“Kamu akan selalu ada di hati Mama, Nak. Mama sayang kamu,” lirih Kira sambil menaburkan bunga di atas tanah makam yang masih basah.
Kai benar-benar tidak datang.
Kira menghadiri pemakaman itu tanpa ditemani suaminya ataupun keluarga suaminya. Mereka semua seakan-akan tidak peduli pada penderitaan Kira. Seolah-olah Kira bukanlah bagian dari keluarga itu. Walaupun sejak awal Kira memang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga Milard—keluarga besar Kai.
“Mama nggak tahu apa yang harus Mama lakukan tanpa kamu sekarang,” lirih Kira lagi dengan tatapan kosong, air matanya telah mengering. Seluruh emosinya seakan telah tercerabut dari dalam dirinya. Ia merasa hampa, seperti seonggok daging tak bernyawa.
Kira duduk di atas tanah, memeluk batu nisan bayi yang ia beri nama ‘Aksa’. Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Namun Kira seakan tidak peduli. Ia tetap duduk di sana, membiarkan dirinya basah kuyup.
Saat hari mulai gelap, seseorang menghampiri Kira dan memayunginya.
“Non, ayo pulang. Hari sudah semakin sore,” ucap Ani, satu-satunya asisten rumah tangga Kai yang peduli terhadap Kira. Ia menatap iba pada kondisi Kira yang basah kuyup dan pucat pasi.
“Aku mau tetap di sini,” gumam Kira dengan tatapan kosong. “Aku mau menemani anakku. Dia pasti kesepian di dalam sana.”
Ani berjongkok di samping Kira dan memakaikannya jaket hangat. “Non, Aksa sudah di surga. Dia tidak akan kesepian. Saya yakin Aksa juga tidak ingin Non Kira seperti ini. Aksa pasti sedih melihat Non Kira menderita.”
Kata-kata Ani tersebut berhasil mengeluarkan Kira dari lamunan. Kira menoleh pada Ani dengan tatapan kosong dan bertanya, “Benarkah? Lalu dia ingin aku seperti apa? Aku nggak bisa bahagia tanpa dia.”
Ani tersenyum lembut dan membelai punggung Kira dengan perlahan. “Justru Aksa pasti ingin Non Kira bahagia. Non nggak mau di alam sana Aksa sedih lihat Non menderita, ‘kan?”
Dengan polosnya Kira mengangguk. “Aku nggak mau dia sedih.”
“Kalau begitu ayo pulang. Non Kira bisa sakit kalau terus menerus seperti ini.”
Setelah berpikir cukup lama, Kira akhirnya bangkit dan ikut pulang bersama Ani dengan langkah terseok-seok. Rasa sakit setelah proses persalinan kini semakin menjalari tubuhnya.
Setibanya di rumah Kai, Kira merasakan hatinya kembali berdenyut nyeri. Pria itu tidak pulang. Entah di mana Kai berada saat ini. Beberapa hari terakhir ini Kai memang jarang pulang ke rumah.
Malam itu, Kira tidak bisa tidur. Dadanya masih terasa penuh dan nyeri karena ASI yang terus mengalir meskipun bayinya telah tiada.
Kira berjalan menuju kamar mandi, menatap pantulan dirinya di cermin—wajah pucat, mata sembab, tubuh yang terasa begitu lemah.
Saat hendak kembali ke tempat tidur, suara notifikasi ponsel menarik perhatiannya. Sebuah pesan dari rumah sakit muncul di layar.
[Bu Kira, kalau Ibu merasa sakit dan mau donor ASI, kebetulan di RS kami ada beberapa bayi prematur yang butuh. Jika Ibu bersedia, kami akan sangat berterima kasih.]
Jari-jari Kira gemetar saat membaca pesan itu. Pikirannya melayang pada Aksa—anak yang tak sempat ia susui. Ia menekan dadanya, berusaha menahan perasaan pedih yang kembali menyergap.
Namun kemudian, Kira mengingat perkataan Ani di makam tadi.
“Aksa pasti ingin aku bahagia,” gumam Kira pada dirinya sendiri.
