“Bapak tadi telepon aku marah-marah katanya Ibu pulang dari rumah menemui kamu, malah kamu hina-hina. Aku juga nggak jelas hinaan seperti apa yang kamu katakan pada Ibu, yang jelas Bapak marah sekali. Kata Bapak suruh istrimu jaga kelakuannya. Makanya aku juga bingung, ini sebenarnya ada apa?” Ya Allah apalagi ini. Tidak ada habis-habisnya. “Kamu itu sudah-sudahlah cari masalah dengan Ibu, kamu sudah tahu Ibu itu orangnya sensitif, kamunya malah membuat Ibu menangis, sampai-sampai Bapak tadi teriak-teriak tadi menjelaskan sama aku, aku ini sudah capek kerja jadi tolong jangan tambah bikin aku capek, pusing.” Ya Allah, belum sempat aku menjawab, Mas Didik menutup panggilan dengan sempurna. Mas Didik juga kelihatan sama kesalnya dengan bapak mertuaku, terlihat dari caranya berbicara denganku. Yang membuatku tak terima adalah seakan-akan akulah yang membuat masalah di sini. Memangnya apa salahku, apa yang diceritakan ibu ke pada bapak sampai-sampai bapak yang biasanya sabar turut pul
“Astaghfirullah.” Hanya itu saja ucapan yang ke luar dari mulutku.Aku benar-benar tak menyangka ibu akan sekeji itu padaku, menuduhku memukul dan menghinanya. Kurasa kali ini aku sudah tidak bisa lagi membiarkannya menzolimi dengan cara memfitnahku terus menerus. Lama-lama aku yang gila harus berhadapan terus dengan ibu mertuaku yang kuanggap sudah tidak waras tersebut. Nyeri rasa dadaku menahan sakit yang teramat. “Adikku serta beberapa tetangga bisa menjadi saksi, Bu Nia. Kami hanya berbicara dan ketika para tetanggaku mengatakan bahwa mereka sudah tidak peduli lagi dengan kata-katanya, ibu langsung pergi begitu saja tanpa bicara apapun, terus kok bisa-bisanya menuduh aku menampar sampai biru matanya, apa nggak aneh itu kedengarannya.” Bu Nia nampak diam seperti berpikir.“Jelas kok Saya dengar Ibumu ngomong begitu, bahkan Bu Trisno sama Bu Ida juga ada di sana, hanya mereka berdua diam saja tidak menanggapi, sebetulnya Saya sendiri tidak terlalu menanggapi, Bu. Hanya memang tand
Dalam perjalanan pulang, aku dan Farida tidak saling berbicara. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku masih teringat bagaimana wajah Mas Didik saat mengucapkan talak padaku, benar-benar datar sepertinya sudah ia pikirkan sebelumnya. Mungkin saja dia memang sudah tak sanggup lagi hidup bersamaku denganku lagi. Aku pasti dianggap menantu durhaka dan hanya bisa melawan ibunya saja. Sudahlah, apa yang sudah terjadi tidak bisa kuulang atau kusesali kembali. Mas Didik lebih memilih keluarganya dan aku harus terima itu. Hanya saja yang membuatku sedih, dia sama sekali tak menoleh sedikitpun ke arah anak semata wayangnya tadi. Apa aku yang selama ini terlalu berharap banyak padanya sedangkan ia tak peduli pada kami, aku dan Arthur. Apa yang ia lakukan sebelumnya dengan memprioritaskan keluarganya, kepentingan ibunya, kepentingan adik-adiknya kini terbukti. Aku bukan lagi siapa-siapanya dia kini. Persis di depan keluarganya juga adik kandungku, ia menalak diriku tanpa tanggung-ta
Sejak Mas Didik mengucapkan talak padaku dua bulan yang lalu, aku sudah memblokir semua kontak nomor yang berhubungan dengan dia dan semua anggota keluarganya. Makanan dan kue yang menjadi tanggung jawabku untuk pernikahan Iwan waktu itu tetap aku kerjakan bersama adik-adikku sampai selesai dan aku meminta beberapa orang suruhan untuk mengantarkan semua pesanan dari ibu mertuaku itu.Di sela kegiatanku sekarang, aku menjual berbagai aneka bolu yang dipasarkan oleh adikku, Emi ke sejumlah media sosial yang ia miliki, begitu juga dengan aku dan Farida. Kami benar-benar solid bekerjasama memajukan usaha baruku ini. Kesibukanku, membuatku tak lagi sedikitpun memikirkan masalahku, aku juga yakin Mas Didik yang menalakku akan mengurus berkas perceraian kami nanti di pengadilan agama dan aku tidak perlu bersusah payah datang, yang terpenting sekarang aku sudah bebas dari ibu mertua yang toxic itu dan hidupku jauh lebih tenang. Semua olahan makanan yang kukirim ke rumah mantan ibu mertuaku
