Dengan tertatih, Annisa berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Bima terbaring lemas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Annisa menggosok seluruh tubuh dengannya kuat karena bekas sentuhan Bima masih terasa dan membuatnya jijik. Air mata wanita itu mengalir deras, bersamaan dengan tetesan air yang turun dari lubang-lubang shower.
Setelah selesai membersihkan diri, Annisa mengintip dari balik pintu. Kamarnya kosong. Itu berarti Bima sudah keluar sejak dia mandi tadi. Dengan cepat wanita itu berlari dan mengunci pintu. Lalu, tubuhnya luruh ke lantai dengan tangis yang kembali tumpah ruah.
"Maafkan Nisa, Mas," lirihnya ketika teringat kepada mendiang sang suami.
Betapa baiknya perlakuan Rahman selama mereka menjani rumah tangga. Pantaslah kiranya dia menolak untuk menikah dengan Bima. Benar sesuai dugaan, laki-laki itu sekarang begitu kasar dan bersikap semaunya.
Annisa segera berdiri dan mengambil tas di lemari, lalu memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper. Sepertinya dia harus segera pergi dari rumah, bagaimanapun caranya. Wanita itu tak peduli sekalipun ada pantangan yang melarangnya keluar. Jika dia tetap berada di situ, maka kehormatannya akan terancam.
"Nak! Nisa!" Sebuah ketukan di pintu mengagetkannya.
"Iya, Bu?" jawabnya sopan.
"Buka pintunya. Ayo ke luar. Ibu bawa makanan," jawab Ratih dengan sopan.
Sejak Rahman berpulang, menantunya memang lebih banyak mengurung diri dan sering menangis sendirian. Jadi, ketika Annisa keluar dari kamar dengan mata bengkak, Ratih sudah tak heran. Dia menganggap wanita itu masih berkabung dalam kesedihan.
Dulu, saat suaminya meninggal, kondisi Ratih juga sama seperti yang dialami Annisa, bahkan lebih parah. Dia bahkan tak makan berhari-hari dan tak bisa tidur nyenyak karena rasa kehilangan yang teramat mendalam.
"Bawa apa, Bu?"
"Ada rantangan dari pengajian. Ayo, kita makan sama-sama," ajak Ratih sembari menarik tangan sang menantu.
Annisa melangkah dengan ketakutan. Apa yang dilakukan Bima tadi masih berbekas. Matanya melirik ke sekeliling ruangan, dan menarik napas lega saat melihat meja makan yang kosong. Lalu mereka duduk berhadapan dan mulai makan.
"Kamu kenapa?" tanya Ratih heran. Tak biasanya sang menantu bersikap seperti itu.
"Nisa makan di kamar saja ya, Bu. Gak enak badan," pintanya memohon. Sungguh, dia takut jika sampai bertemu dengan Bima lagil.
"Kamu sakit?"
"Pusing," jawabnya.
"Ya, sudah. Ambil piring sama lauk semaumu. Bawa ke kamar setelah itu istirahat."
Dengan patuh, Annisa melakukan apa yang diminta ibu mertuanya, lalu bergegas masuk ke kamar dan mengunci pintu. Dengan tangan gemetaran wanita itu menyuapkan nasi ke mulut. Perutnya terasa mual, sehingga dia meneguk segelas air putih dan meletakkan makanannya begitu saja di lantai.
Annisa naik ke ranjang, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba saja dia menjadi jijik berbaring di sana dan bergegas turun. Wanita itu menarik seprai dan membuka semua sarung bantal, lalu melemparnya ke sudut ruangan. Nanti, dia akan membuangnya, beserta baju yang masih berserakan di lantai.
"Astagfirullahaladzim."
Annisa mengusap dada yang terasa sesak. Dalam hati bertanya, mengapa semua itu terjadi? Harusnya dia kembali ke rumah orang tua setelah masa tujuh hari berkabung. Hanya saja, hatinya tak tega meninggalkan sang ibu mertua.
"Ya Allah, kenapa kau berikan cobaan begitu berat setelah kepergian suamiku." Annisa melangkah menuju sofa yang terletak di sudut kamar. Setelah puas nenumpahkan tangis, akhirnya wanita itu terlelap.
***
"Nak." Sebuah bisikan di telinga membangunkannya.
Mata Annisa perlahan terbuka dan mendapati ibu mertuanya sedang duduk di sebelah.
