“Nggak menyangka sama sekali ya, Kak. Itu si Didik kok bisa-bisanya pakai KTP Kakak buat ambil motor lagi dan ternyata motor yang dia ambil untuk adiknya yang baru nikah itu, lagak mereka kok bikin kesal ya, Kak?” sungut Farida. Aku hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.“Entahlah, Da. Mereka itu sudah serasa punya uang yang banyak. Mas Didik juga nggak pernah bilang kalau ambil dua motor sekaligus, kan sebelumnya hanya ambil satu aja. Tapi, sudahlah itu sekarang semua urusan mereka. Kita fokus urusan kita saja, setidaknya Kakak jadi tahu seperti apa mereka itu.” Sahutku seraya turun dari motor saat Farida baru saja mematikan mesin motornya dan kami sudah berada persis di halaman rumah.“Aku kok jadi pengen ketawa mulu ya, Kak. Lihat ekspresi mantan Ibu Mertuamu itu, aku yakin sekarang dia pasti marah, malu bercampur aduk. Marah karena harus mengeluarkan uang yang banyak untuk membayar cicilan dan denda yang dihindari si Iwan, malu mau tak mau duit yang mungkin punya si Didi
“Tunggu … apa mendorong Arthur dari kereta bayinya sampai kepala anakku bocor juga jadi bagian rencana Ibu?” Kiki langsung mengangkat kepalanya, wajahnya langsung pucat pasi dan dia kembali menunduk, tak menjawab. “Kalau ditanya itu jawab, Mbak.” Farida seakan tak sabaran. Aku menunggu seraya menghela napas panjang.“Maafkan aku, Mbak. Kalau itu tidak ada Bu Sutinah menyuruhku. Aku sendiri yang kesal karena Emi tak mau meminjamkan uang. Tapi… sumpah, Mbak. Aku sama sekali nggak bermaksud membuatnya sampai celaka begitu, aku hanya ingin membuatnya menangis dengan jatuh dari kereta bayi, hanya itu saja.” Aku langsung memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Tanpa basa basi setelahnya aku langsung menampar wajah tetanggaku yang kepo ini. Kiki memegang wajahnya yang memerah. Farida bahkan kaget dengan apa yang aku lakukan. “Kamu melakukan apa saja untuk anakmu, begitu juga dengan aku. Tamparan itu mewakili rasa sakitku karena apa yang sudah kamu lakukan terhadap anakku, dia masih
“Apa benar begitu, Bu?” tanya Bapak dengan suara lantang. Ibu kelihatan ketakutan. Tapi … sekian menit kemudian dia dengan santainya memperbaiki posisi duduknya lalu membuka suara. “Apa Bapak yakin percaya sama mantan menantu kayak si Mayang ini yang sudah jelas-jelas mencelakai Ibu waktu itu, kalau memang betul Ibu yang ingin membayar tetangganya ini, memangnya ada bukti?” Mataku membulat sempurna, kok bisa dengan entengnya dia mengelak bahkan dengan gaya yang sangat santai. Sepertinya dia pemain sandiwara terbaik, wajib dapat penghargaan ini. Mata Bapak kini beralih padaku, tatapan tak suka. “Bagaimana, Mbak Kiki? Apa kamu ada bukti?” tanya Ibu dengan santai. Dengan pelan bisa kulihat Kiki menggeleng lemah. Ibu langsung tersenyum samar. “Waktu itu hanya aku dan kedua menantu Ibu aja yang bicara, tidak ada saksi dan uangnya juga dikasih begitu saja tanpa adanya bukti.” Aku merutuk apa yang dilakukan oleh tetanggaku itu, bisa-bisanya tidak ada bukti sama sekali. Sekarang bersiap
Pov Sutinah Pagi-pagi sekali fokusku sudah teralihkan oleh suara orang mual di kamar mandi berulang kali. Aku melangkah mendekat dan membuka sedikit pintu kamar mandi yang belum tertutup sepenuhnya. Kulihat Farah, istri Purwanto sedang berjongkok sembari memegang gayung penuh air di tangan kirinya dan kulihat dia berusaha memuntahkan sesuatu dari mulutnya, hanya saja tak bisa.Aku langsung berinisiatif memijat tengkuk lehernya, tak lama muntahan nasi ayam yang baru saja dia telan sebelumnya sebagai sarapannya, ke luar begitu saja. Tak lama ia ke luar dari kamar mandi.“Siramkan muntahanku, Bu. Kepalaku pusing aku mau tidur, istirahat.” Tanpa banyak bicara aku mengambil gayung berisi air yang ada di tangannya, kemudian membersihkan bekas muntahan yang sudah menyebar di lantai kamar mandi.Setelahnya, aku pergi ke dapur ingin membuatkan air hangat buat menantuku itu, sepertinya dia sedang tidak enak badan terlihat dari gaya berjalannya yang sedikit limbung. Begitu air hangat siap, aku
