduk dengan resah, bolak balik pindah posisi. Drrtt ... Ponsel Ernita bergetar. Dengan sigap Ernita meraih ponsel dan melihat notif. Hanny ternyata. Ah, l
Felicia melorot minta turun dari pangkuan Adisti. Dia terlihat gusar karena diajak pulang. "Sayang, kita harus cepat balik. Ga bisa kicara dengan Om Ramon juga. Lain kali saja, ya?" Adisti membujuk Felicia. Gadis kecil itu duduk di sebelah Adisti, di pinggir jendela. Dia memperhatikan keluar mobil. Langit belum benar-benar terang. "Ibu udah janji. Aku boleh main sama Papa. Mau jalan dan berenang. Kenapa Ibu bohong sama aku?" Felicia cemberut. Hanny menengok dari kaca spion. Kasihan juga Felicia. Tapi tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Felicia belum tentu bisa mengerti situasi yang sedang dia hadapi berhadapan dengan Ramon. "Hai, Gadis cantik kesayangan Kakak Hanny!" panggil Hanny. Dia mencoba berbicara dengan santai agar kemarahan Felicia mereda. Felicia menoleh sedikit saja ke arah Hanny, melihat dari kaca spion. Wajah imut itu manyun. “Kalau kali ini Kakak Hanny yang kasih kejutan boleh nggak?” ujar Hanny. “Kejutan apa?” balas Felicia dengan suara kesal. “Yaa, kok ja
Ramon masih tidak percaya mendengar kata-kata tajam Adisti. Dia maju dua langkah dan menghujamkan tatapan lebih dalam. "Aku ayah Cia. Kamu suka atau tidak, aku punya hak. Bahkan aku bisa menuntut kamu karena melarang seorang ayah bertemu dengan anaknya." Ramon mengucapkan kalimat itu dengan sangat serius. Ada kemarahan di sana. "Ahai! Bagus sekali! Seorang ayah yang meminta anaknya dibuang, seorang ayah yang menolak anak kandungnya, ingin memperkarakan ibu yang harus bersembunyi demi menjaga agar anaknya tetap bisa hidup!?" Adisti sama sekali tidak takut. Dia mengangkat kepala dan mendongak menantang Ramon. "Jika itu maumu, oke. Aku sudah menyimpan rambut putriku. Besok hasil tes DNA bisa keluar. Lalu pengacaraku akan datang ke sini, dan meminta kamu menyerahkan anakku," ujar Ramon. "Kamu tidak tahu malu, masih mengakui Cia sebagai putrimu!? Hanya karena kamu membelikan dia makanan mahal, pakaian bagus, dan tumpukan mainan, kamu merasa sudah bisa menebus kejahatan kamu pada anakmu
"Apa? Mama jatuh di kamar mandi? Kok? Terus? ... Oke ... ya, aku ke sana. Sekarang!" Vernon menutup telpon dan dengan cepat bangun dari kursinya. "Mas, Ibu Savitri kenapa?" Adisti meminta penjelasan. "Sambil jalan saja aku bicara," jawab Vernon. Adisti batal masuk ke kamar. Dia memanggil Ambar dan Vina. DIa menitipkan lagi rumah pada mereka. Lalu dia bergegas menyusul Vernon. Perjalanan mereka menuju ke rumah keluarga Hardianata. Jujur, dada Adisti berdegup begitu kencang. Kedua orang tua Vernon tidak menyukainya. Mereka belum memberi restu hubungan Adisti dan Vernon. Apa yang akan mereka katakan begitu melihat Adisti datang? "Ya Tuhan, kenapa ada saja kejadian? Kuharap Mama baik-baik saja." Vernon berkata dengan gelisah. Sementara dia terus melaju dan lebih mempercepat kendaraannya menyusuri jalan. Dengan tergesa-gesa, Vernon setengah berlari masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua menuju kamar orang tuanya. Adisti berhenti di ruang tamu, dia tidak ikut naik. Ada rasa gelisah