Setelah menarik napas panjang, Kira akhirnya membalas pesan tersebut. [Baik. Saya akan datang besok pagi.]
Keesokan harinya, Kira tiba di rumah sakit dengan mengenakan sweater longgar dan rambut yang diikat sederhana. Perawat menyambutnya dengan senyum lembut sebelum mengarahkannya ke ruang laktasi.
“Terima kasih banyak, Bu Kira. ASI Ibu sangat berarti bagi bayi-bayi ini,” ujar perawat dengan mata berkaca-kaca.
Kira hanya tersenyum lemah. Ia tahu, ini bukan hal mudah. Namun jika ia bisa membantu bayi lain bertahan hidup, maka setidaknya rasa kehilangan di hatinya tidak akan terlalu menyakitkan.
Selama beberapa hari ke depan, Kira rutin datang ke rumah sakit untuk mendonorkan ASI. Setiap kali melihat botol-botol kecil berisi ASI-nya dibawa ke ruang NICU, ia merasa seolah-olah Aksa masih hidup di dalam dirinya.
Sampai suatu hari, seorang ibu muda menghampirinya di koridor rumah sakit. Dengan mata penuh harapan, wanita itu bertanya, “Ibu Kira, Anda yang mendonorkan ASI untuk bayi saya, kan?”
Kira menoleh, sedikit terkejut. “Iya… saya.”
Wanita itu menahan tangis, lalu meraih tangan Kira. “Terima kasih… karena ASI Anda, bayi saya bisa bertahan. Dia lahir sangat kecil dan lemah, tapi sekarang kondisinya semakin membaik.”
Kira menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang kembali menyeruak. Untuk pertama kalinya setelah kehilangan Aksa, ia merasa ada arti baru dalam hidupnya.
Mungkin ia tidak bisa menyusui anaknya sendiri. Tapi setidaknya, ia bisa menjadi ibu bagi bayi lain—walau hanya dalam bentuk setetes ASI.
Kini, Kira membaringkan dirinya di tempat tidur. Ia baru saja akan memejamkan mata saat ponselnya berdering. Terpaksa ia bangkit untuk meraih ponsel di atas nakas. Betapa terkejutnya Kira saat ia mendapat panggilan telepon dari suaminya. Lelaki yang beberapa hari ini tidak pernah pulang ke rumah.
Dengan ragu Kira mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” sapa Kira.
“Kira, ke rumah sakit. Sekarang!”
Rumah sakit? Kira tidak bisa menahan rasa terkejutnya. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu sama kamu, Mas?” tanyanya.
“Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Datanglah ke rumah sakit. Aku tunggu.”
Panggilan berakhir begitu saja. Lalu tak lama ada pesan masuk dari Kai yang berisi alamat rumah sakit tempat pria itu berada saat ini.
Betapa terkejutnya Kira saat ia menyadari bahwa rumah sakit tempat Kai berada sekarang adalah tempat yang sama di mana Kira kehilangan Aksa.
Meski Kira berusaha untuk tidak peduli pada Kai, karena apa yang telah Kai lakukan selama ini membuatnya sakit hati, akan tetapi Kira tidak bisa mengabaikan rasa cemasnya. Ia khawatir ada sesuatu yang terjadi pada suaminya. Maka dari itu, saat itu juga Kira bergegas pergi ke rumah sakit tersebut.
Setibanya di rumah sakit, Kira menemui Kai yang saat itu berada di depan ruang NICU. Kira menghela napas lega ketika melihat suaminya baik-baik saja. Ia sempat berpikir bahwa suaminya itu kecelakaan.
“Mas, ada apa memanggilku ke sini malam-malam?” tanya Kira, yang membuat Kai membalikkan tubuh, menghadap Kira dengan ekspresi datar.
Kira ingin bertanya kenapa akhir-akhir ini Kai tidak pernah pulang ke rumah? Namun, Kira memilih untuk tidak menyuarakan pertanyaan itu. Kira sadar diri, ia tidak berhak ikut campur urusan suaminya.
“Kamu sudah melahirkan, dan anakmu meninggal dunia. Kamu pasti memiliki ASI yang nggak terpakai, bukan?” tanya Kai tanpa menunjukkan perasaan bersalah sedikit pun.
