Di dalam ruang persalinan itu, Kira berjuang sendirian. Ia meringis kesakitan, tangannya hanya mencengkeram tepian ranjang bersalin. Tidak ada tangan yang dapat ia jadikan pegangan. Tidak ada suami yang dapat ia jadikan sandaran. Kaisar—suaminya, tidak hadir di sini, bahkan sejak awal pernikahan, Kai tidak menginginkan Kira, apalagi anak yang dikandungnya.
Tapi, Kira masih merasa semua baik saja, karena setidaknya, sebentar lagi bayi di perutnya akan menemaninya.
“Tolong... sakit...,” erang Kira, air matanya meluruh membasahi pipi.
Dokter dan perawat bersiap di sampingnya. “Tarik napas dalam, Bu Kira. Sedikit lagi... dorong.”
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Kira mendorong sekuat tenaga. Hingga akhirnya bayi itu lahir.
Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Ruangan yang seharusnya dipenuhi tangisan bayi itu kini terasa sunyi. Amat sunyi.
Wajah Kira yang pucat seketika memandangi bayi mungil dalam pelukan dokter. “Kenapa dia tidak menangis?” tanyanya panik.
Dokter dan perawat saling pandang satu sama lain. Lalu dokter memerika kondisi bayi dan berusaha membuat si bayi mengeluarkan tangisan. Detik demi detik berlalu bagaikan berabad-abad bagi Kira.
“Mohon maaf, Bu Kira. Bayi Anda tidak bernyawa saat dilahirkan,” ujar sang dokter dengan penuh penyesalan beberapa saat kemudian.
Dunia Kira hancur dalam sekejap. Tubuhnya menggigil hebat.
Ia menatap kosong ke arah bayi yang tidak sempat ia peluk, tidak sempat ia dengar tangisannya. Hatinya seperti dihantam batu besar yang menghancurkan seluruh harapannya.
“Tidak... tidak mungkin,” gumamnya lirih, menolak kenyataan yang baru saja dokter katakan.
Tangannya terulur dengan gemetar, ingin menyentuh anaknya, ingin membuktikan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun, saat jari-jarinya menyentuh kulit mungil itu, tubuhnya benar-benar terasa dingin. Tidak ada kehangatan. Tidak ada napas kecil yang seharusnya terasa.
Tangis Kira pecah. Ia menjerit, merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan.
Hingga pandangan Kira tiba-tiba terlihat gelap.
Kira pingsan sebelum ia sempat memeluk bayinya yang terbujur kaku.
Kira baru siuman ketika ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan itu terasa sunyi dan dingin. Kira merasakan hatinya hampa. Tatapannya kosong.
Lantas diraihnya ponsel yang teronggok di atas rak samping ranjang. Mungkin perawat yang sudah membantu menaruh ponselnya di sana, pikir Kira.
Dengan tangan gemetar ia mencari nomor telepon Kai, suaminya. Lalu menghubunginya. Namun, panggilan Kira ditolak tepat didering ketiga. Ia ingin mengabarkan bahwa bayi mereka telah meninggal dunia. Namun, Kira merasa yakin bahwa itulah kabar yang ingin didengar oleh suaminya. Kai tidak pernah menginginkan bayi itu sejak awal.
Kira menjatuhkan ponsel dari telinga begitu panggilannya kembali ditolak untuk kedua kali. Ia tidak memiliki siapa-siapa. Satu-satunya anggota keluarganya adalah ibunya, yang kini sedang terbaring lemah di ruang ICU.
Dulu, Kira terpaksa menikah dengan Kai karena kehadiran bayi dalam kandungannya setelah peristiwa kelam yang terjadi pada suatu malam. Kai menikahinya atas dasar tanggungjawab dan dipaksa oleh sang kakek. Kai merupakan seorang CEO di perusahaan raksasa, sang kakek mengancam akan melengserkan Kai dari jabatannya sebagai CEO jika tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan Kira. Tepat di bulan keenam pernikahan mereka, kakek Kai meninggal dunia.
“Anakku... aku harus menemui anakku...,” gumam Kira setelah ia keluar dari lamunannya.
Saat Kira akan turun dari ranjang pasien, ia terkejut saat mendapati ada sesuatu yang basah merembes dari dadanya. Itu adalah ASI. ASI yang seharusnya ia berikan kepada putranya yang belum sempat ia peluk sampai saat ini. Air mata Kira kembali mengalir mengingat kematian putranya.
Ia mencabut jarum infus dari punggung tangannya. Dengan langkah sempoyongan, ia berjalan keluar dari ruang perawatan. Mengabaikan rasa sakit setelah proses persalinan. Kira melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit dengan air mata yang terus mengalir.
“Permisi! Tolong menyingkir! Ada pasien yang akan melahirkan!” seru seseorang dari arah belakang Kira diiringi derap langkah kaki yang saling berlari dan roda brankar yang didorong dengan cepat.
Belum sempat Kira menyingkir, salah seorang dari rombongan itu menyenggol Kira hingga Kira terjatuh ke lantai dan memekik kesakitan.
