Setelah melakukan aksi nekatnya yang hampir merenggut nyawanya dua hari yang lalu, Marsha pikir dengan cara itu Asher bisa luluh, paling tidak dia mau menemuinya. Tapi ternyata Marsha benar-benar salah besar. Bahkan sampai keesokannya ia pulang pun Asher masih tetap tidak ada di rumah. Wanita itu kini mondar-mandir di ruang tamu, ia gelisah karena Asher dua hari tidak menampakkan dirinya sama sekali, bahkan Jordan dan ajudannya juga tidak ada yang datang. "Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gerutu Marsha bingung. "Dia bahkan tidak mengatakan dia tidak akan menceraikan aku, tapi kenapa dia menghilang seperti ini!" Marsha mendengus dan mendongakkan kepalanya. "Kalau aku menemuinya di Palonia, yang ada aku hanya akan semakin marah dan kesal saat melihat wajah gadis murahan itu!" serunya.Saat Marsha sibuk gelisah memikirkan Asher, tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna putih masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Marsha terdiam berdiri di ambang pintu menatap Papa dan M
Hujan melanda kota Palonia sejak sore hingga malam hari. Aleena kini tengah duduk di ruang makan dan menikmati hidangan makan malam yang disiapkan oleh Bibi Julien. Aleena tampak lesu menatap kursi di hadapannya yang kosong. Namun ia tidak bisa melakukan apapun, suaminya sangat sibuk akhir-akhir ini. Dan Aleena paham bagaimana Asher sibuk mengurusi banyak hal. "Nona," panggil Bibi Julien pelan. "Kenapa? Masakan Bibi tidak enak, kah?" Aleena tersentak mendengarnya, gadis itu langsung menoleh dan menggeleng. "Oh, e-enak Bi. Masakan Bibi sangat enak," jawab Aleena tersenyum manis. "Kenapa Nona melamun? Ingat, tidak boleh berpikir yang berat-berat," ujar Bibi Julien tersenyum manis sambil meletakkan segelas air putih di hadapannya. Aleena tertunduk. "Aku sedang memikirkan Asher, Bi. Aku khawatir dia selalu mondar-mandir setiap hari ... dia sangat sibuk, aku merasa bersalah bila terus menunggu-nunggu setiap hari. Aku tidak ingin menjadi bebannya." Mendengar jawaban yang Aleena berik
Kabar tentang hubungan Asher dan Aleena di Palonia terus menghantui ketenangan Camelia untuk terus mengamati dan mencari tahu. Meskipun ia masih bungkam tentang mereka pada suaminya. Camellia tidak hanya diam menunggu kabar dari ajudannya, wanita itu benar-benar datang ke Palonia siang ini dan ingin memantau Aleena dari jauh di kediamannya, secara langsung. Seperti saat ini, mobil berwarna merah miliknya berhenti di jalanan di depan rumah Aleena, gerbang rumah itu terbuka, tampak mobil Asher di sana. "Hentikan mobilnya di sini dan matikan mesinnya, Zayn," ujar Camelia memerintah bawahannya tersebut. "Baik, Nyonya." Mesin mobil itu mati, Camelia menatap ke arah rumah di depan sana. Cukup lama hanya diam memperhatikan saja. "Apa Asher hari ini ke Palonia?" tanya Camelia. "Bisa saja dia pergi dengan mobilnya yang lain, kan?" Zayn menyipitkan matanya. "Sepertinya tidak, Nyonya. Joseph menghubungi saya kalau dia tidak bisa bertemu dengan saya karena harus mewakili meeting yang tidak
Aleena menatap Asher yang baru saja memutus panggilan dengan Mamanya. Gadis itu menghentikan kegiatan merajutnya dan menatap pemandangan taman rumah pagi ini. "Asher, apakah yang barusan itu Mama?" tanya Aleena mencekal lengan Asher. Laki-laki itu menoleh dan mengangguk. "Ya. Mama bertanya di mana aku sekarang. Huhh ... aku pikir ada hal penting apa," ucap Asher. Aleena mengembuskan napasnya pelan dan menatap sang suami. "Kau tidak boleh seperti itu, Mamamu pasti mengkhawatirkanmu. Apalagi sekarang kan, kau juga jarang sekali berkunjung ke rumah Mama dan Papa. Pokoknya setelah semua masalahmu selesai, kau harus sering mengunjungi mereka." Mendengar penuturan Aleena, Asher terdiam dan tersenyum. Selama ia menikah dengan Marsha, tidak pernah ada penuturan semacam ini, justru Marsha melarang Asher dekat-dekat dengan kedua orang tuanya. Hanya karena Camelia tidak menyukai Marsha seutuhnya. Asher masih tetap memperhatikan ekspresi gemas di wajah Aleena. Sampai gadis itu mencekal leng
