Share

Im Sorry Mama!
Im Sorry Mama!
Penulis: Marjani Jani

Bab 1: Bahagia Sebelum Petaka!

Semua yang terjadi pada ZARA berawal dari satu tahun yang lalu. Saat semuanya masih baik-baik saja, juga saat keluarganya dipenuhi cinta, suami juga anak yang baik dan sangat di sayanginya.

Kenapa bisa berakhir menjadi begitu menyakitkan?

***

Jalan hidup tak pernah ada yang tahu, bahagia saat ini tak bisa menjamin akan bahagia selamanya.

Aku hanyalah wanita biasa, wanita yang telah menjadi seorang istri dan kini juga telah menjadi seorang ibu.

Bagi seorang wanita sepertiku, kebahagiaan keluarga adalah hal yang utama.

Bahagiaku adalah keluarga senyumku adalah putriku. Alya Azzura Yusuf , putri kesayanganku dan seluruh keluarga.

Malaikat kecil yang Allah titipkan dalam pernikahanku dengan seorang pria yang sangat baik bernama Mohammad Yusuf Khaidar.

Pernikahan dengannya sudah menginjak usia 8 tahun, kini putri kecil kami juga sudah berusia 7 tahun.

Pernikahan yang kami jalani bukanlah pernikahan yang mudah. Perjodohan yang terjadi antara kami cukup membuat kami menjadi sangat asing di usia pernikahan 1 tahun.

Lalu, aku dan Yusuf berkomitmen untuk serius dalam menjalani pernikahan ini dengan niat ibadah dan mencoba saling mencintai dan membahagiakan.

Tepat satu tahun pernikahan putri kecil kami lahir ke dunia menabur kebahagian bagi seluruh keluarga dan bagiku.

Kehadirannya adalah pelita dalam hidup, senyum dan tawanya selalu bisa menghilangkan rasa sedihku.

Sejak kehadirannya juga Yusuf, suamiku mulai mencintaiku.

Aku bahagia dan sangat bahagia merasakan kasih sayang dan segala rasa cinta suamiku yang tulus untukku. Aku tahu dia mencintaiku, tapi mungkin tak lebih banyak dari aku mencintainya.

"Mama...! Kaos kaki Alya mana?" lamunanku berhamburan saat ku dengar suara putriku yang berteriak dengan rengekan manjanya dari lantai atas kamarnya.

Segera matikan kompor, karena sebelumnya aku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku.

"Sebentar, sayang!" teriakku dari dapur. Segera ku lepas celemek dan manaiki tangga menuju kamar Alya.

Aku terseyum geli sambil bersandar di pintu kamar Alya. Menggeleng takjub melihat tingkahnya yang lucu karena kesusahan memakai kerudung kecilnya.

"Sayang," panggilku lembut membuatnya menoleh dengan seluruh wajahnya yang tertutup kerudung putih miliknya, dan kemudian dia mulai merengek.

"Hikkss... Mama! Kerudungnya bikin semua gelap! Huaaaa... Alya benci gelap!" teriaknya setengah menangis sambil berusaha membuka kerudungnya. Namun bukannya terbuka, malah jadi berbentuk tak karuan.

Aku menghampirinya dan berjongkok menyamai tinggi badan kecilnya. "Tenang, sayang! Ada Mama di sini, kamu enggak perlu takut. Oke?" ku tangkup tubuh kecilnya agar berhenti bergerak gelisah.

Menyibak kerudung putih itu dan tampak wajah putriku yang basah dengan air matanya, oh aku sungguh tak tega melihatnya menangis. "Kenapa menangis sayang?" tanya ku lembut membelai pucuk kepalanya.

Aku memakaikan kerudungnya sedang Alya masih diam dengan air mata yang masih menetes.

Putriku tak pernah menangis dengan suara nyaring kecuali sebuah rengekan. Jika menangis dia lebih suka menangis dalam diam. Ya, mungkin itu menurun dariku.

"Sudah ada Mama, kenapa masih takut?"