Hati Kira terasa seperti diremas-remas mendengarnya, ia juga bingung kenapa Kai bertanya demikian. Meski begitu, Kira tetap menjawab dengan tenang. “Benar. Kenapa kamu tanya begitu, Mas? Kamu sama sekali nggak merasa bersalah atau berduka atas kematian anakmu sendiri?”
Rahang Kai mengeras. Namun, alih-alih menanggapi ucapan Kira tersebut, Kai justru malah berkata, “Aku butuh ASI-mu.”
“Apa?”
“Jadilah ibu susu untuk anakku.”
Kira mematung. Sekujur tubuhnya mendadak terasa dingin. “Apa maksudmu, Mas?” tanya Kira memastikan. “Anak kamu? Mas ... anak kita sudah meninggal.”
Kai memutar tubuhnya, menghadap jendela besar yang menampilkan bayi-bayi di dalam inkubator. “Itu anakmu. Anakku ada di dalam sana. Dia bayi prematur dan butuh donor ASI.”
***
Suasana rumah keluarga kecil Kaisar setiap pagi selalu penuh dengan keramaian. Namun pagi ini, ada satu hal yang berbeda, Kai tampak mondar-mandir di ruang makan sambil memegang iPad, membaca sesuatu dengan dahi berkerut. “Mas, kamu kenapa sih dari tadi kayak guru BK yang habis baca nilai anak-anak?” tanya Kira sambil menuangkan teh ke cangkirnya. Kai menoleh cepat ke arah sang istri yang kecantikannya tak lekang oleh waktu. “Baby, kamu tahu nggak siapa cowok bernama Nuel dari kelas 10 IPA 2?” Kira mengangkat alis. “Lho? Itu teman sekelas Chloe, kan? Kenapa?” Kai meletakkan iPad di meja dengan wajah tegang. “Dia nge-DM Chloe semalam! Isinya ‘Kalau kamu bunga, aku rela jadi potnya.’” Kai menirukan dengan nada dramatis. “BAYANGIN ITU, BABY! POT!” Kira nyaris menyemburkan tehnya yang baru saja ia teguk. “Mas, itu cuma gombalan anak SMA!” “Tetap saja! Aku sudah bilang ke Chloe jangan balas cowok mana pun yang ngomong aneh-aneh!” Kai mulai gelisah lagi. “Aku harus ambil cuti, ak
Satu minggu kemudian, seperti yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, keluarga kecil itu berangkat untuk liburan singkat yaitu glamping di daerah pegunungan.Lokasinya sejuk, dikelilingi hutan pinus, dengan fasilitas mewah yang tetap mempertahankan nuansa alam.Tenda besar berbentuk kubah sudah berdiri lengkap dengan tempat tidur empuk, lampu gantung aesthetic, dan bahkan bathtub kayu yang menghadap ke hutan.“Waaahh, tenda Mommy sama Daddy kayak di kartun!” seru Alice sambil melompat-lompat.Chloe langsung mengambil alih, menunjuk tempat tidur besar. “Aku tidur di sini, ya! Dekat Mommy!”“Nggak bisa! Aku yang di sebelah Mommy!” Devano langsung protes keras, bibirnya mengerucut.Kai menghela napas panjang. “Dan perjuangan seorang ayah pun dimulai,” gumamnya dramatis.Kira hanya tertawa geli melihat anak-anaknya mulai heboh berebut tempat tidur.“Sayang, kita glamping itu buat santai, bukan untuk rebutan posisi,” celetuk Kira sambil membuka tas dan mengeluarkan jaket-jaket hangat.Tiba
Kira berusaha meloloskan dirinya dari belitan tangan Kai yang melingkari pinggangnya. Namun, pelukan itu terlalu erat hingga Kira sedikit menggunakan tenaga untuk menyingkirkan lengan itu. Dan pergerakan Kira berhasil membuat Kai terbangun.“Jangan meninggalkan aku, Baby,” bisik Kai hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa tengkuknya. Kira bergidik pelan. “Aku masih pengen.”Kira merotasi matanya dengan malas kala mendengar suara serak Kai yang penuh arti itu. Perlahan Kira menggeser posisi tubuhnya, yang semula memunggungi Kai kini saling berhadapan. Kira mengangkat satu tangan dan mengusapkannya pada pipi Kai.“Sudah malam, Mas. Anak-anak pasti sudah nunggu kita,” komentar Kira dengan lembut. “Kita sudah terlalu lama ninggalin mereka.”Kai meraih tangan Kira dari pipinya, lantas mengecup ujung jari jemarinya satu persatu. Semenjak anak kedua, ketiga dan keempat hadir di tengah-tengah mereka, Kai dan Kira jadi memiliki sedikit waktu untuk berduaan. Seperti hari ini, u
