Meity membetulkan posisinya. Dia bersandar pada bantal yang agak tinggi. Matanya sayu dan wajahnya lesu meskipun dia berusaha tetap ceria. "Ibu, aku juga ingin bicara sama Ibu. Kenapa Ibu ga bilang kalau Ibu sakit?" Adisti meraih tangan Meity dan menggenggamnya. Tangan Meity sedikit hangat. "Ah, Ibu ga apa-apa, kok. Sakit itu biasa, Disti. Makin tua, tubuh ya memang makin ringkih. Kalau sudah ga bisa menahan berat badan, paling ya ga bisa narik napas lagi," ujar Meity santai, seakan tidak ada beban dalam hatinya. "Ibu, jangan bicara begitu." Mata Adisti seketika berair. "Hei, jangan nangis. Anak Ibu yang cantik." Meity menggerak-gerakkan tangannya yang ada dalam genggaman Meity. "Itu kenyataannya, Dis. Setiap kita akan ada saatnya harus meninggalkan fisik ini, barang fana yang kita sebut tubuh. Lalu kita akan punya tubuh baru dan pindah ke alam yang lebih indah. Kenapa harus khawatir?" "Kalau Ibu ga ada, aku sama Cia gimana?" Adisti merasa hatinya perih. Sakit Meity bukan main-mai
Adisti menghentikan jarinya yang baru mulai membuat catatan di komputer. Dia memandang Hanny. "Kak, jangan marah, ya ...." Adisti sedikit takut mau mengatakan kalau Vernon sudah menyatakan cinta. "Mesti tahu dulu duduk perkara, baru aku bisa putuskan akan marah atau tidak." Hanny menopang dagu dengan tangan kanan. "Pak Vernon minta aku jadian sama dia." Hati-hati Adisti bicara. "Apa?!" Tangan Hanny terjatuh karena kaget, badannya merendah hampir dagunya menyenggol pinggir meja. "Husshhh! Kak, jangan ribut," ucap Adisti. Dia taruh dua telunjuknya di depan bibir. Hanny menegakkan badan lagi. Dia memandang Adisti lurus-lurus. "Lalu?" "Aku belum jawab. Aku masih berpikir. Aku takut salah langkah," jawab Adisti. Hanny memandang makin tajam pada Adisti yang tampak gelisah. Wajahnya sedikit merona. "Adisti, Cantik, Sayangku ...," ujar Hanny. Adisti kembali melihat pada Hanny. "Kok, aku yang degdegan ga karuan, sih? Kan, kamu yang ditembak Pak Bos," ucap Hanny. "Menurut Kak Hanny gi
Hari Sabtu. Seperti yang Adisti rencanakan, dia tetap masuk kerja mengganti jam karena ijin mengurus Meity di rumah sakit. Jam delapan kurang lima menit, Adisti sudah sampai di kantor. "Lha, Mbak Adisti kok masuk? Ini Sabtu, Mbak. Ga lupa hari, kan?" Prawira menyambut Adisti dengan cenyum cerah seperti biasa. "Nggak, Pak. Memang mau ngantor, ada kerjaan belum selesai," jawab Adisti. "Kalau gitu, biar saya antar ke atas. Sepi, ga ada orang, Mbak." Prawira menawarkan bantuan. "Oh, ga apa-apa, Pak. Aman, saya berani, kok." Adisti menolak. Senyum manis menghiasi bibir tipisnya. "Mbak, keponakan saya baik, to? Maksud saya, dia itu jadi pimpinan. Apa dia baik sama karyawan?" Prawira membicarakan Ryan, pak manajer keuangan. "Pak Ryan baik, Pak. Pak Prawira juga baik," sahut Adisti. "Mari, Pak." "Silakan, Mbak," ujar Prawira sambil mengacungkan tangan menunjuk arah kantor di depan mereka. Adisti meneruskan langkah. Dia tahu sebenarnya Prawira secara halus berharap Adisti melihat pada R
Dua pasang mata Vernon dan Adisti bertatapan. Detak jantung mereka berpadu. Vernon merasakan hatinya bergemuruh begitu kuat. Ini belum pernah dia rasakan. Bukan, dia pernah merasakan ini saat dengan Rima, tetapi sukacita di hatinya, sangat berbeda. Luapan itu, bukan karena nafsu dan hasratnya sebagai pria, tapi karena rasa sayang yang dalam, rasa ingin menjaga wanita yang ada di depannya. Tangan Vernon dan Adisti masih menyatu. Dada Adisti pun berdetak cepat, melaju, seperti mobil di jalan tol, tanpa hambatan menerjang aspal dengan kencang. Dia menatap manik tajam milik Vernon dan tidak ingin mengalihkan pandangan ke tempat lain. Adisti ingin menikmati tatapan penuh cinta yang dia sadar muncul di mata Vernon. "Aku sayang sama kamu, Adisti. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi cinta di hatiku makin kuat, dan aku bersyukur memiliki cinta buat kamu." Kembali suara lembut Vernon terdengar. Adisti tidak menjawab, dia terpana. Seolah-olah dia masuk dalam sebuah film romantis yang
