Sedari tadi, Rezvan terus mondar-mandir di dalam kamarnya sambil memegang ponsel. Ia ingin sekali menghubungi Tanisha, tetapi rasa gugupnya membuat laki-laki itu begitu sulit untuk membuka pola kunci ponselnya saja. Perasaannya kalang kabut, resah, gelisah, takut, yang bercampur aduk menjadi satu. Rezvan sendiri merasa heran dengan dirinya yang sebelumnya tidak pernah seperti ini. Laki-laki itu memutuskan untuk duduk di sofa untuk menenangkan pikirannya. Kakinya ia ketuk-ketukkan ke bawah lantai. Tatapan matanya yang mengarah ke satu arah seolah menggambarkan kebingungan yang tengah ia rasakan. Rezvan mengusap wajahnya gusar, ia masih gugup untuk menghubungi perempuan itu. "Ah! Pokoknya rencana ini harus berhasil!" tegasnya lalu dengan cepat membuka ponselnya. Rezvan men-𝘴𝘤𝘳𝘰𝘭𝘭 daftar kontak untuk mencari kontak Tanisha yang ia dapatkan beberapa waktu lalu. Setelah kontak yang ia cari ditemukan, Rezvan lantas mulai mengetikkan sesuatu di kolom pesannya. Baris pertama baru i
"Lan!"Aqlan yang tengah berjalan lantas membalikkan seluruh tubuhnya saat mendengar seseorang memanggil namanya. Dengan dahi dikerutkan, laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "Masih ada jadwal ngajar?" tanya Kalandra—laki-laki yang tadi memanggil Aqlan. Satu tangannya ia gunakan untuk merangkul bahu Aqlan. Aqlan membenarkan posisi buku-buku yang tengah ia bawa. Seulas senyum ia tampilkan untuk menanggapi pertanyaan Kalandra. "Iya, nih. Akhir-akhir ini gue emang banyak gantiin guru yang pada lagi cuti sama sibuk kuliah," jawabnya. Maklumlah, sebagai putra dari pemilik pesantren Al-Muhajirin, Aqlan menjadi sasaran pengganti tanggung jawab mengajar. Namun, dengan senang hati ia pun menerima semua tanggung jawab itu."Oh, ya udah. Ntar kalo semuanya udah beres, kita ngobrol-ngobrol santai di ruang guru, ya!" ajak Kalandra antusias. Aqlan kembali mengukirkan senyum ramahnya. "Iya, sip. InsyaAllah."Sepeninggal Kalandra, Aqlan pun segera mempercepat langkah kakinya menuju kelas yang a
Hari ini Tanisha hendak menemui Rezvan di kafe tempat mereka bertemu beberapa waktu lalu. Ia ingin sekali mengomeli laki-laki itu karena sudah berani merendahkan dan mengata-ngatai dirinya yang Rezvan anggap lemah dan penakut. Sedari tadi pun Tanisha tak henti-hentinya mengoceh tak jelas. Berkali-kali nama Rezvan ia sebut dalam ocehannya. Dari beres-beres rumah hingga memasak, perasaan perempuan itu seolah geram sekali. Begitu pun sekarang. Perempuan itu kini sedang bersiap-siap sambil terus-menerus mengumpat. Perasaannya benar-benar sedang tak baik-baik saja. Entah apa yang akan terjadi jika ada seseorang yang berani membuat mood perempuan itu semakin memburuk. Tanisha berangkat tanpa meminta izin pada Aqlan. Ia pun merasa hal itu tidak diperlukan, mengingat Aqlan semdiri kini sedang mengajar dan tak akan kembali ke rumah hingga malam tiba. Tanisha pergi dengan menggunakan ojek online. Tanisha sendiri tak habis pikir dengan kelakuan mengada-ada Rezvan. Apa maksud laki-laki itu pu
"Mas Aqlan, nggak kangen?" Pertanyaan itu lolos dari mulut seorang gadis yang diprediksi seusia dengan Tanisha. Gadis yang mengenakan gamis ungu itu menampilkan senyum manisnya pada Aqlan. Aqlan mengalihkan pandangannya pada Kalandra. Lirikan matanya seolah tengah meminta penjelasan pada laki-laki itu. Kalandra hanya mengangkat bahu sambil mengangkat kedua tangannya—tak mau ikut campur dengan urusan Aqlan yang ini. "Kamu ... kapan pulang?" tanya Aqlan ragu-ragu. Perasaannya tiba-tiba dipenuhi dengan rasa gugup hingga keringat dingin bercucuran di dahinya. Gadis itu kembali menyunggingkan senyumnya. Buku-buku yang berada di tangannya ia simpan ke atas meja yang terdapat 𝘯𝘢𝘮𝘦 𝘵𝘢𝘨 yang bertuliskan nama gadis tersebut. 𝘈𝘱𝘳𝘪𝘭𝘪𝘢 𝘎𝘢𝘪𝘥𝘢 𝘍𝘢𝘳𝘩𝘢𝘯𝘢Setelah selesai merapikan buku-buku di mejanya, gadis itu lantas menghampiri Aqlan yang sedang duduk di ruang istirahat. Ia ikut duduk di salah satu 𝘴𝘪𝘯𝘨𝘭𝘦 𝘴𝘰𝘧𝘢 dekat Aqlan. "Baru tau, ya, aku ngajar di sini ju