[Ada sudah yang kepanasan kayaknya, makanya kalau belum siap jualan itu ya nggak usah … gaya-gayaan mau jualan tapi hasilnya nggak enak, tengik kayaknya bolu yang sudah lama tersimpan di lemari nggak laku tapi dijual juga, demi uang apapun itu dilakukan, mau muntah rasanya melihat kebiasaan jorok kalian pembuat kue bolu]Jawabannya semakin berani, Emi ingin membalas lagi tapi kularang. Sepertinya akun bernama Cinta ini memang ingin cari masalah dengan kami jadi mau dijawab seperti apapun, akan percuma. Aku menyuruh Emi dan Farida mengambil tangkapan layar dari berbagai pesan yang masuk, mulai pembeli baru maupun langganan kami. “Setelah itu posting, tulis ucapan terima kasih ke pada semua pelanggan yang sudah memesan di tempat kami. Kupikir kalau hanya dia satu orang … rasa-rasanya tidak perlu kita takutkan, doakan saja semoga orang itu sehat-sehat terus biar jiwanya tenang dan tidak lagi mencari masalah dengan kita. Tapi, pastikan langsung blokir orang itu supaya nggak membuat kerus
Para tetanggaku mulai berdatangan satu persatu, mereka mulai kasak kusuk berbisik. Kiki yang biasanya kepo dengan urusan orang lain turut mendatangi kami. Meski begitu, Kiki pelan-pelan sudah berubah menjadi tetangga yang baik. Apalagi sejak dia tahu bahwa aku menjadi single parent dua bulan belakangan ini. “Mbak Mayang, siapa yang tega berbuat seperti ini?” Aku tak mampu menjawabnya, hanya bisa menggelengkan kepalaku saja. Tak tahu harus bicara apalagi. “ Yang sabar ya, Mbak. Mbak Mayang jangan pernah mendiamkan hal seperti ini, nanti pelakunya semakin berani dan pelan-pelan menghancurkan nama baik Mbak Mayang. Aku siap menemani Mbak Mayang ke kantor polisi, aku siap jadi saksi bahwa apa yang Mbak buat selama ini adalah makanan terbaik, apa yang dilakukan orang ini adalah ulah orang yang hanya iri pada kehidupan Mbak sekarang ini.” Tukas Kiki sembari memegang pundakku, berusaha menenangkan ku.“Iya, Mbak. Coba ingat-ingat lagi siapa kira-kira yang punya dendam sama Mbak, kalau dari
“Dari kepolisian sudah mengabari kalau orang yang menyebarkan fitnah di dua akun ternyata adalah dua orang yang berbeda namun tinggal di alamat yang sama dan Kakak pasti kaget kalau tahu siapa orangnya.” Ujar Farida. “Siapa?” tanyaku penasaran. “Mantan iparmu, Kak. Farah Lestari dan Shinta Utami.” Farida mengucapkannya dengan lantang. Mulutku menganga kaget. Hah??? Aku tak menyangka jika Farah, menantu kesayangan ditambah dengan Shinta yang baru saja beberapa bulan bergabung dalam keluarga mantan ibu mertuaku ternyata sekongkol ingin menjatuhkan usahaku. Ku kira hanya ibu kandung Mas Didik saja yang membenci dan selalu berusaha ingin memperlihatkan betapa kerdilnya aku di hadapan semua orang, Farah dan Shintapun turut andil di dalamnya. “Kaget, kan? jangankan Kakak lah aku aja tadi juga nggak menyangka sama sekali. Kok bisa-bisanya orang yang sudah dua bulan nggak ketemuan tapi masih sempat membuat masalah denganmu kak, memang sampai kapanpun hidupmu nggak akan aman selagi
“Mana dia? Mana perempuan yang tidak tahu diri itu, berani-beraninya melaporkan menantuku ke kantor polisi. Suruh dia ke luar.” Dua bulan tidak bertemu dengannya, Aku tetap hapal dengan suara perempuan tua di luar sana. Ya, dia suara mantan ibu mertuaku.Brigadir Ahmad serta beberapa petugas termasuk aku dan Farida ke luar melihat keributan, sedangkan Farah dan Shinta tetap di dalam ruangan dijaga oleh satu orang petugas. Kulihat ibu kandung Mas Didik bersama Mas Didik berdiri persis di depan kantor polisi sembari berkacak pinggang terlihat menantang. Ciri khasnya dia.“Nahh … ini dia perempuan tidak tahu malu itu, merasa hebat kamu ya sudah melaporkan kedua menantuku dan mau memenjarakan dia, dasar orang nggak punya otak. Tidak tahu balas budi, sudah dikasih makan gratis, tinggal gratis malah tidak tahu diri, tidak sadar diri malahan mau penjarakan menantuku, orang kalau hanya lulusan SMP ya begitu, nggak ada otaknya sama sekali.” Ia terus menunjuk-nunjuk aku dengan gaya angkuhnya.