Dia hanya diam dan hanya menunduk. "Mama? Mama sayang sama Alya kan?" tanyanya tiba-tiba menatapku dengan mata merahnnya. Habis menangis.

Aku mengerutkan dahi bingung, "Tentu saja Mama sayang sama kamu, nak!" ucapku membawanya dalam pelukan hangatku. Dia hanya diam dan mengagguk dalam pelukanku.

"Sudah, sekarang kita harus cepat. Mama harus bantu Papa berkemas juga."

Dengan cekatan aku memakaikan kaos kakinya dan mengoleskan bedak baby di wajahnya yang berantakan karena menangis.

Lalu, mengecup singkat pipi cubby nya. "Sudah, putri Mama udah wanggi! Kamu ke bawah duluan dan makan sarapannya ya, sayang!" perintahku dan dia mengangguk cepat mengambil ranselnya dan berjalan keluar menuruni tangga.

"Baik, Mama!"

Aku menutup pintu kamar Alya dan berjalan menuju kamar di sampingnya. Kamarku dan Yusuf.

Pintu kubuka dan ternyata kosong karena Yusuf pasti sedang mandi karena jelas terdengar suara gemericik air dari kamar mandi.

Segera berjalan menuju pintu lemari pakaian dan mencari setelan jas yang cocok untuknya.

Mencari dasi yang pas untuknya. Sebenarnya suamiku itu memakai apapun akan terlihat tampan. Jelas karena dia keturunan arab dengan hidung mancung dan mata coklatnya.

Langkahku terhenti saat ingin menutup pintu lemari. Aku memindahkan setelan baju itu di siku lengan kiri. Sedang tangan kananku terulur mengambil sebuah album foto pernikahan kami yang terselip di antara lipatan pakaian.

Lalu aku tersenyum dengan mata yang mulai memanas basah, ntahlah saat ini aku merasa sangat melow.

Lembar per lembar ku buka menujukan foto kekakuan dan keasingan kami saat foto di hari pernikahan kami. Namun, semua kekakuan itu berubah saat ku s***k album foto itu menunjukan keceriaan dan kebagiaan serta keutuhan saat kehadiran putri kecil kami.

"Pagi, sayang." Aku terjengkit kaget mendegar sapaan dari arah belakang.

Aku menoleh dan ternyata dia adalah suamiku, "Mas, ih! Ngagetin aja. Kalau aku jantungan gimana?" gerutuku mencubit gemas perutnya yang terbungkus handuk.

"Awww... sakit sayang! Cubit-cubit aja sih?" rajuknya.

Aku memutar badan menghadap ke arahnya.

"Sakit, ya?" tanyaku pura-pura merasa bersalah.

Dia mengangguk dengan bibir manyunnya, "Atit... cayang."jawabnya manja.

Aku melingkarkan kedua tanganku di tengkuknya lalu, mengecup singkat pipinya.

"Morning kiss, udah gak sakit kan?" godaku mengedipan mata padanya yang tersenyum cerah.

"Udah, tapi yang ini belum?" katanya sambil menunjuk bibirnya, ingin rasanya ku tampol saja bibir sexynya itu.

"Rakus!" protesku, menepuk pelan bibirnya.

Yusuf menyengir ala-ala kuda.

"Ehehehe... kurang lengkap kalau gak di bagian situ, lagi dong?" aku memutar bola mata malas, mau tak mau ya harus mau. Kalau tidak bayi besarku ini tak akan beranjak dari hadapanku

"Sudah, kan?"

"Makasih, sayang!" usai sapaan pagi ala ibu rumah tangga terjadi. Aku membantu Yusuf untuk berpakain.

Mulai memakaikan dasi, jas, sepatu. Semua aku lakukan, dia bisa melakukannya sendiri tapi sejak putri kecil kami berumur 2 tahun dia mulai manja padaku.

Katanya sih dia cemburu karena aku terus memanjakan Alya dan ya akhirnya dia meminta pelayanan khusus setiap pagi.

