Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi yang Aleena lalui kemarin. Gadis itu terbangun dengan pelukan hangat yang mendekapnya. Aleena menatap wajah Asher yang kini berada tepat di hadapannya. Laki-laki itu masih setia memejamkan kedua matanya dan terlihat begitu kelelahan setelah Asher memutuskan untuk tidur pukul dua dini hari. "Tuan Asher," lirih Aleena menyentuh pipi putih laki-laki itu dengan jari telunjuknya. Tak ada pergerakan apapun hingga Aleena yakin kalau Asher benar-benar tertidur pulas.Menatapnya seperti ini membuat Aleena tersenyum tipis. Teringat bagaimana Asher mengakui kalau Aleena adalah istrinya, meskipun kenyataan itu membuat Aleena nelangsa, karena ia masih merasakan dirinya berdiri di atas pernikahan yang terjadi tanpa cinta di dalamnya. Dan Aleena bukan sepenuhnya istri yang Asher inginkan sejak awal. 'Apakah ini yang dimaksud cinta habis pada satu orang?' batin Aleena sambil memandangi Asher. 'Dan aku, tidak tahu apakah yang aku rasakan sekarang ini perasaan cint
"Tuan, Nyonya Marsha menghubungi saya. Nyonya meminta Tuan untuk pulang, katanya ada yang ingin beliau katakan pada Tuan." Jordan menatap Asher yang tengah duduk sambil membuka-buka beberapa berkas di tangannya. Di dalam ruangan kerjanya, Asher sudah berjam-jam di sana usai sarapan. Laki-laki itu menatap Jericho dengan sorot tajam iris hitamnya dibalik kaca mata berbingkai emas yang ia pakai. "Kau tidak perlu menjawab panggilan darinya," seru Asher. "Aku tidak punya niatan untuk ingin pulang dan melihat wajah wanita itu!" Mendengar jawaban Tuannya, Jordan pun menelan ludahnya pelan. Aura kekesalan di wajahnya terlihat jelas saat Jordan menyebut nama Marsha, entah apa yang terjadi di antara mereka. Laki-laki itu mengangguk. "Baik Tuan." "Satu lagi, Jordan!" Asher menatap ajudannya lagi. "Kosongkan jadwalku selama dua hari ini. Aku akan menghabiskan waktuku dengan Aleena. Aku sudah meminta Graham untuk menangani perusahaan di Brisilia, untuk urusan kantor, aku serahkan padamu dan
Asher mengajak Aleena pergi jalan-jalan ke pusat kota. Gadis itu mengajaknya melihat air mancur di tengah taman kota, tempat yang sangat ramai dan memiliki pemandangan yang indah. Kini Asher dan Aleena duduk di sebuah bangku kayu. Aleena tampak sibuk dan antusias memperhatikan anak-anak kecil berlarian di sekitar sana. "Lucu sekali anak itu ... Tuan lihatlah, anak perempuan itu sangat manis," ujar Aleena menunjuk anak kecil yang sedang belajar berjalan bersama Papanya.Asher tersenyum, ia memperhatikan wajah Aleena yang tampak gembira. Bahkan sejak tadi ia tidak melepaskan genggaman tangan Asher. Gadis itu menoleh dan menatapnya sambil tersenyum. "Pasti anak kita nanti akan menggemaskan seperti anak itu, Tuan," ujar Aleena kembali menatap anak kecil di depannya. "Sepertinya lebih lucu lagi," jawab Asher tersenyum tipis. "Apalagi kalau dia anak perempuan, pasti cantik sepertimu." Aleena tercengang mendengarnya, ia langsung tertunduk dan mengusap perutnya sambil mengangguk ragu-rag
Setelah Aleena dan Asher puas berjalan-jalan, mereka membeli banyak barang, juga pergi ke restoran tempat yang ingin Aleena kunjungi. Setelah itu barulah mereka berdua pulang. Aleena bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dan gadis itu kini duduk di sebuah sofa menatap ke arah luar. Entah mengapa, cuaca cepat sekali berubah mendung. Asher memperhatikan istrinya cukup lama, setiap Aleena melamun, seperti ada sesuatu hal yang tampak sangat Aleena rindukan. Walaupun Asher tak tahu apa itu? Entah keluarganya Atau hal lainnya. "Kenapa melamun? Apa yang sedang kau pikirkan, hm?" tanya Asher duduk di sampingnya. "Apa ada sesuatu yang belum sempat kau beli?" "Tidak," jawab gadis itu menatapnya dan tersenyum tipis. Aleena duduk dengan nyaman dan menyandarkan punggungnya di tubuh Asher. Ia diam menatap hujan yang mulai turun di luar sana. Menatap wajah istrinya berlama-lama membuat Asher diam-diam penasaran. Apa yang membuat gadis dua puluh tiga tahun ini rela menjadi ibu pen