"Kenapa Ibu bisa masuk?" tanya Annisa dengan heran.
"Tadi Ibu pakai kunci duplikat. Habisnya kamu ndak bangun juga. Ini sudah mau Magrib. Jadi Ibu takut kamu kenapa-kenapa," jawab Ratih dengan nada khawatir.
Deg!
Jantung Annisa berdetak kencang. Kunci duplikat? Jadi, selama ini ibunya punya? Apa jangan-jangan, tadi Bima bisa masuk karena itu?
Seketika Annisa menjadi lemas dengan kepala berdenyut hebat. Wanita itu menggelengkan kepala dengan keras. Itu membuat Ratih bertanya-tanya.
"Nisa, kamu kenapa, Nak?"
"Gak apa-apa, Bu." Annisa memeluk Ratih dengan erat.
"Astagfirullah badan kamu panas. Kamu demam."
Ratih menuntun menantunya untuk berdiri dan hendak membawanya ke ranjang, saat Annisa menolak dengan keras.
"Nisa gak mau tidur di situ, Bu. Nisa takut," ucapnya sembari gemetaran. Bayangan perlakuan Bima tadi kembali berkelebat.
"Ya Allah, kamu kenapa?" tanya Ratih saat menantunya meronta begitu kuat. Akhirnya, dia kembali menuntun Nisa untuk berbaring di sofa.
Ratih bergegas keluar kamar dan memanggil Bima untuk dimintai pertolongan. Sejak tadi, putra keduanya itu hanya berdiam di kamar. Entah mengapa seharian itu dia merasa ada yang janggal telah terjadi di rumah, tapi tak tahu apa.
"Bima, bangun!" Ratih menggedor pintu kamar putranya.
Tak lama, pintu kamar itu terbuka. Bima muncul dengan wajah kusut juga rambut yang berantakan.
"Ada apa, Bu?" tanya laki-laki itu dengan malas. Dia masih mengantuk dan tak ingin diganggu oleh siapa pun.
"Nisa demam. Panasnya tinggi. Tolong Ibu, Nak."
Bima terkejut lalu meminta izin untuk mencuci muka terlebih dahulu. Setelah itu, Ratih langsung menarik tangan putranya dan bergegas menuju kamar sang menantu.
Bima berhenti di depan, tak berani masuk karena ada ibunya. Padahal tadi pagi dia bersenang-senang di sana. Tanpa rasa bersalah, laki-laki itu mengintip dan melihat Annisa sedang menangis sesegukan sembari bergelung di sofa.
"Masuk, Bima. Tolong Ibu," pinta Ratih. Tubuhnya yang renta tak sanggup membopong Annisa keluar. Dia berencana akan membawa menantunya ke praktik dokter terdekat.
Mendengar itu, Annisa merespons dengan berteriak.
"Keluar!" usirnya saat Bima akan melangkah masuk.
Ratih mengusap dada melihat menantunya bersikap seperti itu. Annisa seperti orang kesurupan dengan raut wajah penuh amarah. Lalu, dia menyuruh putranya mundur dan menutup pintu.
"Kamu kenapa, Nak? Jangan bikin Ibu bingung dengan sikapmu. Tadi pagi kamu baik-baik saja. Sekarang malah demam," bisiknya sembari memeluk tubuh mungil itu dengan erat.
Air mata Ratih mulai menetes, apalagi Annisa sejak tadi gemetaran dan menangis dengan kencang.
"Aku takut, Bu. Aku mau pulang," lirihnya.
"Kita ke dokter dulu ya, Nak. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa," bujuknya.
Annisa menggeleng. Dia tak mau keluar kamar dan bertemu Bima lagi. Bisa saja laki-laki itu akan mengulangi perbuatannya.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu minum obat saja. Ibu carikan dulu di lemari."
Sepeninggalan ibunya, Annisa kembali berbaring di sofa dan memejamkan mata. Tak lama, Ratih kembali dan membantu menantunya untuk minum obat.
Setelah merasa lebih tenang, Annisa berkata dengan penuh permohonan. "Besok pagi Nisa mau pulang, Bu. Nisa kangen Bapak."
Ratih menimbang sesaat lalu berkata "Kalau memang itu maumu, Ibu ndak bisa menahan lagi. Besok kami antar ke stasiun."
Annisa mengangguk dan mengucap syukur, lalu kembali memeluk ibu mertuanya dengan erat.