Adisti terkejut dengan pertanyaan yang Savitri ajukan. Dia bingung juga mau menjawab apa. "Ma, ga kepikir bawa apa-apa. Dapat kabar mengejutkan, aku ajak saja langsung ke sini." Vernon membantu menjawab. "Aku ga bicara sama kamu, Vernon. Aku bicara sama dia. Siapa namamu? Adisti?" Savitri menatap lagi ke arah Adisti. "Benar, Bu. Saya Adisti." Adisti maju dua langkah lebih mendekat. Sedikit degdegan juga, tapi Adisti harus bisa mencuri hati calon mertuanya. Dia bukan menantu idaman, jadi harus tahu bersikap. Varen yang ada di sebelah Savitri terus saja memandang Adisti. Jujur, tatapn itu membuat Adisti sedikit kikuk. Apa yang Varen lihat dari dirinya? Adisti merasa ini bukan kali pertama Varen melakukannya, mencermati Adisti lekat-lekat."Kamu yang membuat aku sampai sakit. Tekanan darahku drop. Gara-gara aku mikir Vernon. Kenapa bisa dia memilih kamu? Aku sama sekali tidak habis pikir." Savitri tidak mau berbasa-basi. Dia mengutarakan kegeramannya. "Sayang, tahan. Kamu masih dalam
"Ya. Seandainya Elita masih ada, dia pasti sebesar Cia. Pintar, lucu, lincah, dan cantik." Vernon membawa pikirannya pada keponakannya, anak Virda. Varen terdiam. Vernon benar. "Cia tidak mendapatkan kasih sayang utuh sejak dalam kandungan. Dia hidup ala kadarnya karena keadaan. Sedang Elita, segala yang terbaik dia dapatkan sejak dalam kandungan. Tapi Tuhan tidak mau dia lama di dunia ini. Apa salah, jika aku mewujudkan hidup yang lebih pantas Cia terima?" Panjang lebar Vernon bicara. Varen menarik napas dalam. Sejauh itu Vernon berpikir. Sama sekali tidak Varen duga. "Pa, apapun kesalahan yang terjadi di masa lalu Adisti, Cia tidak harus memikulnya. Dia layak mendapat kasih yang terbaik, perhatian penuh, agar tumbuh dengan baik, dan tidak akan mengulangi hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi padanya." Vernon melanjutkan. Varen memandang Vernon. Hatinya mulai lega, terbuka, tapi belum langsung mengiyakan. Dering ponsel Vernon terdengar. Vernon mengangkatnya. Dari nomor Hanny.
Mata Adisti menatap Vernon, tak berkedip. Ya, tentu saja jika Vernon ingin menikahi Adisti, dia harus juga minta restu dari orang tua Adisti. Tapi, Adisti bahkan belum memikirkan itu. Dia terus menyisihkan bagian itu dari hidupnya. Dia belum siap menghadapi orang tuanya. Terlebih ayahnya."Sayang ..." Vernon menepuk pelan pipi Adisti. Lembut, halus, itu yang Vernon rasa di kulitnya."Mas membuat aku kaget, serius." Adisti berkata pelan."Kamu masih ragu?" tanya Vernon."Aku ga ragu dengan rasa sayang Mas Vey sama aku. Aku, aku ragu ... apa Ayah dan Ibu akan mau menerimaku lagi." Gundah mulai merambah hati Adisti."Dis, tidakkah kamu pernah berpikir kalau orang tuamu sangat rindu kamu pulang? Tidakkah kamu juga berpikir, mereka sudah memaafkan semua kesalahan yang lalu dan berharap kamu bisa mereka peluk lagi?" Vernon kembali meraih tangan Adisti dan menggenggamnya erat.Adisti ingin menangis mendengar yang Vernon katakan. Dia harus berani beranjak dari sisi gelap itu, mengalahkannya,
Vernon ada di belakang Hanny. Dia pun terkejut mendengar Adisti berteriak. Bahkan dia mulai menangis dalam pelukan Ernita. Vernon berjalan mendekat. Dia menepuk punggung Adisti. Adisti mengangkat wajahnya dan melihat Vernon. "Mas Vey ..." Ernita melepas tangannya. Vernon yang ganti memberikan pelukan buat Adisti. Tangis Adisti berlanjut. Hatinya perih. Setelah sekian lama tidak ada komunikasi dengan keluarganya, kabar mengejutkan datang. Ayahnya tertangkap karena melakukan korupsi sampai masuk ke berita di TV. Sangat, sangat mengejutkan! "Aku harus pulang, aku harus pulang!" Adisti berkata sambil terus menangis. Dia bisa membayangkan ibunya akan panik dan kebingungan. Bagaimana nasib Ibu dan Adinda jika ayah ditahan? Adisti seharusnya ada bersama mereka. Adisti harus pulang! "Kamu beneran mau pulang?" tanya Vernon. "Iya, Mas. Aku harus ada buat Ibu dan Dinda. Mereka pasti ga karuan dengan situasi ini," jawab Adisti. "Ya Tuhan ... Ya Tuhan ...." "Kapan kamu mau berangkat?" tanya