Sepanjang hari itu, Adisti sulit berkonsentrasi dengan pekerjaan. Pikirannya terus terbawa pada kejadian manis di kantor Vernon. Setiap kata yang Vernon ucapkan, pegangan tangan, dan juga pelukan, semua membayangi Adisti. Apalagi kecupan lembut dan penuh cinta Pak Bos. Adisti merasa berulang kali jantungnya terus bergemuruh. Adisti tidak bisa mencapai target yang dia kejar, hanya separuh jalan. Jujur saja, ada rasa kesal, sebab dia harus menata ulang jadwal di minggu berikutnya, dan perlu mengejar daftar yang belum tersentuh. "Ah, aku harus menenangkan diriku." Adisti memutuskan. Ernita. Dia ingat sahabatnya itu dan segera menghubungi ke kontak Ernita. "Ga diangkat? Sabtu gini sibuk apa? Keasyikan nonton kali dia, ihhh ...." gerutu Adisti. Sekali lagi, Adisti mencoba menelpon. Sampai yang ketiga kali berikutnya barulah ada jawaban. "Hai! Sorry, Dis! Aku di luar! Lagi seru, nih!!" Ernita berkata dengan keras, seperti mau mengalahkan suara riuh di sekitarnya. Adisti bisa menduga Er
Makan siang berlanjut, tidak sampai sepuluh menit mereka tuntaskan. "Aku jadi ga pengin lanjut kerja. Gimana kalau kita pulang aja?" usul Vernon. Adisti kembali tersenyum, tipis tapi menawan. Ternyata Pak Bos sama juga, tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan. "Iya, baiklah. Lebih baik pulang. Aku memang ga rencana sampai sore, biar bisa main sama Cia. Bu Meity juga harus aku pastikan dia baik-baik saja." Adisti sepakat. "Oke, aku balik ruanganku bentar. Lalu kita pulang," kata Vernon sambil bangun dari duduk. "Ya, oke." Adisti mengangguk. Segera mereka pun bersiap pulang. Vernon sudah menyiapkan rencana di kepalanya. Dia akan memberi kejutan lagi pada Adisti. Mereka turun dari lantai lima, menuju ke tempat parkir. Vernon berjalan ke arah mobilnya, Adisti menuju si roda dua. Vernon menoleh pada Adisti yang ada di belakangnya, berjarak lima langkah. "Adisti, ini sudah di luar kantor." Adisti memandang Vernon. "Aku mau dengar panggilan spesial lagi, nih." Vernon memasang wajah ser
Rona wajah Adisti merona. Senyum malu-malu muncul di bibirnya. "Kita pergi sekarang?" Adisti tidak menjawab pertanyaan Vernon. "Oke. Kita pergi." Vernon mengulurkan tangan pada Felicia dan menggandeng gadis kecil itu menuju ke mobil. "Aku di depan, ya?" pinta Felicia. Dia suka duduk di depan, bisa melihat jalanan lebih jelas. "Baiklah. Ibu ga sedih, kan?" Vernon meirik Adisti yang berjalan di belakangnya. "Sedih apa?" sahut Adisti. "Ga bisa duduk di sebelahku," goda Vernon. "Iisshh ...." Adisti mencibir. Vernon tergelak. Mereka masuk ke dalam mobil dan segera kendaraan itu menyusuri jalanan yang belum begitu padat. Hari belum jam delapan, belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Felicia terlihat sangat gembira. Dia bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggoyang-goyangkan kepala dan menggerak-gerakkan tangannya mengikuti kata dan nada lagu yang dia nyanyikan. "Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali ...." Suara lucu dan manis terdengar mengalun dari bibir mungil Felicia.
Adisti tidak bisa menduga apa yang terjadi dengan Felicia. Aneh sekali tiba-tiba bocah ceria itu berubah seketika menjadi galau. "Nggak, Ibu ga akan marah. Katakan kenapa, Sayang?" Adisti mengusap pipi Felicia. Mata Felicia beralih ke arah pantai. Adisti dan Vernon mengikuti ke mana pandangan Felicia tertuju. "Itu ...." Tangan mungil Felicia terulur ke depan. "Mereka main sama ayahnya." Deg. Jantung Adisti berdegup. Adisti baru paham apa yang ada di kepala putrinya. Felicia iri melihat anak-anak yang gembira bermain bersama ayah mereka. Mata Felicia kembali memandang Adisti. "Maaf, Bu .... Aku juga pingin main sama ayah," kata Felicia dengan suara sedih, dan butiran bening menitik di ujung mata bulat gadis kecil itu. Adisti menarik napas dalam. Hatinya pun ikut pilu. Jika diingat, saat Adisti seusia Felicia, adalah masa-masa paling menyenangkan. Dia sering pergi jalan-jalan dengan ayah dan ibunya. Hampir setiap akhir minggu. Sedang Felicia .... "Sayang, sini ...." Vernon meraih