Bab 94: Tangan Dominan
**
Ambidextrous? Suatu kelebihan unik di mana manusia mampu menggunakan kedua tangannya dengan sama baik antara kanan dengan yang kiri?
Tidak, Riska Hudayanti tidak memiliki kelebihan seperti itu. Untuk pekerjaan kecil, atau aktifitas ringan dengan tuntutan adab dan etika seperti makan, minum, memberi atau menerima sesuatu, dia akan melakukannya dengan tangan kanan.
Namun untuk pekerjaan yang besar, berat dan membutuhkan banyak tenaga dia akan melakukan dengan tangannya yang dominan, yaitu tangan kiri.
Karena sesungguhnya.., dia kidal!
Riska sedang menyiapkan bumbu dan sayur mayur yang akan ia masak esok paginya. Hal ini selalu ia lakukan untuk menyiasati jam masuk sekolah yang dimulai sejak pukul 7:30 pagi.
Hari-hari di minggu ini adalah saat-saat terakhir sebelum memasuki musim libur sekolah. Sembari memotong dan mengiris-iris sayur, demikian asyiknya ia memikirkan rencana-rencana yang akan ia lakukan di hari
Bab 95: Semalam di Cianjur**“Maksud kamu?”“Begini, aku mengenal Fathan sudah lama. Aku tahu di mana rumahnya, aku juga tahu orang tua dan keluarganya. Sementara Fatih, dalam kacamataku sekarang ini, dia kan laki-laki yang tidak jelas.”“Tidak jelas?”“Iya, maksudku aku tidak tahu alamat rumahnya. Aku tidak tahu keluarganya, orang tua atau pun saudaranya. Aku tidak mengenal Fatih dengan baik berikut latar belakangnya.""Namun Fathan, aku mengenal betul dari latar belakang yang bagaimana dia berasal. Walaupun jodoh di tangan Tuhan, tapi aku tetap mendahulukan Fathan dari semua laki-laki kalau nanti dia datang melamar.”Riska mengangguk-angguk. Pekerjaan, seperti yang ia canangkan sedari awal, itu bukan poin utama di dalam syaratnya mencari suami. Namun latar belakang keluarga, itu yang ia luput dari seorang Muhammad Fatih.Perbincangan antara kakak beradik itu terus saja berlanju
Bab 96: Jangan Menyerah**Tubuh bagian atasku dibebat kain panjang, yang dililitkan sedemikian rupa melingkari bahu, dada dan pundak kananku.Sementara tangan kananku sendiri dikunci, digantung dan tersangga dengan kain serupa gendongan bayi.Dari balik lilitan kain ini, aku mencium aroma rempah-rempah yang jika hidungku tak salah membaui terbuat dari kencur, jahe, dan mungkin sedikit cengkeh.Rasanya nyaman, tapi panas, bercampur aduk dengan denyutan di seluruh bagian tubuhku yang cedera.Aku tetap saja menahan rasa sakit di sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Aku merasa tidak sanggup berlama-lama duduk, namun sekuat tenaga aku mencoba bertahan.Aku tidak ingin menyiksa Kassandra lagi dengan meminjam ‘bantal’nya.Teringat aku, sebelum berangkat pulang tadi dia kepayahan berdiri. Sampai ia juga harus dipijit oleh istri Bapak Tukang Urut itu.Aku melihat kakinya yang membiru sebab lama tertekuk dan menaha
Bab 97: Anjing di Tepi Sumur**Catatan:Saya memohon maaf kepada pembaca yang budiman jika saya terpaksa menggunakan kata “pxlacur” di dalam kisah ini, yang mungkin saja itu tabu bagi sebagian orang. Sebab, itu satu-satunya kata yang paling bisa menggambarkan isi hati dan pikiran Ifat sang tokoh utama.Terima kasih, dan selamat membaca—Author, Ayusqie.********“Tuhan-lah yang menciptakan kehidupan,” kata Ucon dulu, di salah satu perbincangan kami.“Kehidupan adalah tanda atau bukti dari firman-Nya. Sehingga Dia menetapkan dosa yang sangat besar bagi mereka yang melakukan pembunuhan, dengan kata lain mengakhiri hidup orang lain. Apa lagi, bagi mereka yang mengakhiri hidupnya sendiri, atau bunuh diri.”“Mensyukuri hidup berarti berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, menolong orang atau pun makhluk hidup yang lain guna menyelamatkan nyawa a
Bab 98: Kehangatan dari Sang Putri**Kassandra membaringkan aku lagi di ranjangku. Pelan dan sangat berhati-hati ia menata lagi posisi tangan kananku yang terikat kain gendongan.Ia juga menyusun bantalku, menambah tinggi posisinya menjadi sebuah tumpukan untuk membuatku nyaman.“Uh!” Aku merintih pelan saat dia menyentuh bahuku.“Maaf,” kata Kassandra juga lirih.Setelah aku benar-benar terbaring, ia menjangkau selimut di ujung ranjang dan menutupkannya ke tubuhku.Ia melanjutkan dengan memeriksa tiap ujung selimut seperti tidak yakin selimut ini bisa membuatku hangat.Terakhir, ia menatap wajahku. Dalam temaram lampu tidur, dia seakan mencari-cari bola mataku yang tersembunyi di antara kelopak yang membengkak. Ia menemukannya, dan untuk itu ia ingin membuatku tenang melalui pandangan dan juga ucapan.“Kalau butuh apa-apa, panggil saja aku.”Kassandra berisyarat pada sofa di d