“Persyaratan diterima bekerja di salonnya ya harus masih cewek, Bu. Kalau ketahuan sudah punya suami dan anak, sementara kontraknya masih berjalan. Farah harus mengganti uang kerugian karena berbohong dengan bayar denda yang cukup banyak termasuk mengembalikan lima puluh persen dari gaji yang selama ini dia dapatkan.” Aku benar-benar pusing. Kok bisa? “Jadi selama ini Farah mengaku sebagai gadis ketika bekerja di salon? Kok bisa?” cecar ku tak habis pikir.“Ya bisalah, Bu. Karena mencari kerjaan itu nggak gampang. Setingkat Farah yang lulusan sarjana muda saja musti bolak balik mencari pekerjaan ke sana ke sini, kalau nggak berbohong mana mungkin bisa dapat kerjaan, lagian Farah itu juga nggak ada keahlian yang dia punya. Makanya dia selalu ditolak tiap melamar, sudah untung dia kerja di salon meski kerjanya hanya memijat orang tapi minimal dia ada kerja dan bisa menghasilkan.” Sahut Purwanto. Aku diam tak bisa menjawab omongannya, benar-benar kaget.“Tapi, masih banyak kerjaan yan
“Bu, bangun … Bu.” Aku mengerjapkan mata memperhatikan dengan samar Farah mengendong Sekar sudah ada di hadapanku, aku yang tadinya terlelap seakan bermimpi. Tanpa basa basi ia langsung menyerahkan Sekar ke padaku. Mataku belum sepenuhnya terbuka, seketika langsung kaget begitu saja.“Malam ini Sekar tidur sama Ibu, aku nggak mau mengurusnya. Jangan lupa ambil dot sama termos air panasnya di kamar, kepalaku pusing mau tidur, cepat ya sebelum aku tutup pintu kamar,” perintahnya. Aku hanya bisa mengelus dada berusaha sabar.“Termos sama dotnya bisa kamu bawa sekalian atau suruh aja suamimu yang antar, Ibu lagi nggak enak badan agak demam.” Ujarku seraya menidurkan Sekar di sampingku. “Nggak bisa, Bu. Ini jadwal Purwanto main game, katanya tadi lagi ada turnamen dan dia nggak bisa diganggu malah biasanya dia main sampai subuh itu, Ibu aja ke kamarku cepat … pusing kepalaku.” Tanpa mendengar jawabanku, ia langsung ke luar kamar menuju ke kamarnya. Mau tak mau aku bangkit dari tempat ti
Part 57 Pov Sutinah“Bu, cucikan baju yang mau kupakai buat kerja besok ya,” Iwan, anak bungsuku tiba-tiba datang dan menambah tumpukan cucian yang sudah kuhadapi sejak pagi dan sudah beberapa jam namun belum ada tanda-tanda mau selesai. “Kamu nggak lihat cucian Ibu juga banyak, sudah empat hari Ibu nggak mencuci. Suruh aja istrimu yang menyiapkan baju kerjamu, jangan Ibu deh.” Sahutku masih fokus menyikat jeans milik Purwanto. “Ya, Iwan lihat kalau Ibu banyak cucian, tapi kan Ibu bisa tuh nyucikan baju Purwanto yang pengangguran, bedakan sama aku yang bekerja tapi Ibu malah menyuruh istriku yang menyiapkan, seharusnya Ibu jangan membeda-bedakan kasih sayang, si Farah hamil dan istriku juga lagi hamil, kalau Farah aja bisa tuh kasih semua pekerjaan ke Ibu, terus masa iya istriku yang juga tengah hamil harus mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan Farah?” pertanyaan lebih tepatnya pernyataan yang ia katakan padaku membuat tanganku berhenti.“Kamu anggap Ibu ini pembantu, kah? Ko
Part 58 Aku membisu, tak tahu apalagi yang harus aku lakukan. Meminta uang ke Didik rasanya itu tidak mungkin karena dua minggu lagi baru Didik gajian, tadi pagi saja meminta uang dua ratus ribu untuk mengganti termos air panas yang rusak, Didik sudah menggerutu. Apalagi sampai tiga juta dua ratus, bisa ngamuk dia.Aku harus pikirkan bagaimana caranya supaya aku selamat dari amukan ibu-ibu arisan karena aku seharusnya memberikan uang tiga juta dua ratus itu nanti sore. Semua terasa buntu, aku tidak mungkin mendapatkan uang hanya dalam beberapa jam ke depan. Aku meraih telpon kentang milikku, setelahnya menghubungi Didik yang saat ini mungkin tengah bekerja. Hanya satu kali deringan saja, Didik sudah mengangkatnya dengan sigap.“Ada apa, Bu?” sambarnya tanpa membalaskan salamku. Aku menghela napas khawatir apa yang akan aku omongkan tidak ia setujui.“Dik, uang tiga juta dua ratus dari uang arisan yang Ibu pakai buat membayar uang motor kemarin itu belum bisa diganti sama Iwan, katan