Sore itu aku dan Farida mengantarkan pesanan Bu Trisno dan Bu Ida sekaligus, rumahnya yang tak begitu jauh dari rumah mantan ibu mertua tentu saja membuatku sedikit khawatir jika saja aku akan bertemu dengan salah satu dari mereka.Begitu melangkahkan kaki ke rumah Bu Trisno yang asri dengan banyaknya pepohonan yang sengaja ditanam membuat aku dan Farida betah berlama-lama di sana menikmati pemandangan sekaligus menghirup udara segar.“Ehh … kalian sudah datang? ayo masuk… kenapa berdiri di luar saja.” Bu Trisno menyapa kami yang masih betah berdiam diri di terasnya.“Pemandangan rumah Ibu bagus sekali makanya betah berlama-lama di sini, anginnya juga sepoi-sepoi bikin mata mengantuk.” Sahutku, dia tersenyum lalu mempersilahkan kami duduk di kursi teras.“Kebiasaan Ibu-ibu tua macam Saya ya hobinya menanam, hitung-hitung buat melindungi panas dari sengatan matahari, selain itu bisa juga menikmati keasrian dengan berjejernya pepohonan. Oya gimana dengan orderan Ibu, sudah siap?” tanya
“Ada apa, Kak? Kenapa Kakak kelihatan cemas begitu?” aku tak lagi menjawab pertanyaan Farida. Aku langsung memintanya tancap gas.“Kita pulang sekarang, Emi bilang Arthur jatuh dan kepalanya bocor, cepat ya laju.” Perintahku dan Farida menurut. Dalam perjalanan menuju pulang yang hanya berkisar dua puluh menit saja rasanya seperti dua hari, aku berharap bisa memejamkan mata dan motor yang aku tumpangi seketika sudah sampai di depan rumah, air mataku mulai tak terbendung. Khawatir berlebihan muncul terjadi sesuatu pada buah hatiku.Begitu kami sampai di halaman sudah banyak tetangga yang berkerumun dan aku berlari begitu saja saat Farida baru saja memberhentikan motornya, aku mencari anakku langsung masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu kulihat Emi sesekali menyeka air matanya sembari mengganti pakaian Arthur yang sudah penuh dengan darah. Aku langsung memeluk anakku yang menangis, dia pasti merasakan kesakitan yang luar biasa dan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena pen
Mataku membuka lebar saat melihat Kiki, tetanggaku tengah memperhatikan rumahku beberapa menit, entah apa maksudnya. Tiba-tiba saja timbul rasa curigaku saat mengetahui kalau Arthur celaka di tangannya, Emi yang kebelet pipis waktu itu menyerahkan penjagaan sebentar saja ke tetangga kepo ku itu. Aku langsung berpura-pura ke luar rumah lalu melihat ke arahnya, herannya dia langsung mengalihkan pandangan ke lain dan seakan tidak melihatku. Ada yang aneh dengan orang itu, aku yakin celakanya Arthur ada hubungannya dengannya.Aku kembali masuk mengambil beberapa baskom dan Loyang untuk menyusun jualan gorenganku, di dapur aku melihat Emi yang tengah mempersiapkan potongan daun sop ke dalam mangkuk. Begitu melihatku, ia tersenyum. Memang pagi ini giliran Emi yang membantuku berjualan sedangkan Farida menjaga Arthur yang saat ini mungkin masih tidur kembali setelah bermain subuh tadi.“Mi, Kakak boleh tahu kejadian waktu Arthur celaka itu gimana kronologisnya.” Emi langsung berhenti memot
“Setahuku tadi Mas Didik hanya tahu kalau Arthur jatuh di bawah tangga dan aku tidak pernah bilang kalau Arthur kepalanya bocor dan dijahit sama dokter, Ibu dapat informasi dari mana?” tanyaku sembari memindai mereka satu persatu. Kulihat dengan jelas wajah Ibu terlihat gugup. “Ya … dari tetanggamu sekitar sini pas kami lewat tadi ada yang menyampaikan.” Sebutnya buru-buru. Ia meminta dukungan dari kedua menantu kesayangannya yang hanya bisa manggut-manggut saja.Aku tak percaya begitu saja karena aku sangat yakin jika aku tak pernah membuka mulut saat Mas Didik bertanya tadi dan soal Arthur jatuh belum ada yang tahu terutama dari keluarga mantan suamiku itu kecuali memang tetangga sekitar. “Dapat informasinya dari Mbak Kiki, kan?” pertanyaanku seakan memojokkan mantan ibu mertuaku itu. wajahnya semakin bias. “Kamu itu malah dikasih tahu, balik nanya berulang kali. Ibu ke sini itu cuma mau mengingatkan kamu kalau menjaga anak aja sudah nggak becus, terus buat apa sibuk berjualan. Y