***
Hilir mudik orang yang berlalu lalang, memadati stasiun pagi itu. Sebagian penumpang ada yang duduk di kursi tunggu, ada pula yang berdiri menunggu kereta mereka datang.
Beberapa orang terlihat memanggul tas besar atau kardus berisi barang-barang atau buah tangan untuk keluarga yang akan dikunjungi.
Begitu pula dengan Annisa yang sudah siap dengan sebuah koper dan paper bag besar di tangannya. Wanita itu menunggu antrean karena tak mau berdesakan dengan yang lain.
Ada banyak anak-anak yang ikut serta dalam perjalanan, sehingga Annisa memberikan kesepatan kepada penumpang yang membawa keluarga untuk masuk duluan.
"Hati-hati. Jangan dirimu ya, Nak," ucap Ratih dengan berat hati saat melepas menantunya di stasiun kereta. Matanya berkaca-karena berat hati hendak berpisah.
Annisa menciun tangan ibu mertuanya sebagai tanda hormat. Tanpa menoleh ke arah Bima dia melangkah mendekati gerbong.
"Nis, maaf," ucap Bima dengan penuh penyesalan.
Matanya menatap wanita itu dengan lekat dan hati yang gamang. Ada perasaan bersalah yang perlahan menyusup ke sanubari Bima. Rasanya dia ingin memeluk sang pujaan hati, agar kata ampunan itu terucap dari bibir Annisa. Bahkan jika perlu, dia siap bersujud untuk meminta maaf.
Ratih tersentak mendengar itu, lalu menatap mereka berdua secara bergantian. Sejak Bima datang, sikap menantunya memang berbeda. Annisa jarang mau ke luar kamar dan setiap berpapasan dengan putranya seperti menghindar.
Ratih tahu, menantunya itu sangat menjaga diri terhadap lawan jenis. Saat Rahman masih ada pun, sikapnya sama. Hanya saja, memang agak aneh jika tiba-tiba saja Annisa langsung pergi jika Bima datang dan duduk berbincang bersama mereka.
"Kalian ada apa?" tanya Ratih menatap curiga.
"Itu, Ma. Maaf waktu Bima ... kemarin mau masuk ke kamar Nisa," katanya berbohong sembari menatap wajah Annisa yang terlihat begitu cantik dengan balutan hijab putih.
"Ibu juga minta maaf ya, Nisa. Malah nyuruh Bima masuk ke kamar kamu. Habisnya Ibu khawatir lihat kondisi kamu begitu."
"Ya, Bu."
Hanya itu yang Annisa ucapkan sebelum perpisahan. Lalu kaki kecilnya melangkah memasuki gerbong kereta. Hingga bayangannya menghilang bersama dengan hati Bima yang tiba-tiba saja merasa hampa.
Mobil travel berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan lantai kayu dan cat berwarna hijau. Suasana terlihat sepi, hanya kicauan burung yang terdengar dari beberapa pohon mangga yang tumbuh di pekarangannya. Makhluk itu hinggap ke sana kemari sesukanya tanpa mengenal lelah.Ketika pintu rumah itu terbuka, muncullah sesosok laki-laki paruh baya dengan memakai sarung dan kaus putih serta peci di kepala."Nisa?" Mata tuanya seakan tak percaya saat sang putri kesayangan turun dari mobil dengan membawa sebuah koper."Bapak." Annisa memeluk ayahnya dengan erat sembari meneteskan air mata."Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga." Pandu memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Dia mengira, Annisa akan pulang bulan depan karena sesuai hitungan masa iddahnya belum selesai."Nisa sudah kangen sama Bapak. Jadi, minta izin sama Ibu pulang lebih cepat. Lagi pula, adiknya Mas Rahman sudah datang. Jadi, ibu ndak sendirian lagi," jelas
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.Laa ilaaha illallaah."Suara azan Subuh yang menggema dari speaker masjid membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Wanita itu perlahan membuka mata dan merasakan kepalanya begitu berat. Dia mencoba duduk dan bersandar di ranjang sembari memijat pelipis. Setelah dirasakan cukup nyaman, Annisa bangun dari tempat tidur hendak keluar menuju kamar mandi. Ketika pintu terbuka, tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung dengan kepala seperti berputar. "Kenapa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya bersandar di depan pintu. "Pusing, Pak," jawab Annisa dengan bibir gemetaran. "Sini Bapak bantu." Pandu m
Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha."Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih."Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.Annisa hanya terdiam
Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a