Kira mendongak, menatap nanar ke arah wanita hamil yang akan melahirkan—yang ada di atas brankar tersebut. Hatinya semakin pilu, air matanya mengalir kian deras menahan segala rasa sakit yang menghujam hati dan tubuhnya.
Di saat dirinya kehilangan anaknya yang tak sempat ia peluk, di sisi lain ada wanita yang akan menyambut kelahiran anaknya dengan sukacita, bahkan ditemani suaminya. Terlihat dari tangan wanita itu yang digenggam erat oleh seorang pria.
Perlahan, dengan tubuh yang lemah, Kira bangkit dari lantai. Ia harus pergi menemui anaknya, di ruang jenazah, ruangan yang seharusnya tidak ia kunjungi sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Dengan langkah terseok-seok Kira menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit. Hingga ia tiba di dalam ruangan yang terasa dingin itu dengan aroma khas yang menyengat hidungnya.
Dan di sana, di atas meja panjang beralas kain putih, terbaring sesosok bayi mungil yang telah dibungkus kain kafan.
Kira melangkah mendekat. Perlahan ia duduk di kursi di samping meja, menatap wajah mungil itu yang membiru.
Bahu Kira berguncang hebat. Isakannya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.
“Maaf... Maafkan Mama, Aksa....”
Kira meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.
Dingin.
Tak ada lagi kehidupan di sana.
Setelah melalui berbagai proses untuk kepulangan jenazah, bayi bernama Aksa itu kini diantarkan oleh ambulance menuju tempat pemakaman.
Kira tak berhenti menangis di samping anaknya yang terbujur kaku itu.
Kira kembali menelepon Kai. Dan kali ini panggilannya terangkat di dering keempat.
“Halo?” Suara dingin Kai menyapa telinga Kira.
Kira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak tangis yang akan keluar. “Mas, aku... aku sudah melahirkan,” lirihnya dengan hati perih. Ia tidak yakin Kai akan senang dengan kabar tersebut. Namun ia tetap harus menyampaikannya.
“Lalu?”
“Anak kita ... anak kita meninggal, Mas.” Tangis Kira kembali pecah. “Sekarang... sekarang aku sedang dalam perjalanan. Aksa—maksudku bayi kita akan segera dimakamkan.”
Hening. Tidak ada tanggapan apapun dari seberang sana.
“Mas? Kamu dengar aku, ‘kan?” tanya Kira, memastikan Kai masih berada di sana. “Mas, aku mohon, dia anakmu juga. Seenggaknya datanglah ke pemakamannya.”
Masih hening. Kira tidak tahu apa yang tengah dilakukan dan dipikirkan Kai saat ini.
Hingga akhirnya terdengar Kai menghela napas kasar. “Aku tidak bisa datang. Urus saja pemakaman anakmu sendiri. Dia bukan urusanku,” ucap Kai dingin, yang membuat hati Kira terasa seperti dicabik-cabik mendengarnya.
***
Langkah kaki Kira seketika terhenti. Begitu juga dengan Violet. Mata keduanya kini bertemu.Kira terkejut melihat penampilan dan kondisi Violet yang tampak berantakan. Mata Violet sembab dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Rambut yang biasa tertata rapi kini terlihat kusut. Tidak ada make up yang melekat di wajahnya, membuatnya terlihat pucat.“Kira?” desis Violet.“Violet….” Kira melihat ke sekeliling, dan ia tidak melihat keberadaan Rina serta Luna di sekitar wanita itu. “Luna masih dirawat?” tanyanya, penasaran.Violet tersenyum masam. Ia mendekati Kira dengan tatapan tajam. Alih-alih menjawab pertanyaan Kira, Violet justru malah berkata dengan sinis, “Puas kamu sekarang?”Kening Kira berkerut. “Apa maksudmu?”“Jangan pura-pura bodoh!” desis Violet lagi. Satu sudut bibirnya kembali terangkat. “Kamu pasti puas dan bahagia lihat aku hancur, ‘kan? Dari awal kamu menginginkan kehancuran hubungan aku dan Kai!”Mendengarnya, tangan Kira pun mengepal. Tatapan Kira kini berubah tajam
Kira terbangun dari tidurnya saat ia merasakan sesuatu yang lembab dan dingin mendarat di perutnya bertubi-tubi.Kira menggeliatkan tangannya ke atas, lalu membuka matanya yang terasa lengket. Saat ia menundukkan pandangannya ke arah perut, ia tersenyum kala melihat Kai sedang mengecup perutnya itu sambil menggumamkan sesuatu, seolah-olah sedang mengajak ngobrol janin di dalam sana.Tangan Kira terulur, mengusap rambut Kai yang tampak acak-acakan, membuat pria itu seketika mendongak hingga pandangan mereka bertemu.“Selamat pagi, Baby,” ucap Kai sembari mensejajarkan wajah mereka lalu mengecup bibir Kira dengan mesra.Kira tersenyum, melingkarkan lengannya di leher Kai. “Pagi,” sapa Kira dengan suara serak khas orang bangun tidur. “Kamu ngomong apa barusan ke calon anak kita, Mas?” tanyanya penasaran, senyuman masih tersungging di bibirnya.Kai menyugar rambut Kira dengan jari jemarinya. “Cuma ngasih tahu dia, kalau aku nggak sabar menanti dia hadir di tengah-tengah kita.”“Kamu nggak
