Setelah kembali dari kepergiannya sejak pagi, Marsha langsung menemui suaminya di ruang kerja di rumahnya. Kedatangan Marsha disambut oleh Asher dengan tatapan dinginnya. Marsha meletakkan tasnya dengan kasar di atas meja kerja Asher. "Aku tidak habis pikir dengan Mamamu," seru Marsha tiba-tiba. Mendengar hal itu, iris hitam Asher meliriknya seketika. Pena yang semua ia goreskan untuk menulis sesuatu pun terhenti. "Apa maksudmu?" tanya Asher dengan tatapan dingin dan tajam. "Aku bertemu Mama dan Aleena di pusat perbelanjaan kota pagi tadi, Sayang. Aku tidak tahu bagaimana bisa Aleena masih ada di sini. Padahal dia sudah kita pindahkan ke Palonia," seru Marsha. Wanita itu berdiri di samping Asher dan mendecakkan lidah berkali-kali. "Padahal aku menantunya, tapi kenapa Mama malah dekat dengan Aleena!" seru Marsha tak terima. Sementara Asher terdiam dan ada rasa terkejut dalam dirinya mendengar kabar yang Marsha katakan barusan kalau Aleena pergi ke pusat perbelanjaan bersama Ma
Setelah kejadian semalam, pagi ini Aleena langsung pergi ke Murniche, ia berpamitan pada Bibi Baritha dan Paman Jammie untuk berhenti bekerja. Setelah libur berhari-hari, Bibi Baritha padahal sangat menanti-nanti kehadiran Aleena lagi. Dan kini, Aleena hanya bisa tertunduk di hadapan mereka. "Paman, Bibi ... aku minta maaf yang sebesar-besarnya karena aku tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini," ujar Aleena lirih dan sedih. Mereka berdua sangat terkejut. Terutama Bibi Baritha yang langsung mencekal kedua tangan Aleena. "Kenapa, Aleena? Kenapa tiba-tiba begini?" tanya wanita itu. "Apa terjadi masalah denganmu?" Aleena menggeleng dan tersenyum lembut. "Tidak, Bi. Tidak terjadi apapun, hanya saja aku sekarang pindah rumah." "Pindah ke mana, Nak ... sampai-sampai kau berhenti bekerja?" tanya Paman Jammie duduk di hadapan Aleena dengan ekspresi penasaran. "Di Palonia, Paman." Kedua orang itu menutup mulutnya, mereka tidak pernah mendengar kabar Aleena memiliki kerabat di sana. Tetapi
Selama dua mingguan Camelia meminta anak buahnya untuk mengawasi Aleena yang sekarang sudah menetap di Palonia. Wanita itu tidak mendapatkan kabar apapun dari ajudannya, kabar yang disampaikan setiap hari selalu sama. "Jadi, baik Marsha atau Asher tidak ada yang pernah berkunjung ke sana?" tanya Camelia pada Zayn, ajudannya. "Tidak ada sama sekali, Nyonya. Bahkan jauh sebelum itu juga tidak pernah. Nona Aleena sering keluar sendiri setiap hari, kabarnya ... Nona Aleena dan Bibi Julien sering menerima pesanan kue dari orang-orang terdekat di sekitar sana." Mendengar penjelasan Zayn itu, Camelia mendengus pelan. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan gadis pekerja keras seperti Aleena. "Gadis itu, apa dia tidak lelah?" gumamnya lirih. Camelia mengusap wajahnya kasar. Perlahan, ia beranjak dari duduknya dan menatap ke arah ajudannya tersebut. "Siapkan mobil, setelah suamiku ke kantor, kita ke Palonia. Aku akan membelikan beberapa kebutuhan bulanan dan pangan untuk ga
Camelia berusaha mencari tahu segalanya tentang Aleena, bahkan dari asal-usul gadis itu hingga bagaimana bisa dia hamil anak Asher. Dan satu-satunya orang dimanfaatkan oleh Camelia adalah Bibi Julien, wanita yang sudah puluhan tahun menjadi pelayan setia di Keluarga Benedict. Kini, Bibi Julien duduk di hadapan Camelia di kediaman Nyonya besar itu. Tertunduk dan pasrah dengan perasaan resah tak terkira. "Aku yakin kau tahu banyak tentang Aleena, hubungannya dengan Asher, dan seluk-beluk mereka berdua. Iya kan, Bibi Julien?" tanya Camelia dengan tatapan mengintimidasi. Bibi Julien meremas jemarinya. "Be-benar, Nyonya..." "Sekarang jelaskan padaku, bagaimana mereka bisa bertemu, dan hubungan apa yang mengikat Asher dan Aleena. Jelaskan!" Camelia menekan wanita itu. "Kalau aku diam dan tidak mau mengatakan dengan jujur padaku, aku akan mengirimmu kembali ke desamu di Breeg!" Sontak, Bibi Julien mengangkat wajahnya dan seraut wajah setengah tua itu cemas seketika. "Jangan, Nyonya ..
