Kegaduhan terus berlanjut, Kenzo menyeret Luiza masuk ke dalam kamar di samping ruangannya. Tempat serba merah yang biasa mereka pakai untuk memadu kasih atau sekedar beristirahat. Luiza tidak pernah suka jika dirinya dibawa kemari, apalagi dengan keadaan seperti sekarang, dia lebih baik mati. "Apa lagi yang akan kau lakukan?!" Kenzo membanting tubuh Luiza ke atas kasur, dia turut merangkak naik sehingga wanita cantik itu mundur ketakutan. Air mata tak hentinya membanjiri, Luiza semakin dibuat gelisah saat Kenzo mengambil dua gelung rantai besi. Dia hanya bisa menatap dengan nanar semua kelakuan sang bos. Pakaian Luiza dilucuti, menampilkan tubuh indah yang bergetar hebat menahan tangisan. Kedua tangan dan kakinya dibuka dan dirantai pada tiap sudut kasur, tangisan yang mengeras pun tidak pernah dihiraukan. "Aku sangat mencintaimu, aku tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyentuh tubuh ini," ucap Kenzo. Perlahan-lahan mengelus dan meremas buah dada di hadapannya. Dia berusah
Pandangnya tak beralih sedikitpun dari keramaian kota di bawah sana, mengamati lalu lintas masyarakat yang tengah bersiap menyambut hujan. Secangkir kopi di tangannya ampuh untuk menghangatkan tubuh ketika cuaca sedang dingin. Luiza terpejam, mendengar alunan musik klasik yang baru saja diputar oleh seseorang. Lambat laun orang itu berjalan dan lantas memeluk tubuh Luiza dari belakang. "Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, pada akhirnya, kau tidak bisa lepas dan akan tetap jadi milikku. Bagaimana bila kita menikah?" tanya Kenzo, serta-merta membuat Luiza terpatung merenungkan berbagai hal di benaknya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan mengajakku menikah. Apa untungnya bagimu?" "Agar aku bisa memilikimu sepenuhnya, tentu saja. Kau akan jadi pendamping yang ideal, dan aku tidak akan ragu lagi untuk memberikan apapun kepadamu. Kau bisa mendapat setengah kekayaanku, kau bisa berkumpul dengan pasangan para petinggi, kau juga akan mendapat kekuasaan mutlak dalam organisasi."
[Virginia, Amerika Serikat]Bekerja di Badan Intelijen Pusat tentu mengharuskan tiap anggotanya untuk punya kecerdasan di atas rata-rata. Mereka adalah manusia pilihan yang siap melakukan apa pun demi kepentingan negara. Salah satunya adalah pria berumur 28 tahun itu, si pemilik alis tebal dan iris mata biru tua yang sering kali disebut dengan Agen Ice Peak. Sebelum resmi bergabung dengan lembaga tersebut, dia lebih dulu menjalani latihan panjang dan kejam. Latihan-latihan berat layaknya tentara yang hendak berperang di medan tempur. Lebih dari itu, egonya sering kali ditindas, dia dilarang untuk merasa kecewa jika tidak mendapatkan pujian. Mentalnya dilatih lebih keras daripada fisik, agar dia punya daya tahan tinggi untuk berurusan dengan sesuatu yang dapat menyerang pikiran. Sebab, otak yang baik dan sehat adalah senjata utamanya di lapangan. Agen Ice Peak dikenal sebagai orang yang sangat cerdas di lingkungan sekitarnya. Bahkan, dia mendapatkan skor sempurna ketika lulus dari uni
Blitz kamera sudah menjadi makanan sehari-harinya, wanita berparas cantik itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam di lokasi shooting sampai mendapat hasil paling sempurna. Dia terus berpose dengan elok layaknya model profesional, memainkan posisi tangan, sikap tubuh dan raut wajahnya yang semulus boneka porselen. Diana Park, penyanyi sekaligus model populer itu sedang sibuk dalam pemotretan album keenamnya yang mengusung konsep ceria. Benar-benar perpaduan sempurna dengan pribadinya yang periang dan menyenangkan. Diana sangat antusias untuk memakai baju-baju cerah, rambutnya juga diubah menjadi warna ungu pastel. Diana selalu bercerita kepada manajer bahwa comeback musim panas ini sangat menunjukkan diri Diana Park yang sesungguhnya. Oh, andai saja Diana bisa memberi tahu penggemarnya lebih awal tentang album ini. Segera setelah pemotretan sesi pertama selesai, beberapa staf mulai menghampirinya dan memberi tahu perempuan itu agar segera bersiap untuk melanjutkan proses pengambilan vi