Keesokan harinya, pesta ulang tahun Camelia dilaksanakan di sebuah hotel berbintang milik Keluarga Benedict di tengah kota Murniche. Asher datang seorang diri, dan hal itu menjadi bincangan publik, pasalnya ia tidak datang bersama dengan Marsha. Di setiap langkah kaki, Asher mendengar bisikan-bisikan semua orang di sekitarnya. "Nyonya Marsha tidak pernah terlihat lagi...." "Ya, kapan hari aku melihat Tuan Asher, beliau juga sendirian. Apakah terjadi sesuatu pada hubungan mereka?" "Entahlah. Bukankah pasti menjadi rumor hangat di kalangan masyarakat kelas atas tentang hal ini?" Suara bisikan para wanita itu tidak membuat Asher menghentikan langkahnya masuk ke dalam pesta. Asher melihat Mama dan Papanya yang tengah berbincang dengan para tamu. Kedatangan Asher disambut oleh sang Mama dengan senyuman. Camelia menatapnya hangat saat Asher berdiri di hadapannya. "Akhirnya kau datang juga, Asher," ujar Camelia memeluk sang putra. "Aku pasti datang, Ma," jawab Asher. "Selamat ulang
Camelia tergemap dengan kedua mata lebarnya yang mencelang tak percaya dengan apa yang Asher katakan. Wanita berbalut dress panjang berwarna biru itu pun langsung beranjak dari duduknya sambil membungkam mulutnya dengan tatapan yang masih tak teralih pada putranya. "A-apa, Asher?" lirih Camelia berjalan mendekati Asher. "Ka-katakan sekali lagi pada Mama..." Asher merasakan tangan gemetar Camelia kini menyentuh lengan dan wanita itu mendongak menatapnya. Iris cokelatnya tampak dipenuhi kabut air mata. Bibir Asher masih terkatup rapat. Asher tersenyum tipis dan menggenggam tangan sang Mama. "Aku akan memiliki seorang putra, Ma. Anakku, di dalam perut Aleena, adalah seorang anak laki-laki. Cucu pertama Mama, seorang bayi laki-laki ... seperti yang Mama impikan." Air mata meleleh dari pelupuk mata Camelia. Wanita itu merasakan kedua kakinya lemas setelah mendengar untuk kedua kalinya dari Asher. Camelia menutup mulutnya dan memeluk Asher dengan sangat erat. Asher tidak tahu, apakah
Asher tiba di rumah pukul sebelas malam. Laki-laki itu mendapati Aleena yang tertidur di dalam kamar, meringkuk memeluk bantal milik Asher. Menatap wajah damai Aleena, Asher merasa kasihan. Asher jarang sekali menemani Aleena beranjak tidur bersama hingga bangun bersama, ia selalu memiliki pekerjaan yang menekannya hingga membuat Aleena selalu sendirian di atas ranjang setiap malam. "Sayang..." Asher berbisik, jemari tangannya mengusap pipi Aleena. Kedua mata Aleena mengernyit pelan, kecupan yang lembut dan hangat mendarat di permukaan pipi putihnya. Asher tersenyum. "Bisakah kau bangun sebentar," bisiknya lagi. Aleena mengangkat wajahnya dan mata kiyipnya menatap Asher. Gadis itu mengangguk kecil sebelum Asher membantunya untuk duduk. "Aku pikir kau akan menginap di tempat Mama, atau paling tidak mau pulang larut malam," ujar gadis itu mengucek kedua matanya. "Tidak. Aku langsung pulang setelah memberikan hadiah titipanmu pada Mama," jawab Asher, ia mengelus satu pipi Aleena y
Asher telah pergi pagi-pagi sekali ke Murniche karena urusan pekerjaan yang sangat penting. Ia meninggalkan Aleena sepet biasa, dan memintanya untuk selalu menunggu. Pagi ini Aleena sibuk merapikan sebuah kamar, ditemani oleh Bibi Julien yang membantunya, Aleena akan menjadikan salah satu kamar di lantai satu sebagai kamar bayinya nanti. "Nona yakin akan pindah ke lantai satu?" tanya Bibi Julien. "Bukannya kamar di lantai dua adalah kamar kesukaan Nona?" Aleena tersenyum tipis. "Tidak Bi, akan kesulitan bagiku setelah melahirkan nanti untuk naik turun tangga. Apalagi Asher juga sangat sibuk," jawabnya. "Ah, ya. Nona benar..." Aleena meraih sebuah selimut berwarna biru muda bergambar boneka beruang dan meletakkan ke dalam sebuah ranjang bayi yang sudah ia beli sejak beberapa hari yang lalu. Kamar bernuansa biru muda dengan stiker dinding yang sudah terpasang praktis di dinding dan beberapa tempat. Berbagai hiasan sudah terpasang di sana. Dari ranjang bayi, ayunan untuk menenangka
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang