Home / Romansa / Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku / Bab 3: Masih seperti anak kecil.

Share

Bab 3: Masih seperti anak kecil.

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2025-01-18 13:14:48

Kaelen melipat kedua tangannya di depan dada, matanya memancarkan kekesalan, dan bibirnya yang penuh memanyun dengan gaya cemberut yang terlihat hampir lucu. "Jahat! Aku sudah berharap padahal!" suaranya terdengar seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permen favoritnya.

Kamila mengangkat alis, matanya bersinar penuh kemenangan. "Oh, maaf. Aku lupa. Harapan tidak seharusnya kau gantungkan padaku, kak Kaelen. Kau pasti tahu itu."

Sebelum Kaelen bisa membalas, suara seseorang memecah keheningan. "Kaelen, kau belum bersiap?"

Seorang pria dengan rambut cokelat keabu-abuan muncul di ambang pintu, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Sebagian poni rambutnya menjuntai menutupi salah satu matanya, menambah kesan misterius pada wajah tampannya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan yang memeriksa Kaelen dari ujung kepala hingga kaki. "Kau bilang mau mengadakan fan meeting di Mall Jayakarta. Kenapa belum bersiap juga?"

Kaelen, masih tenggelam dalam emosinya, hanya menoleh dengan tatapan malas.

Pria itu—Tommy, sang manajer—mengehela napas berat, lalu menunjuk Kaelen dengan dagunya. "Rambut biru tuamu itu ... belum disisir, masih acak-acakan seperti sapu ijuk. Dan pakaianmu? Serius? Kemeja putih tanpa dikancing penuh, kerah berantakan." Matanya menyipit tajam. "Kenapa juga bagian atasnya terbuka lebar, hah?"

Kaelen, yang sebelumnya tidak menyadari kondisinya, langsung melirik ke bawah. Dadanya yang bidang dan otot-ototnya yang terlihat jelas terekspos. Wajahnya berubah merah seperti tomat matang. Dengan canggung, dia memeluk dadanya sendiri, mencoba menutupi kemejanya yang terbuka lebar.

"Dan satu lagi ... Kau tidak pakai sepatu!" Tommy memegangi kepala dengan satu tangan, seolah rasa sakit yang tiba-tiba menyerang adalah efek langsung dari kebodohan Kaelen. "Tolonglah, Kaelen, kau pemilik perusahaan sekaligus seorang idol besar. Citra adalah segalanya."

Kaelen langsung memanjatkan kedua kakinya ke atas sofa, melingkarkan lengannya di sekitar lututnya, wajahnya yang merona terselip di antara lipatan tubuhnya. "Pak Tom-Tom!" serunya dengan nada anak kecil yang manja, "Hentikan ceramahmu! Kepalaku jadi sakit!"

Tommy menyilangkan tangan, memandangnya dengan tatapan yang seperti ayah memandangi anaknya yang keras kepala. "Itulah yang kau dapatkan karena bertingkah sembarangan."

"Iya! Iya! Saya akan ganti pakaian!" Kaelen melompat dari sofa dan berlari keluar ruangan, gerakannya seperti bocah yang kabur setelah dimarahi ibunya.

Tommy menghela napas panjang, menatap pintu yang kini tertutup rapat. "Dia benar-benar tidak pernah berubah. Selalu kekanakan."

Kamila yang sejak tadi memperhatikan hanya bisa mengangguk setuju, matanya berbinar penuh sindiran. "Sangatlah betul!" gumamnya, senyum tipis menghiasi bibirnya.

Tommy mengalihkan pandangannya ke Kamila, memperhatikan lebih saksama. Matanya menyipit sedikit saat ia mengenal wajah gadis di depannya. "Ah, Kamila, ya? Kau sudah dewasa rupanya."

Kamila tersenyum kecil, sedikit geli mendengar komentar itu. "Tentu saja sudah, Pak Tommy. Saya hanya beda dua tahun dengan Kaelen."

Tommy mengangguk pelan, tatapan penuh kenangan melintas di matanya. "Benar juga...." Ia berdeham pelan, mencoba kembali ke topik utama. "Jadi, apa kedatanganmu ke sini? Mau menjenguk Kaelen? CLBK?" tanyanya sambil menyeringai kecil.

Kamila mendengus. "Tidak, Pak. Saya ingin melamar pekerjaan jadi MUA di sini."

Ekspresi Tommy berubah serius. Garis-garis kekhawatiran muncul di dahinya. "Bagus," gumamnya. "Kebetulan sekali. Kaelen baru saja memecat MUA barunya." Ia menghela napas panjang, keletihan tampak jelas di wajahnya. "Alasannya ... MUA itu melecehkannya dengan menyentuh anggota tubuh yang tidak seharusnya."

Kamila menahan napas, matanya membelalak kaget.

Tommy memalingkan wajahnya, menatap lantai dengan sorot mata kosong. "Sebenarnya kasihan juga anak itu. Kau mungkin tidak tahu, tapi dia sering mengalami pelecehan sejak kecil. Trauma itu ... masih membekas sampai sekarang." Suaranya melemah, hampir seperti bisikan yang ditelan ruangan. "Anak yang malang...."

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka.