Nathan berjalan lambat laun memasuki rumah bernuansa modern milik Diana. Sekarang adalah hari kedua setelah mereka menikah, Nathan baru saja pulang dari pertemuannya dengan keluarga besar Park. Jam dinding hampir menunjukkan pukul 12 malam dan tidak ada siapa pun di sekitar Nathan. Seperti menyusuri museum, pria tampan itu terus mengamati setiap inci rumah dengan mata elangnya. Melihat-lihat vas bunga besar di sekitar ruang tamu, lukisan dan karya seni yang terpampang di dinding hingga sudut-sudut atas ruangan. Hanya ada satu CCTV yang terpasang di ruang tamu itu dan mengarah ke pintu masuk utama, maka Nathan berjalan menuju titik buta, lebih tepatnya mendekati kabinet yang terletak di samping tangga. Nathan langsung meletakkan benda seukuran kuku orang dewasa di antara tumpukan buku dan hiasan bunga. Bukan apa-apa, itu hanya alat perekam sederhana yang akan ia sembunyikan di kamarnya juga. Untuk berjaga-jaga. Kemudian Nathan berangsur menaiki tangga, dia tetap harus melangkah dengan
"Ini adalah kawasan manufaktur milik Han Hillen, semua proses mulai dari pengembangan hingga pembuatan senjata dilakukan di sini." Para petinggi Han Hillen bersama Nathan Lee sedang melakukan kunjungan ke pabrik besar di pinggiran Kota Seosan. Sebagai perusahaan senjata terbesar di Negeri Gingseng, Han Hillen punya infrastruktur memadai dan lingkungan kerja yang kondusif. Tempatnya cukup dekat dengan perairan dan jauh dari pemukiman penduduk, pun sering disebut sebagai area terlarang bagi orang biasa. Setidaknya itulah yang Nathan ketahui tentang tempat ini. Kebetulan mereka datang saat jam kerja, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang di luar pabrik, hanya ada beberapa pegawai berseragam dan juga tentara yang memandang eksistensi Nathan dengan aneh. "Satu jam lagi kita akan mengadakan pertemuan dengan pihak produksi, tapi sebelum itu, mari kita masuk lebih dalam ke area pabrik," ajak James. Tidak ada yang menarik, atau mungkin belum. Nathan hanya melihat puluhan senjata api y
Usia pernikahan mereka sudah memasuki minggu ke-empat. Sudah bisa meminimalkan rasa canggung dan saling mendekati layaknya remaja yang sedang berpacaran. Untuk mendukung usaha pendekatan itu, Diana sengaja membuat acara makan malam di halaman samping rumah, sekaligus juga menjadi perayaan karena dia akan merilis albumnya akhir bulan depan, pada akhir musim panas. Malam itu terasa hangat sebab panggangan barbeku yang masih menyala di depan mereka. Ditemani keindahan Kota Seoul dan secangkir teh hangat, Nathan terus memainkan gitar cokelat di tangannya sementara Diana bernyanyi ria. "Kau tahu lagu milik Justin Bieber, Off My Face?" tanya Diana selagi menatap suaminya. Nathan lantas tersenyum dan mengangguk, disusul petikan gitar untuk meyakinkan Diana kalau dirinya memang tahu. Diana jadi sangat gembira, dia kembali meminum tehnya sebelum mulai bernyanyi. "One touch and you got me stoned, higher than I've ever known, you call the shots and I'll follow. Sunrise but the night's stil
Nathan terbangun dari tidurnya pada jam setengah 4 pagi akibat getaran alarm ponsel yang memang sudah dia rencanakan. Dia beringsut turun dari kasur sambil membawa ponsel tersebut dan perlahan-lahan menuju sisi lain tempat tidur. Tangannya sedikit melambai di depan wajah Diana untuk memastikan bahwa wanita manis itu masih pulas. Kemudian Nathan juga mengambil ponsel milik Diana dan membuka layar kunci dengan sidik jari istrinya itu. Nathan hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun, kecuali derit pintu balkon yang cukup nyaring hingga membuatnya panas dingin. Untung saja Diana tidak terbangun. Meski sudah berada di luar ruangan, Nathan tetap harus berjaga-jaga dan mengawasi Diana karena tidak ada tirai yang menutupi balkon kamarnya. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan oleh Nathan? Dia tampak membuka aplikasi telepon di smartphone milik Diana, lalu mencari-cari nomor dengan panggilan tak terjawab paling banyak. Ada 5 nomor telepon yang kemudian dia lacak menggunakan ponsel miliknya