Bab 99: Lingkaran Asih ** Aku bangun pukul sembilan, dan tidak menemukan siapa-siapa. Hening. Lengang.. Sunyi.. Senyap.. Aku menolehkan kepala kanan-kiri dan mencari-cari. Kassandra tidak ada, lantas aku kecewa. Sedikit mengumpulkan tenaga aku pun bangkit dan duduk di tepi ranjang. Demamku sudah mulai mereda. Sensasi hunjaman pisau di sekujur tulang dan sendi kini tinggal sepertiganya. Aku menatap ke arah jendela dan berharap Kassandra sedang berdiri di sana. Dia juga tidak ada. Aku mulai dicekam rasa cemas. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku, sembari berharap Kassandra bersembunyi di dalam lemari pakaian, di balik ranjang, di bawah meja lalu membuatku terkejut seperti sedang bermain petak umpet. Mendapati keinginan yang tidak menjadi kenyataan, sekejap saja aku menjadi takut. Iya, takut pada kesendirian. Aku takut Kassandra meninggalkan aku. Tiba-tiba aku teringat lagi p
Bab 100: Naungan Asuh ** Tiba-tiba, gerakan tangan Kassandra menyisir rambutku terhenti. Ia menyibak rambutku di sisi kanan seperti menemukan sesuatu. Memang benar, dia menemukan sesuatu. Bukan, bukan kurap, juga bukan kutu. “Ini kenapa, Mas?” Tanya Kassandra lembut, sembari jari telunjuknya menyentuh sebuah bekas luka di sisi kanan kepalaku. Aku memejamkan mata sebentar, untuk kemudian aku susul dengan senyuman. Dengan semua perlakuan Kassandra ini, aku tidak punya alasan lagi untuk terus meninggi-ninggikan nilai moral yang aku anut dan lantas menganggap diriku lebih suci. Aku tahu dia pxlacur, namun aku sadar aku hanyalah anjing di tepi sumur. Dia adalah budak yang dipuja-puji di altar pengkultusan birahi, sementara aku adalah budak yang disanjung-sanjung di meja persembahan judi. Kami berdua hanyalah budak bagi mereka yang menuhankan hawa nafsu. Aku dan Kassandra tiada berbeda pada essensinya, sebab kami bera
Bab 101: Bayangan Seorang Perjaka**Leony Dwi Andini, dia berjalan di sepanjang beranda samping hotel Mustika Bumi dengan langkah yang sedikit malas-malasan.Ia menitipkan meja resepsionis pada sahabatnya untuk pergi ke belakang, menuju kantin dan lantas duduk di dekat kompor.Leony duduk menghadap sebuah meja kecil, bertopang dagu, dan tiba-tiba saja ia merasa dipasung oleh sang waktu. Ia melihat seseorang yang sedang ia rindui duduk di sini, di depannya, di dekat meja kompor.Lelaki itu membuka bekal makanan yang ia bawa dari rumah, yang Leony ketahui hanya berisi lauk berupa sambal teri yang dimasaknya sendiri.Lelaki itu juga minum air putih dari botol Winnie The Pooh.Air minum di botolnya habis, lelaki itu kemudian meminta izin pada Ibu Kantin dan mengisi botol Winnie The Pooh miliknya dengan air dari dispenser tak jauh di sampingnya.Leony melihat lelaki itu yang mendadak saja terperangah. Mulutnya mengatup berhen
Bab 102: Mengigau**Aku melihat Kassandra di tepi kolam hias, sedang memberi makan ikan koi.Ia berkata-kata seperti sedang berbincang dengan ikan yang melenggak-lenggok dengan warna-warni sisiknya yang indah.Sembari menggendong tangan kananku, aku berjalan pelan-pelan ke arahnya. Dia tahu aku sedang menuju ke arahnya, dan dia menunggu dengan senyum yang sedikit tersipu.andainya dia menyamarkan itu dengan terus menatap ke arah kolam. Aku berhenti di samping Kassandra yang sedang duduk di atas sebuah batu.“Aku boleh duduk di sini, Kas?” Aku bermaksud pada sebuah batu yang lain di samping Kassandra.“Boleh, silahkan,” sahutnya.Hingga beberapa menit kemudian, kami berdua tetap berdiam diri. Pandangan mataku tertuju ke kolam, memperhatikan ikan-ikan koi yang seakan sedang menari-nari mempertontonkan sebuah simfoni di hari jelang senja ini.Aku merasakan sesuatu yang menyenangkan dari perbicangank