Dua hari Asher berada di Palonia menemani Aleena. Hari ini ia harus segera kembali ke Murniche untuk kembali mengurus perusahaannya. Sejak pagi, Aleena sibuk menyiapkan sarapan, pakaian, hingga keperluan Asher sebelum laki-laki itu pergi. Hingga kini Aleena berjalan menuruni anak tangga bersama Asher yang hendak beranjak pergi. "Saat aku tidak di rumah kau jangan pergi ke mana-mana, kau mengerti!" seru Asher sambil merangkul pinggang Aleena dan mengecup pipi gembilnya. "Heem, saya mengerti, Tuan..." Aleena mengangguk. Namun, tiba-tiba saja langkah Asher terhenti di pertengahan anak tangga. Langkah kaki Aleena juga ikut terhenti. Gadis itu mendongak menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Hm, kenapa?" tanya gadis itu dengan tatapan polosnya. "Berapa kali aku katakan padamu, jangan menggunakan bahasa formal lagi denganku," ujar Asher menatapnya lekat-lekat. "Apalagi memanggilku dengan panggilan Tuan." Kedua pipi Aleena bersemu seketika. "Ta-tapi ... tapi a-aku harus memanggi
Selama dua hari Marsha tidak bisa menghubungi Asher. Bahkan menghubungi ajudannya pun rasanya percuma karena Jordan mengatakan Asher tidak ingin berbicara dengannya. Setelah mengetahui kalau Asher kembali ke kantornya siang ini, Marsha pun memutuskan untuk menemui Asher. Marsha menatap seorang laki-laki berbalut tuxedo hitam yang kini baru saja keluar dari sebuah ruangan meeting. Segera Marsha mempercepat langkahnya mengejar sang suami. "Asher," panggilnya dengan nada sedikit tegas. Asher menghentikan langkahnya, namun ia tidak menoleh sedikitpun pada wanita itu hingga Marsha mendekatinya. "Asher, tunggu..." Marsha mencekal lengan Asher. “Aku ingin kita membahas masalah kemarin.” "Aku sibuk. Pergilah," jawab Asher melepaskan tangan Marsha dengan cepat. "Asher jangan seperti ini. Aku tahu kau marah padaku, tapi tolong jangan acuhkan aku," pintanya dengan wajah sedih. "Aku akan menjelaskan semuanya, Asher." Di depan ajudannya, dan juga beberapa karyawan yang lewat dalam lorong i
Tiada angin, tiada hujan tiba-tiba saja Asher pulang ke kediaman utama. Kepulangannya membuat Marsha merasa kesenangan, bahkan ia sangat percaya diri berpikir Asher benar-benar sudah sedikit memaafkannya. Bahkan saat Asher masuk ke dalam rumah, Marsha menyambutnya seolah-olah tidak ada apa-apa. "Sayang, ka-kau ... aku pikir kau pulang ke Palonia," ujar Marsha berjalan membuntuti Asher. "Kau sudah makan? Mau aku buatkan teh, kopi, atau—"Ucapan Marsha terhenti saat Asher tiba-tiba menghentikan langkahnya di pertengahan anak tangga tanpa menatapnya sedikit pun. "Aku pulang karena Mama dan Papa akan ke sini," ucap Asher dingin. "O-oh, Mama dan Papa akan ke sini? Kalau begitu aku akan meminta para pelayan untuk menyiapkan makan malam bersama," ujar wanita itu dengan wajah antusias. Asher meliriknya sekilas dan berucap, "terserah." Barulah Asher kembali melangkah menaiki anak tangga dan meninggalkan Marsha. Sedangkan Marsha tersenyum tipis begitu Asher melangkah masuk ke dalam kamar
"Sayang, kau mau ke mana? Kau tidak bermalam di rumah lagi?" Marsha masuk ke dalam rumah setelah ia kembali dari taman. Wanita itu melihat Asher yang telah bersiap memakai mantel hangat dan tampak membawanya berkas-berkas bersama laptop di tangannya."Aku akan ke Palonia," jawab Asher tak acuh dan dingin. "Baiklah kalau memang kau merasa nyaman di sana untuk sementara waktu ini," ujar Marsha. "Aku rasa ... sepertinya Aleena juga sekarang lebih banyak membutuhkan waktu denganmu." Asher tetap hening tak memberi jawaban. Membiarkan Marsha berjalan di belakangnya. "Jangan lupa pulang, Asher. Aku ... aku akan selalu menunggumu di rumah."Masih tidak ada jawaban apapun dari Asher. Meskipun sebenarnya ia sangat curiga dan merasa heran dengan reaksi Marsha yang tidak seperti yang Asher duga sebelumnya, biasanya wanita itu mungkin akan menahannya dengan berbagai cara. Tapi sepertinya sekarang dia diam dan tidak memberikan reaksi apapun atau larangan sama sekali. Tentu saja hal ini memper
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per