“Ya, Bu. Jadi motor yang diambil oleh Pak Didik itu satunya atas nama dia dan satunya lagi atas nama Ibu. Kedua motor itu sama mereknya hanya beda warna saja. Tapi hanya atas namanya saja yang rutin dia bayar sedangkan atas nama Ibu, sama sekali belum dia angsur.” Hah??? “Maaf, Pak. Tapi Saya bener-bener nggak tahu kalau nama Saya dipakai buat mengambil kreditan motor, kok bisa sih Bapak percaya gitu aja memberikan kreditan sementara Saya hanya IRT yang tidak mungkin bisa membayar angsuran, lagipula memang Saya memang tidak pernah berurusan mengambil langsung motor dari tempat Bapak, Bapak silahkan cek juga tidak ada motor yang Bapak maksud.” Aku semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh petugas dari dealer sepeda motor ini.“Kami sudah terbiasa memberikan kreditan ke pada orang yang memang terbiasa mengambil produk kami, Pak Didik ini salah satu pelanggan kami dan waktu itu jelas-jelas dia memberikan jaminan bahwa Ibu juga sedang membutuhkan motor, bahkan Pak Didik sudah ditit
Aku sudah bilang nggak punya uang, beli bensin aja rasanya susah apalagi harus bayar kreditan motor, kalau Mas pakai KTP si Mayang lahh suruh aja dia yang bayar.” Aku mendengarnya langsung tak terima. Nih anak langsung tidak ada sopan santunnya memanggilku langsung tanpa embel-embel mbak di depan namaku, mentang-mentang aku bukan lagi masuk dalam anggota keluarganya.“Enak aja mau melimpahkan tanggung jawab ke aku yang nggak tahu apa-apa, ingat ya aku bisa melaporkan Mas mu itu ke polisi karena sudah berani-beraninya menggunakan KTP ku untuk mengambil motor yang bukan atas kemauanku.” Sahutku tak mau kalah. “Hei … ada apalagi ini, kamu ini Mayang setiap kamu datang selalu saja tak lepas dari kata Polisi di mulut dan otakmu itu, katakan pada Ibu, ini sebenarnya ada apa.” Ibu datang lalu Mas Didik, Iwan kontan mulutnya terkunci. Rasain. “Tanyakan aja sama anak kamu yang sekolahnya tinggi ini.” Aku sengaja membuat ibu penasaran, pandangannya beralih ke pada ke dua anaknya yang kini s
“Nggak menyangka sama sekali ya, Kak. Itu si Didik kok bisa-bisanya pakai KTP Kakak buat ambil motor lagi dan ternyata motor yang dia ambil untuk adiknya yang baru nikah itu, lagak mereka kok bikin kesal ya, Kak?” sungut Farida. Aku hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.“Entahlah, Da. Mereka itu sudah serasa punya uang yang banyak. Mas Didik juga nggak pernah bilang kalau ambil dua motor sekaligus, kan sebelumnya hanya ambil satu aja. Tapi, sudahlah itu sekarang semua urusan mereka. Kita fokus urusan kita saja, setidaknya Kakak jadi tahu seperti apa mereka itu.” Sahutku seraya turun dari motor saat Farida baru saja mematikan mesin motornya dan kami sudah berada persis di halaman rumah.“Aku kok jadi pengen ketawa mulu ya, Kak. Lihat ekspresi mantan Ibu Mertuamu itu, aku yakin sekarang dia pasti marah, malu bercampur aduk. Marah karena harus mengeluarkan uang yang banyak untuk membayar cicilan dan denda yang dihindari si Iwan, malu mau tak mau duit yang mungkin punya si Didi
“Tunggu … apa mendorong Arthur dari kereta bayinya sampai kepala anakku bocor juga jadi bagian rencana Ibu?” Kiki langsung mengangkat kepalanya, wajahnya langsung pucat pasi dan dia kembali menunduk, tak menjawab. “Kalau ditanya itu jawab, Mbak.” Farida seakan tak sabaran. Aku menunggu seraya menghela napas panjang.“Maafkan aku, Mbak. Kalau itu tidak ada Bu Sutinah menyuruhku. Aku sendiri yang kesal karena Emi tak mau meminjamkan uang. Tapi… sumpah, Mbak. Aku sama sekali nggak bermaksud membuatnya sampai celaka begitu, aku hanya ingin membuatnya menangis dengan jatuh dari kereta bayi, hanya itu saja.” Aku langsung memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Tanpa basa basi setelahnya aku langsung menampar wajah tetanggaku yang kepo ini. Kiki memegang wajahnya yang memerah. Farida bahkan kaget dengan apa yang aku lakukan. “Kamu melakukan apa saja untuk anakmu, begitu juga dengan aku. Tamparan itu mewakili rasa sakitku karena apa yang sudah kamu lakukan terhadap anakku, dia masih