Selama 8 tahun ini aku bahagia dengan keluargaku, dengan Suami dan putriku. Mereka adalah sumber kebahagian. Melihat mereka dengan lahap menyantap sarapan yang aku buat saja bisa membuatku cukup kenyang dan hanya makan secukupnya.

Pekerjaanku seorang dokter, sedang Mas Yusuf, CEO di perusahaan properti yang juga dia bangun dengan kerja kerasnya selagi masih lajang.

Dan sampai menikah hingga punya anak satu, aku juga ikut andil dalam membantunya.

Memberi semangat dan segala cinta dan kasih sayang untuknya. Aku mencoba menjadi istri yang baik dan ibu yang baik bagi mereka.

"Kami pergi dulu ya, Sayang!" ucap Mas Yusuf yang akan mengantarkan Alya ke sekolahnya sedang dia akan berangkat ke kantor.

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan." Jawabku mencium tangannya sedang Mas Yusuf mengecup dahiku lama sambil mengucapkan doa agar aku terlindung selama di luar rumah.

Rumah sakit tempatku bekerja lain arah dengan sekolah Alya. Sekolah Alya yang searah dengan kantor Mas Yusuf jadinya mereka selalu pergi bersama.

Tapi terkadang aku menyempatkan diri mengantarnya atau menjemputnya saat Mas Yusuf sibuk.

Ya, kami saling berbagi waktu dan tugas, saling berusaha untuk menjaga keharmonisan keluarga.

Putri kecilku mendekat dan menyodorkan tangannya, "Mama, salam?" katanya dengan nada manja.

Sedikit membungkuk menyamaka tinggi dengan tubuh munggilnya dan memberikan tanganku untuk di salamnya, "Belajar ya rajin ya, sayang?" ucapku sambil mengecup pucuk kepalanya.

"Iya, Mama!"

"Jangan nakal, sayang?"

"Siap, Mama!" serunya memberi hormat layaknya upacara bendera.

Aku dan Mas Yusuf terkekeh geli melihat tingkah lucu Alya, ahh, aku berharap Allah selalu melindungi keluargaku.

Menjaga mereka agar tetap bahagia dan terhindar dari petaka.

Tapi aku tak tahu ternyata petaka itu justru menimpaku. Kebahagiaan tiba-tiba lenyap dari hidupku saat aku tertampar oleh sebuah keadaan yang membuatku benar-benar sakit.

Bukan sakit fisik tapi hati yang tertusuk oleh beribu belati tajam saat putriku mengatakan permintaannya yang begitu menyakitkan.

Aku tak tahu apa yang terjadi padanya selama di sekolah, aku hanya tahu dia anak yang pintar dan baik di sekolahnya.

Ntah hal apa yang mempengaruhinya hingga dia bisa meminta hal itu padaku.

***

Saat malam tiba, kemudian makan malam dan menemani putri tidur, aku biasa membacakan dongeng padanya, namun dia tak tidur lebih cepat dari biasanya. Bahkan 3 buku sudah habi ku baca namun dia tak kunjung tidur.

Aku penasaran dengan isi kepalanya, dan mencoba bertanya. "Anak Mama lagi mikirin apa sih? Kok gak tidur-tidur?" tanyaku yang berbaring miring di sampingnya. Memeluknya erat sambil mengusap punggunya.

Alya mendongak dengan mata yang mulai memerah, "Loh, kok anak Mama nangis? Kenapa heum? Ada yang jahatin Alya di sekolah?" dia menggeleng pelan.

"Trus?"

"Alya minta sesuatu boleh, gak?" ucapnya sambil menatapku sendu.

Aku mengangguk tanpa tahu apa permintaannya. Aku tak tega melihatnya menagis.

Dia menagkup pipiku dengan kedua tangan mungilnya.

"Mama, Alya minta Mama izinin Papa menikah lagi, boleh gak?"

Apa?! Apa yang harus aku jawab?!

Inilah kisahku, seorang ibu dan istri yang rela mengorbakan semua kebahagiaanku untuk keluargaku. Karena mungkin bahagia mereka, bukanlah AKU.

Zara Mahira Anjani.

#Tbc....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status