Kamila menggigit bibirnya, rasa simpati menggerogoti hatinya. Namun, sebelum ia sempat berkata sesuatu, suara Tommy kembali menggema, kali ini dengan nada tegas. "Pak HRD!"

"Siap, Pak?"

"Kamila akan bekerja di sini mulai sekarang. Siapkan surat kontraknya."

"Siap, Pak!"

Kamila menatap Tommy, terkejut namun penuh rasa syukur. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya, namun jauh di dalam hatinya, ia tahu pertempurannya dengan masa lalu baru saja dimulai.

"Omong-omong, Pak...." Kamila memiringkan kepala, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. "Kenapa mempercayakan saya sebagai MUA untuk Kaelen? Maksud saya, ada banyak profesional lain yang mungkin lebih berpengalaman."

Tommy tersenyum tipis, tatapannya melunak. Garis-garis usia di sudut matanya tampak semakin jelas saat ia mengingat sesuatu yang sudah lama berlalu. "Karena anak itu berkata...." Ia berhenti sejenak, suaranya berubah lembut dan penuh makna, "‘Satu-satunya wanita yang tidak berniat melecehkannya hanyalah Kamila.’ Dia sering bilang kau ... tidak akan menyentuh tubuhnya tanpa izin darinya."

Kamila tercengang, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.

Tommy melanjutkan dengan nada yang lebih berat, "Karena itu, saya rasa kau adalah pilihan yang tepat. Dia butuh seseorang yang dia percayai, seseorang yang bisa membuatnya merasa aman."

Ruangan kembali sunyi, hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar berdetak pelan.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dengan suara berderit lembut. Kaelen muncul, mengenakan pakaian yang lebih rapi. Kemeja putih pas badan yang dimasukkan ke celana hitam ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya yang seperti pahatan sempurna. Pakaian itu memeluk pinggangnya dengan keanggunan seorang seniman yang merangkul karya seni, membentuk siluet yang menyerupai biola mahal.

Beberapa kancing atas sengaja dibiarkan terbuka, memperlihatkan dada bidang berototnya yang berkilau samar di bawah cahaya ruangan. Kulitnya yang cerah kontras dengan garis otot yang tegas, menciptakan daya tarik yang hampir mustahil untuk diabaikan.

Rambut bergelombangnya disisir ke depan, sebagian helai menjuntai malas menutupi matanya yang sayu. Bulu matanya yang lentik menaungi pupil yang berwarna seperti laut dalam—gelap, tenang, dan penuh misteri.

Tommy menghela napas panjang, menepuk kedua tangannya pelan seperti seorang pelatih yang kecewa namun tak bisa menahan tawa. "Bagus! Mengeluh sering dilecehkan, tapi hobinya pamer aurat!" Suaranya sarat dengan ironi. Ia berbalik dan melangkah keluar dengan gelengan kepala penuh rasa frustrasi. "Kamila, dandani dia! Suruh dia pakai pakaian yang lebih sopan. Kalau dia keras kepala...." Ia menoleh dan memberi tatapan penuh arti. "Pukul saja! Saya akan siapkan sopir untuk mengantar Kaelen ke fan meeting."

Kamila mengangkat satu alis, senyum penuh tipu muslihat menghiasi wajahnya. "Kak Kaelen...."

Kaelen, yang menyadari tatapan nakal itu, langsung menegakkan badan. "Apa?"

Kamila menatap lurus ke dadanya yang setengah terbuka, bibirnya melengkung licik. "Hmm ... Aku ingin menyentuh dadamu." Tangannya terulur pelan, seolah menguji seberapa jauh dia bisa mendorong batas.

Mata Kaelen membelalak lebar. "Tidak boleh!" teriaknya panik, kedua tangannya buru-buru menutupi dadanya seperti gadis muda yang baru pertama kali terjebak situasi memalukan.

"Kalau begitu, ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan," desis Kamila, setengah mengancam, setengah bergurau. Matanya berkilat licik seperti kucing yang baru saja memojokkan tikus. "Siapa tahu ... apa yang akan terjadi kalau fans-mu melihat gundukan kembar di dadamu itu."

"Gundukan kembar?!" Kaelen hampir tersedak kata-katanya sendiri, wajahnya memerah padam. "Astaga, kau benar-benar gila!"

"Dan kau benar-benar narsis," balas Kamila dengan seringai. "Jadi, bagaimana? Mau ganti pakaian atau tidak?"

Kaelen melangkah mundur, jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang. "Baiklah! Baiklah! Aku ganti!" Ia berbalik dengan cepat, berlari meninggalkan ruangan seperti orang dikejar hantu.

Kamila tertawa kecil, matanya bersinar penuh kemenangan. "Dasar...." Ia menghela napas panjang, tetapi senyumnya bertahan lebih lama dari biasanya. "Masih seperti anak kecil."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku    Bab 53: Tidak perlu minta maaf!

    Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen

  • Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku    Bab 52: Air mataku

    Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny

  • Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku    Bab 51: Apa hebatnya dia dibandingkan denganku?!

    Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-

  • Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku    Bab 50: Ini belum berakhir

    Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar

  • Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku    Bab 49: Jangan biarkan orang lain memanfaatkanmu

    "Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.

  • Idol Menyebalkan itu Mantan Pacarku    48: Mari kita bertukar informasi

    Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status