"Kondisi Nyonya sangat lemah, mohon untuk beristirahat lebih lama dan jangan melakukan apapun. Tolong, tenangkan pikiran Nyonya, ya...." Dokter Catlyn memeriksa Aleena. Wanita itu melihat bagaimana lemahnya kondisi Aleena saat ini. "Tapi bayi saya baik-baik saja kan, dok?" tanya Aleena menatap dokter itu dengan wajah pucatnya. Dokter Catlyn mengangguk. "Tidak apa-apa, Nyonya. Semuanya terjadi karena Nyonya terlalu lelah dan banyak pikiran saja. Kalau Nyonya lebih rileks lagi, pasti tidak akan terasa sakit." Setelah mendengar penjelasan dokter, Aleena merasa lega. Setidaknya tidak terjadi hal apapun dengan anaknya. Gadis itu mengusap-usap perutnya dan tersenyum tipis. 'Syukurlah, Nak. Kau baik-baik saja...' Setelah itu, Dokter Catlyn pun berpamitan pergi. Aleena masih berbaring di atas ranjang sambil menatap ke arah jendela kamarnya yang terbuka. Wajahnya sangat pucat. Di saat sakit seperti ini, Aleena sangat ingin Asher datang dan mengusap kepalanya. Seperti yang dia lakukan
Aleena merasakan arti kesepian dalam hidupnya. Jauh dari Papanya, dan ia juga tidak punya harapan pada siapapun atas kehidupannya. Gadis itu hanya memiliki seorang anak yang kini ia kandung. Akan tetapi, beberapa bulan lagi ... anak ini juga bukan lagi miliknya. Aleena menarik napasnya pelan dan mengedarkan pandangannya di taman kota pagi ini. Ia pergi jalan-jalan seorang diri setelah merasa suntuk di dalam rumah. "Pemandangan pagi ini segar sekali, Sayang," gumam Aleena sambil mengusap perut besarnya. Gadis itu berdiri di depan sebuah air mancur besar yang di tengah kota. "Bagusnya ... kota ini tidak sesepi yang aku bayangkan." Aleena menatap anak-anak kecil berlarian di sekitar sana. Gelembung air di udara, cahaya matahari pagi yang cerah, anak-anak berlarian sambil berteriak riang, sepasang pemuda-pemudi yang jalan-jalan pagi ini. Aleena cukup terhibur meskipun dia hanya seorang diri. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti tak jauh dari tempat Aleena berada sa
Asher membawa Aleena pulang, ia menarik lengan kecil gadis itu untuk ikut dengannya masuk ke dalam kamar Aleena di lantai dua. Sejak tadi, Aleena berusaha untuk melepaskan cekalan tangan Asher. "Tuan, kita bicarakan baik-baik, jangan marah..." Ucapan Aleena terhenti saat Asher menutup pintu kamar dengan kuat. Laki-laki itu mendorong pelan Aleena ke sebuah sofa hingga gadis itu terduduk di sana, sebelum kedua lengan kekarnya mengurung pergerakan Aleena. "Sudah berapa kali kau bertemu dengannya?" tanya Asher dengan mata berkilat-kilat. Aleena menatapnya dengan berani. "Sekali. Dia ke sini mencari saya karena saya teman baiknya!" pekik gadis itu kesal. "Teman kau bilang?" Asher mencengkeram erat pinggiran sofa. "Seorang teman rela ke luar kota hanya untuk mencari temannya, heh?" Aleena mengerjap kedua matanya dan bibirnya menipis kesal. Asher tak pernah tidak marah bila bertemu dengannya. Apa dia pikir Aleena hanya bisa terus bersabar? "Memangnya kenapa, Tuan? Memangnya salah k
"Apa Tuan akan pulang kembali ke Murniche sekarang?" Aleena mencengkeram pelan bagian depan tuxedo yang Asher pakai. Ia mendongak menatap Asher dengan kedua iris cokelatnya yang bening dan tersisa air mata di sana. "Tuan tidak ingin di sini dulu sebentar?" tanya Aleena lagi. Asher menatap pandangan mata polos Aleena yang seolah berbisik dia tengah menahannya untuk tidak pergi. "Ya, aku ingin di sini menemanimu," jawabnya tenang. Helaan napas lega terasa oleh Aleena, jemari lentik tangannya melepaskan cengkeraman di tuxedo yang Asher pakai. Gadis itu tertunduk dan mengusap perut besarnya. Asher memperhatikannya sebelum laki-laki itu mengulurkan tangannya menyentuh perut Aleena dengan lembut.Desiran aneh menjalar di dada Asher, begitu juga Aleena yang kini menatapnya dan tersenyum sendu dengan kedua matanya yang sembab. "Dia sudah memasuki usia enam bulan minggu ini, Tuan" ujar Aleena. "Dan Tuan tidak pernah menyentuhnya sama sekali ... apa Tuan ragu tentang anak ini?" Mendenga
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang