Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan

Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan

last updateLast Updated : 2025-10-05
By:  Fantashyt Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
6Chapters
12views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Anya Maheswari, seorang desainer grafis berbakat, berada di titik terendah dalam hidupnya. Bisnis butik peninggalan ibunya terancam bangkrut karena utang yang menumpuk. Di tengah keputusasaannya, datanglah tawaran tak terduga dari Revan Adhitama, seorang CEO muda yang terkenal arogan dan tidak berperasaan. Revan membutuhkan seorang istri dalam waktu singkat untuk memenuhi syarat dalam surat wasiat kakeknya dan mengamankan posisi pimpinan perusahaan. Ia menawarkan Anya sebuah pernikahan kontrak selama satu tahun. Imbalannya: dana tak terbatas untuk menyelamatkan bisnis keluarga Anya. Syaratnya: mereka harus tampil sebagai pasangan yang sempurna di depan umum, tinggal serumah, dan yang terpenting, dilarang keras melibatkan perasaan. Anya yang terdesak pun setuju. Awal kehidupan pernikahan mereka dipenuhi pertengkaran sengit dan perang dingin. Namun, kedekatan yang dipaksakan (forced proximity) membuat mereka perlahan melihat sisi lain dari satu sama lain. Anya menemukan kerapuhan di balik topeng dingin Revan, sementara Revan terpesona oleh ketulusan dan keteguhan hati Anya. Ketika mantan kekasih Revan muncul kembali untuk mengacaukan segalanya dan rahasia di balik kesulitan bisnis Anya mulai terungkap, perjanjian mereka diuji. Mereka dipaksa untuk memilih: tetap berpegang pada kontrak yang menguntungkan atau menyerah pada perasaan tulus yang tak pernah mereka rencanakan.

View More

Chapter 1

Bab 1: Surat Merah dan Panggilan Tak Terduga

Aroma lavender dan kertas pola yang familier—wangi yang dulu selalu berhasil menenangkan jiwa Anya Maheswari—kini terasa mencekik. Wangi itu adalah wangi kenangan, wangi ibunya, dan wangi sebuah mimpi yang perlahan mati di depan matanya.

Ia menatap sekeliling butik kecil itu, "Kainara," nama yang diberikan ibunya, yang berarti "cahaya dari dalam." Ironis. Saat ini, satu-satunya cahaya di dalam butik ini berasal dari lampu LED murah yang berkedip-kedip di atas tumpukan kain sutra yang belum terjual. Di luar, hujan bulan September tanpa ampun mengguyur jalanan Jakarta, seolah ikut meratapi nasibnya.

Di atas meja kasir kayu yang sudah usang, tergeletak musuh terbesarnya: setumpuk surat dengan stempel merah menyala. Surat peringatan dari bank, tagihan dari pemasok kain, tunggakan sewa ruko. Setiap amplop terasa seperti batu bata yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Anya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan warisan tunggal ini. Tapi perjuangan saja tidak cukup untuk membayar tagihan.

"Kita butuh keajaiban, Bu," bisiknya pada foto ibunya yang tersenyum di dinding, sebingkai kehangatan di tengah ruangan yang dingin.

Ponselnya yang tergeletak di samping tumpukan surat bergetar hebat, memecah keheningan. Nomor tak dikenal. Biasanya, Anya akan mengabaikannya—kemungkinan besar dari penagih utang yang lain. Tapi hari ini, entah kenapa, jarinya bergerak mengangkat panggilan itu.

"Selamat siang, dengan saudari Anya Maheswari?" Suara di seberang terdengar formal, dingin, dan berwibawa. Bukan suara debt collector yang biasa ia dengar.

"Iya, saya sendiri," jawab Anya, suaranya sedikit serak.

"Nama saya Bima, asisten pribadi Bapak Revan Adhitama dari Adhitama Corporation. Bapak Revan ingin bertemu dengan Anda besok pagi, pukul sepuluh tepat, di kantor pusat Adhitama Tower."