“Kamu cantik, Bel,” puji Julian blak-blakan, tanpa tahu efek dari pujiannya itu mampu membuat jantung Bella berdebar-debar tak beraturan. Bella berdehem dan memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menyembunyikan pipinya yang menghangat. Julian tersenyum melihat sikap Bella yang salah tingkah. “Aku beruntung banget ya punya pacar kayak kamu. Udah cantik, baik, independent lagi.” Sontak Bella menatap Julian dengan mata disipitkan. “Pacar?” ulangnya dengan tatapan tak percaya. “Maaf, Pak Julian. Kontrak kita sudah berakhir. Kita sudah bukan pacar lagi.” Tangan Julian terulur, menarik pinggang Bella hingga jarak di antara mereka terkikis. Mata Bella seketika terbelalak tapi seluruh tubuhnya seolah-olah membeku. “Bukannya sudah aku bilang, ya? Aku ngajak kamu ke acara ini sebagai kekasih sungguhan, bukan kekasih kontrak,” bisik Julian di dekat telinga Bella. “Itu artinya… malam ini kamu adalah kekasihku, Bella. Lagi pula kamu nggak nolak, ‘kan?” Detak jantung Bella semakin berta
Bella masih duduk terpaku di kursinya, seluruh tubuhnya terasa hangat seperti habis disiram gelombang panas. Bibirnya masih bisa merasakan jejak lembut dari ciuman Julian yang datang tiba-tiba. Ciumannya singkat, tapi cukup untuk membuat seluruh sistem tubuh Bella kacau balau. Julian hanya tersenyum kecil. Tatapannya terlihat tenang, seolah tak ada yang luar biasa yang baru saja terjadi. Padahal, bagi Bella, itu lebih dari luar biasa. Itu pertama kalinya Julian menciumnya. Masih dengan pipi merona, Bella berdiri dan membawa piring kosong ke wastafel. Ia tak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin seseorang yang dulunya hanya pura-pura, kini bisa membuat jantungnya serasa mau meledak hanya karena satu ciuman? Julian bangkit dari tempat duduk, mengambil jaket tipis dari dalam kamar. Lantas menatap Bella dari balik meja dapur. “Kamu masih mau ikut belanja, kan?” Bella hanya mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Dalam hati ia menegur dirinya sendiri karena tak berhenti memutar ul
Cahaya mentari pagi menembus lembut melalui celah-celah gorden kamar, menyapa wajah Bella yang masih tertidur.Ia mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan mata dengan cahaya yang mulai menerangi ruangan. Tapi alih-alih merasa familiar dengan suasana di sekitarnya, Bella malah terdiam.Plafon putih polos dengan sudut lampu kecil di tiap sisi itu… bukan plafon kamarnya.Tubuh Bella langsung kaku. Matanya membulat saat menyadari bahwa dirinya kini berada di atas tempat tidur Julian.Tempat tidur Julian?!Ia perlahan duduk, tubuhnya masih terbalut selimut berwarna abu-abu yang aromanya sangat khas, aroma parfum maskulin Julian yang lembut, menyusup masuk begitu saja ke dalam indera penciumannya.“Aku… tidur di sini?” gumamnya, nyaris tak percaya.Ia mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatannya masih jelas, ia tertidur di sofa, bersandar dalam posisi duduk. Lalu… kenapa sekarang ia bangun di ranjang?Apa aku pindah sendiri? Tapi aku nggak mungkin setengah sadar bawa diri ke kasur, kan?P