Kai mengerang pelan saat Kira menjauhkan bibir mereka. Pria itu merasa kehilangan. Lantas ditatapnya wajah Kira dengan tatapan memerotes.“Baby, berhenti menggodaku. Atau aku nggak akan tinggal diam,” ancam Kai dengan tatapan lembut.Kira tergelak pelan. “Aku nggak pernah bermaksud menggodamu, Mas,” bantahnya, “ciuman barusan cuma sebagai bentuk rasa terima kasihku, karena kamu ngizinin aku ketemu Luna.”“Aku tahu.” Kai mengesah panjang dan merangkul pinggang Kira, membawanya kembali masuk ke dalam kamar. “Tapi sikap kamu itu membuat aku tergoda.”Kira menyikut perut Kai sambil terkekeh kecil. Kini, pagi hari Kira terasa tenang dan menyenangkan. Kira tak pernah berani bermimpi bahwa hubungannya dengan Kai akan sampai di titik ini. Dulu, jangankan menjadi suami istri sungguhan seperti sekarang, bahkan mengobrol tanpa urat saja menjadi sesuatu yang sangat mustahil.Siang harinya, Kai menyuruh beberapa orang untuk memindahkan barang-barang d
Tak mampu lagi menahan perasaannya, Kira langsung memeluk Kai. Tubuhnya bergetar, tangisnya pecah di dada pria itu. Selama ini, ia selalu berharap, berdoa, menanti keajaiban, dan hari ini keajaiban itu datang.Kai membiarkan Kira menangis dalam pelukannya selama beberapa saat, lalu dengan lembut ia membisikkan, “Ayo, Mama pasti ingin melihat kamu sekarang.”Kira mengangguk, mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu menarik napas dalam-dalam. Dengan langkah yang mulai mantap, ia mengikuti Kai masuk ke ruangan.Saat pintu terbuka, Kira langsung melihat sosok yang sangat dirindukannya terbaring di atas ranjang, dengan wajah pucat tapi penuh kedamaian. Mata Indah terbuka, dan begitu melihat Kira, sudut bibirnya langsung membentuk senyuman.“Mama…,” lirih Kira.Tangisnya pecah sekali lagi, kali ini lebih pelan, lebih emosional. Kira berlari kecil mendekat, lalu meraih tangan ibunya yang lemah dan menggenggamnya erat.“Mama, in
Seketika itu juga Kira bergegas keluar dari kamar mandi, matanya tampak berbinar cerah saat ia menatap suaminya yang tengah mengenakan kemeja putihnya. “Mas!” seru Kira sambil berjalan mendekat. Kai menoleh, tersenyum. “Kamu sudah menemukannya? Kejutan dariku?” Dengan cepat Kira menganggukkan kepalanya seraya tersenyum lebar. Ia menunjukkan amplop di tangannya. Lalu tanpa banyak kata, ia menghampiri Kai dan menghambur memeluk leher pria itu sambil berjinjit. “Aku suka sekali kejutannya!” Tubuh Kai seketika berubah menegang tatkala ia mendapat pelukan dari Kira untuk pertama kalinya. Namun Kai berhasil menguasai ekspresinya dengan cepat. Kedua tangan pria itu terulur memeluk punggung ramping Kira erat-erat. “Benarkah? Kamu suka?” Kai bertanya untuk memastikan. “Hm! Sudah kubilang aku suka sekali kejutannya!” seru Kira sekali lagi. Pergi ke negara romantis seperti Perancis adalah impiannya sejak dulu. Namun dulu, impiannya itu terasa mustahil. Tak disangka-sangka, sekarang Kai-lah
Kai menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, tersenyum menampilkan sederet giginya yang rapi. Sesekali ia menggigit bibir bawah sambil tersenyum. Dan sesekali ia menggelengkan kepalanya.“Tuan, Anda baik-baik saja?” tanya Lia dengan bisikan.Lia dan dua orang klien yang sedang bertemu dengan Kai tampak terheran-heran melihat Kai sering tersenyum sendiri, persis seperti orang yang sedang jatuh cinta.Kai berdehem, senyumannya seketika memudar tatkala ia sadar sedang berada di mana saat ini.“Maaf. Sampai mana tadi?” tanya Kai dengan suara penuh wibawa sambil membuka-buka dokumen di hadapannya.Lia menghela napas pelan, tersenyum. Lia pikir, ini pasti ada hubungannya dengan Kira. Karena sejak tadi pagi Kira tampak murung, tapi semenjak makan siang berakhir Kira justru malah terlihat sebaliknya. Begitu pula dengan Tuan Kaisar.Apalagi Lia mendengar desas-desus dari beberapa karyawan bahwa di kantin tadi Tuan Kaisar datang dengan gagahnya sambil memba