Anya mengerutkan kening. Adhitama Corporation? Revan Adhitama? Nama itu terdengar familier, seperti gema dari dunia lain yang sering ia lihat di majalah bisnis—dunia para konglomerat, menara-menara pencakar langit, dan kesepakatan bernilai triliunan. Apa urusannya orang seperti itu dengannya, seorang pemilik butik kecil yang nyaris bangkrut?

"Maaf, mungkin Anda salah orang," kata Anya. "Saya tidak punya urusan apa pun dengan... Bapak Revan Adhitama."

"Tidak ada kesalahan, Nona Maheswari. Ini mengenai butik Anda, Kainara."

Jantung Anya berdebar kencang. Kainara? Bagaimana mereka tahu?

"Tolong pastikan Anda datang tepat waktu," lanjut suara itu, tanpa memberi ruang untuk pertanyaan. "Lantai 50. Bapak Revan tidak suka menunggu."

Panggilan itu ditutup. Anya menatap layar ponselnya dengan nanar. Lantai 50. Bahkan untuk membayangkannya saja terasa mustahil. Dunianya hanya sebatas lantai satu ruko tua ini.

***

Keesokan paginya, dengan blazer terbaiknya yang sedikit pudar dan jantung yang berdebar tak karuan, Anya melangkah masuk ke lobi Adhitama Tower. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyergapnya, begitu kontras dengan panasnya jalanan Jakarta. Lobi itu lebih mirip galeri seni modern daripada kantor—lantai marmer mengilap, patung-patung abstrak, dan orang-orang berbusana mahal yang berjalan dengan langkah cepat dan penuh tujuan. Anya merasa seperti sebutir debu di tengah kemegahan itu.

Di meja resepsionis, seorang wanita dengan senyum profesional yang kaku mengarahkannya ke lift pribadi setelah mengonfirmasi namanya. Perjalanan ke lantai 50 terasa seperti meluncur ke dimensi lain. Pintu lift terbuka, menampakkan sebuah ruangan luas yang hanya berisi satu meja sekretaris dan pintu kayu raksasa di ujungnya. Seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Bima—pemilik suara di telepon kemarin—menyambutnya dan membukakan pintu itu untuknya.

Ruangan di baliknya membuat Anya menahan napas. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit menyuguhkan pemandangan seluruh kota Jakarta di bawahnya. Perabotannya minimalis, mahal, dan dingin. Dan di tengah semua itu, duduk di belakang meja mahoni hitam yang luas, adalah Revan Adhitama.

Pria itu tidak mendongak saat Anya masuk. Matanya terpaku pada layar tablet di tangannya. Foto-foto di majalah tidak mampu menangkap auranya yang sesungguhnya. Rahangnya tegas, tatapannya tajam, dan setelan yang ia kenakan tampak lebih mahal dari seluruh isi butik Anya. Ada aura arogansi dan kekuasaan mutlak yang menguar darinya, membuat ruangan yang luas itu terasa menyempit.

Setelah hampir satu menit hening yang menyiksa, Revan akhirnya meletakkan tabletnya dan menatap Anya. Matanya, setajam elang, memindai Anya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, seolah sedang menilai sebuah aset.

"Anya Maheswari," katanya. Suaranya dalam dan tanpa emosi. "Duduk."

Anya duduk di kursi di seberang meja, punggungnya tegak lurus.

Revan mendorong sebuah map tipis berwarna biru ke arahnya. "Saya sudah mempelajari situasi keuangan Anda. Butik Kainara. Utang 800 juta pada bank, tunggakan sewa enam bulan, tagihan pemasok yang belum dibayar. Dalam tiga bulan, tempat itu akan disita."

Setiap kata terasa seperti tamparan. Pria ini tahu segalanya. Rasa malu dan marah bergejolak di dalam diri Anya. "Apa mau Anda?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.

Revan menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya bertaut di depan dada. "Saya punya tawaran. Sebuah solusi untuk semua masalah Anda."

