Kaelen kembali ke ruangan dengan tampilan yang lebih tertutup. Kali ini, sebuah jaket kain wol berwarna gelap menggantung di bahunya, dipakai asal-asalan hanya menutupi punggungnya, seperti tirai yang menggantung malas untuk menyembunyikan tonjolan bokong yang tegas di balik celana hitamnya.
Bagian depan tubuhnya masih dibalut kemeja putih, kancing atas kini tertutup rapi. Kombinasi kemeja dan jaket memberikan kesan semi formal, namun tetap bergaya khas anak muda—berantakan, tapi memikat. Kaelen berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, matanya menyipit penuh perlawanan. "Begini? Puas sekarang?" Kamila menyelipkan tangan di saku, tatapannya menurun ke bawah, langsung terpaku pada celana hitam yang membungkus kaki Kaelen dengan ketat, seolah kain itu langsung dilukis di kulitnya. Ia mengangkat alis, sudut bibirnya terangkat nakal. "Apa tidak ada celana yang lebih longgar? Kenapa setiap kali bertemu, kau selalu pakai celana lakban?" Kaelen tersenyum bangga, memperbaiki posisi berdirinya seolah memamerkan lebih jelas apa yang diprotes Kamila. "Ini ciri khasku," katanya dengan nada penuh percaya diri. "Lagipula, siapa yang peduli? Tidak ada yang melihat bagian bawah." Kamila tertawa kecil, langkahnya mendekat. Matanya berkilau penuh tipu muslihat. "Yakin?" "Ya, yakin!" Kaelen merespon cepat, tetapi nada suaranya mulai terdengar goyah. Kamila mengangguk pelan, senyum penuh arti menghiasi wajahnya. Kaelen mengangkat tangan menyerah. "Baiklah! Baiklah! Aku ganti lagi!" gumamnya, lalu bergegas pergi seperti anak kecil yang dihukum untuk kedua kalinya. Kamila memperhatikan punggung Kaelen saat dia berjalan menuju ruang ganti, dan tanpa sadar pandangannya tertarik ke bawah. Gerakan luwes Kaelen membuat celana itu memperlihatkan lekukan bokongnya yang menonjol, setiap langkah mengukir garis yang tak seharusnya terlihat begitu detail. Merasa wajahnya mulai memanas, Kamila akhirnya bergerak cepat. Ia meraih ujung jaket yang melorot dari punggung Kaelen dan tanpa peringatan mengikatnya di pinggang pria itu. "Begini lebih baik." Kaelen tersentak, tangannya segera meraba belakang tubuhnya, menelusuri jaket yang kini menutupi bagian yang menjadi pusat perhatian. "Apa ... sangat kelihatan dari belakang tadi?" Kamila memasang wajah polos, matanya menyipit penuh godaan. "Entahlah ... Kalau wanita lain yang melihatnya, mungkin mereka sudah menampar bokongmu karena gemas." Kaelen membeku. Pipi yang tadinya hanya bersemu merah kini memanas bagai api yang tak dapat dipadamkan. Ingatan tentang beberapa penggemarnya yang pernah menepuk bokongnya saat sesi fan meeting melintas di benaknya. Rasa malu bercampur marah menjalar hingga ke ujung telinga. Tanpa berkata sepatah kata lagi, ia langsung berlari menuju ruang ganti, meninggalkan Kamila dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya. Kamila tertawa kecil, menggelengkan kepala dengan penuh rasa puas. "Dasar...," bisiknya pelan, sebelum berjalan santai di belakang Kaelen, seperti seorang bodyguard yang menjaga dengan mata waspada. Ruangan besar itu dipenuhi dengan cermin tinggi yang berbaris sepanjang dinding. Lampu-lampu bulat memancarkan cahaya hangat, memantulkan kilau dari deretan peralatan makeup yang tertata rapi di atas meja kayu berlapis kaca. Aroma halus parfum bercampur dengan wangi foundation memenuhi udara, menghadirkan kesan profesional dan glamor. Kamila melangkah santai ke tengah ruangan, memilih kursi rias dengan punggung tinggi, lalu menjatuhkan dirinya dengan elegan di atasnya. Ia menyilangkan kaki, mengayunkannya pelan sambil menatap Kaelen dengan pandangan penuh teka-teki. "Ganti celanamu yang lebih sopan. Aku tunggu di sini, ya." Kaelen, yang sudah mulai pasrah dengan perintah Kamila, hanya mengangguk tanpa perlawanan. "Iya, iya. Tunggu saja. Jangan ke mana-mana." Dengan langkah enggan, ia berjalan menuju bilik ruang ganti yang terletak di sudut, menyibakkan tirainya dengan satu gerakan halus sebelum menghilang ke baliknya. Saat suasana menjadi sunyi, senyum tipis terukir di bibir Kamila. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran yang membara. Seolah suara kecil di benaknya berbisik menggoda, “Ada idol tampan sedang ganti baju di balik tirai itu.” Matanya bergerak liar, dan tanpa pikir panjang, ia bangkit dari kursi dengan langkah ringan seperti bayangan yang menari dalam kegelapan. Jantungnya berdegup kencang saat ia mendekat ke pintu ruang ganti. Jemarinya menyentuh permukaan kayu yang hangat, lalu dengan perlahan, matanya menyusup ke celah sempit lubang kunci. "Aku ingin lihat … sedikit saja...," desisnya pelan. Tiba-tiba suara yang familiar—keras dan penuh peringatan—membelah keheningan. "JANGAN MENGINTIP!" Kaelen berteriak dari dalam, suaranya menggema hingga membuat Kamila melompat seperti tertangkap basah mencuri permen di depan penjaga toko. Ia tersentak mundur, tertawa kecil, lalu menutup mulut dengan tangan untuk menahan kegembiraan yang meluap-luap. Pipinya memerah karena geli. Kaelen yang pemalu benar-benar terlalu lucu untuk dilewatkan. Tak butuh waktu lama sebelum tirai kembali tersingkap. Kaelen melangkah keluar, dan kali ini penampilannya membuat udara di ruangan terasa lebih berat. Celana biru tua bahan yang membalut kakinya tidak terlalu ketat, tetapi cukup membentuk keindahan otot kakinya yang panjang dan proporsional. Di bagian atas, ia mengenakan kemeja putih berenda yang menghiasi dadanya dengan sentuhan klasik, disempurnakan oleh jas biru tua yang kontras namun senada dengan warna rambut dan warna celananya yang berkilauan. Lekukan pinggangnya terlihat jelas, sempurna tanpa cela, memancarkan kombinasi antara pesona elegan dan sensualitas yang memabukkan. Mata Kamila membesar. Bibirnya sedikit terbuka, dan ia nyaris tersedak napasnya sendiri. Dengan cepat, ia menekan jari di bawah hidung, seolah mencegah darah mimisan yang hampir tumpah. "Astaga, itu … sempurna." Ia menelan ludah dengan sulit, tatapannya tak kunjung lepas dari tubuh Kaelen. "Sekarang, ayo kita dandani wajah tampanmu itu." Kaelen menyeringai tipis, matanya berkilat penuh percaya diri, tetapi rona merah masih tersisa di pipinya. "Cuma wajah?" tanyanya dengan nada yang penuh godaan. Kamila menggeleng dengan tawa pelan, mengambil kuas makeup dengan gerakan mantap. "Jangan mulai. Kau sudah cukup membuatku terancam mimisan."Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
"Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.
Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b