Keesokan harinya, Tanisha pergi menemui Kalandra di sebuah tempat yang biasa orang-orang pakai untuk refreshing di hari libur. Tentunya dengan janji terlebih dahulu. Tujuannya bertemu Kalandra karena ingin menanyakan perihal Aqlan yang terlihat tak baik-baik saja dari kemarin. Kini Tanisha dan Kalandra sedang berada di sebuah gazebo yang terletak di tengah-tengah danau. Di sekitar gazebo yang mereka tempati pun ada gazebo-gazebo lain yang turut berdiri kokoh di atas danau. Tempat ini memang sengaja dirancang seperti ini agar para pengunjung tak jenuh dan dapat merasakan suasana yang lebih berbeda. "Sebaiknya lo gak usah tau dulu, Cha," ujar Kalandra saat Tanisha bertanya apa yang terjadi pada Aqlan ketika di tempat mengajarnya, Al-Muhajirin. Matanya yang selalu terlihat waspada itu kini fokus menatap jernihnya air danau yang diisi oleh berbagai jenis ikan yang menarik. "Kenapa? Emang seserius itu, ya, masalahnya? Soal apa, sih?" tanya Tanisha makin penasaran. Perempuan itu bahkan s
Rezvan berdiri mematut di depan cermin sambil menyisir dan menyugar rambutnya dengan jari-jari tangan. Raut wajahnya terlihat begitu semangat disertai rona bahagia di kedua pipinya. Rezvan mengambil jaketnya lalu ia pakai secepat kilat dengan sangat rapi. Kemudian, ia mengenakan sepatunya dan segera menyambar kunci motor yang ia gantung di tempat menggantung kunci. Matahari yang menampakkan dirinya dan menyorotkan sinar hangat pada Rezvan lalu baru saja keluar dari rumah, seolah ikut berbahagia dengan suasana hati laki-laki itu sekarang. Entah apa yang membuatnya senang, yang jelas pasti ada hubungannya dengan Tanisha. Rezvan segera menyalakan mesin motornya, menaiki, dan kemudian menjalankannya. Suara deru motor yang tak terlalu menggelegar pun mulai menggema melewati setiap rumah di komplek tersebut. Laki-laki yang mengenakan helm full face itu memamerkan senyum ramahnya pada setiap yang ia temui di jalan. Seburuk apa pun masa lalu Rezvan, ia yang dahulu dan sekarang jelas berbe
"Kamu kenapa mukul Andra?! Ada masalah apa, sih, kamu sama dia? Hah?!" teriak Tanisha tepat di depan wajah Rezvan. Kedua tangannya terus mendorong tubuh laki-lakinya serta terus memojokkannya. Orang-orang di sekitar mereka membantu Kalandra kembali berdiri. Ada juga yang hendak meleraikan Tanisha dengan Rezvan. Namun, perempuan itu memberi isyarat agar tak ikut campur dan ia pastikan tak akan ada lagi baku hantam. "Masalah apa lo bilang?! Dia maksa kalo lo harus pulang sama dia!""Terus apa masalahnya? Kamu gak berhak marah cuma karena hal itu." Tanisha berucap dengan penuh penekanan. Kedua matanya tajam menatap lurus pada Rezvan. Gurat kemarahan begitu terlihat di wajahnya. Rezvan pun terdiam. Kalimat yang dilontarkan oleh perempuan di depannya itu seolah telah menamparnya begitu keras. Napasnya yang semula begitu memburu kini perlahan menjadi kembali stabil. Ia baru sadar, ini bukanlah masa lalunya, di mana ia yang memiliki Tanisha sepenuhnya dengan alasan status pacar yang melin
Gadis dengan gamis hijau muda berjalan penuh semangat di sebuah lorong sekolah pesantren. Raut wajahnya menggambarkan kebahagiaan. Di tangannya terdapat sebuah rantang kecil berisi makanan yang ia masak sendiri. April—gadis tersebut—segera menuju ruang guru untuk memberikan rantang makanan itu kepada seseorang yang amat ia kagumi sedari dulu, Aqlan. Ia semakin senang saat mendapati Aqlan yang sudah ada di ruang guru. "Mas Aqlan!" Aqlan yang tengah menyiapkan buku untuk materi mengajar hari ini pun sontak menoleh ke arah suara tersebut. Ia tersenyum kikuk saat menyadari seseorang yang memanggil namanya itu adalah April. Gadis itu berjalan mendekati meja Aqlan lalu meletakkan rantang yang tadi ia bawa ke atasnya. "Mas Aqlan, aku bawain sarapan, nih. Aku sendiri, lho, yang masak. Pasti Mas Aqlan belum makan, kan?""Eee ...." Lagi-lagi Aqlan hanya tersenyum kikuk, tak tahu harus menjawab bagaimana. Ingin sekali ia berkata bahwa dirinya sudah sarapan di rumah. Sarapan masakan istri ter