"Saya tidak butuh sedekah," desis Anya.

Sudut bibir Revan terangkat sedikit, membentuk senyum sinis yang tidak mencapai matanya. "Ini bukan sedekah. Ini transaksi bisnis. Saya butuh sesuatu dari Anda."

"Apa?"

"Seorang istri."

Anya terdiam, yakin ia salah dengar. "Maaf?"

"Saya butuh seorang istri. Selama satu tahun," Revan melanjutkan, seolah sedang membahas laporan cuaca. "Kakek saya, pemilik saham mayoritas perusahaan ini, tidak akan menyerahkan posisi CEO sepenuhnya kepada saya sampai saya menikah. Beliau ingin melihat saya 'mapan'." Ia mengucapkan kata 'mapan' dengan nada jijik.

Anya menatapnya tak percaya. Pria ini... gila. "Anda ingin saya... menikah dengan Anda?"

"Tepatnya, saya ingin Anda berpura-pura menikah dengan saya. Sebuah pernikahan kontrak. Kita akan tampil sebagai pasangan suami-istri di depan keluarga saya dan publik. Kita akan tinggal di rumah yang sama. Setelah satu tahun, atau setelah kakek saya meninggal—mana saja yang lebih dulu—kita akan bercerai dengan alasan 'perbedaan yang tidak dapat disatukan'. Anda akan mendapatkan kebebasan Anda kembali."

Anya menggelengkan kepalanya, mencoba menjernihkan pikirannya. Ini tidak nyata.

"Dan sebagai imbalannya?" tanyanya, lebih karena penasaran akan tingkat kegilaan pria ini.

"Saya akan melunasi seluruh utang butik Anda. Saya akan memberikan modal tak terbatas untuk mengembangkannya. Anggap saja itu gaji Anda." Revan menatapnya lekat. "Satu tahun hidup Anda untuk menyelamatkan mimpi ibu Anda. Penawaran yang adil, bukan?"

Anya merasakan amarah membakar pipinya. Harga dirinya menjerit. Menjual dirinya sendiri demi uang? Tidak akan pernah.

"Anda pikir semua orang bisa dibeli?" katanya tajam. "Anda pikir saya serendah itu?"

"Saya tidak berpikir. Saya tahu," jawab Revan dingin. "Setiap orang punya harga, Nona Maheswari. Pertanyaannya adalah, berapa harga mimpi ibu Anda?"

Pria itu berdiri, berjalan ke arah jendela kaca, membelakangi Anya. "Saya tidak punya banyak waktu. Ada syaratnya, tentu saja. Selama perjanjian berlangsung, tidak ada hubungan dengan pria lain. Tidak ada skandal. Dan yang paling penting," ia berbalik, matanya menusuk Anya, "tidak boleh ada perasaan yang terlibat. Ini murni bisnis."

Ia kembali ke mejanya dan mengambil sebuah pulpen mahal. "Saya beri Anda waktu 24 jam untuk berpikir. Jika Anda setuju, tanda tangani kontrak di dalam map itu dan Bima akan mengurus sisanya. Jika tidak..." ia mengangkat bahu. "Selamat menikmati kebangkrutan Anda."

Tanpa menunggu jawaban, Revan kembali duduk dan mengangkat tabletnya, menganggap percakapan mereka telah selesai.

Anya terpaku di kursinya, napasnya tercekat. Di satu sisi, ada harga dirinya yang terinjak-injak. Di sisi lain, ada wajah ibunya yang tersenyum, aroma lavender, dan sebuah butik kecil bernama "Kainara."

Ia berdiri, tangannya gemetar saat mengambil map biru itu dari atas meja. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan dingin itu, merasakan tatapan tajam Revan Adhitama di punggungnya.

Di tangannya, ia tidak hanya memegang sebuah kontrak. Ia memegang pilihan antara kehormatan dan keputusasaan. Dan ia hanya punya 24 jam untuk memutuskan mana yang akan ia korbankan.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
6 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status